PUISI DI HATIKU JADI LUKA
Amrin Tambuse
Laut belum juga berubah jadi puisi
sedang kata- kata telah kau tabur
dari sampan- sampan yang kau cipta
sedang aku telah lama menunggu
jika memang hatimu telah mendua
laut di hatiku yang akan menjelma puisi
dan aku merelakan
jika kau menghanyutkan separoh jantungmu
ke muara yang lain
kau telah merubah puisi- puisi di hatiku
………………………………...jadi luka
Pangkalan Berandan, Agustus '16
DIK, SEPTEMBER TELAH TIBA
Amrin Tambuse
September telah tiba, Dik
sementara keceriaan itu belum juga ranum
di ranting- ranting jiwamu yang kian menghampa
Pangkalan Berandan, Agustus '16
HATIKU BUKAN PADAMU
Amrin Tambuse
Kita telah menikmati segelas jus melon
yang kita pesan tanpa melihat daftar menu di sebuah café
sepertinya kau menikmati sekali
tanpa merasa jika gerimis terus mengetuk habis kaca jendelanya
sedang aku yang duduk di dapanmu
hanya diam membisu
sebab hatiku bukan padamu
Pangkalan Berandan, Agustus '16
DEKAT MESKI KITA TAK BERSAMA
Amrin Tambuse
Humaam
kau adalah senandungku yang saban waktu bernyanyi di ruang jiwaku
Humaam
meski pun kita tak selalu bersama
tapi engkau begitu dekat
melebihi urat- urat di tubuhku
Humaam
engkau adalah puisi
yang tak akan habis kucipta
Pangkalan Berandan, Agustus '16
PESAN TANAH AIR
Erlangga
Wahai rakyatku...
aku adalah tanah airmu Indonesia
jagalah aku jangan sampai terpecah belah jagalah tanah, air, udara, dan seluruh kekayaan alam
yang ada diatas dan didalam perutku
jangan terjamah sedikitpun oleh tangan-tangan berangas dan serakah
jagalah aku sebagai sebuah negeri Indonesia yang utuh, tak berkurang walau seujung kuku kibarkan merah putih disegala penjuru jangan biarkan selain bendera itu berada diatasku
karena aku adalah tanah airmu Indonesia dari ujung Aceh sampai Papua
BELUM BERKURBAN
Erlangga
Aku malu pada mereka
bisa berkurban walaupun kaum papa
menyisihkan uang sedikit demi sedikit
dari penghasilan yang tidak seberapa
menabung selama bertahun-tahun, mengurangi makan
mereka pemulung, ada juga pekerja serabutan dan tukang becak tua, kaum kelas bawah kata kita
tetapi semangat mereka berkurban menyala-nyala mengalahkan kita yang lebih berada apa-apa punya, dari mulai hape sampai kendaraan
rumah dengan segala perabotannya, televisi layar lebar seperti bioskop dalam rumah, tapi kita banyak
yang belum berkurban, nantilah...
belum sanggup kata kita!
RINDU MEKKAH
Erlangga
Berjalan di samping asrama haji
kudengar suara Takbir mengagungkan Allah dari para calon jamaah haji
suaranya bergema menusuk gendang telinga merasuk ke hati...
menjalar sampai ke setiap sel tubuhku
teringat pada tanah suci dimana Ka'bah berada air mata mengucur, dada berdebar, tubuh gemetar
tiba-tiba saja aku merindukan Mekkah
tiba-tiba saja aku ingin kesana
ya Allah Tuhan Yang Maha Besar...
izinkan aku untuk memenuhi panggilan-Mu
YANG BERANGKAT HAJI
Erlangga
Si miskin bisa berangkat ke Tanah suci
menuanaikan ibadah haji
duapuluh tahun, tigapuluh tahun menabung atau lebih
bersusah payah, dia berkata...
untuk memenuhi panggilan Allah
ada si kaya bergelimang harta, uang berlimpah tak perlu menabung dulu untuk berangkat ke Tanah suci, menunaikan ibadah haji tak perlu bersusah payah tapi dia belum mau berangkat kesana belum ada panggilan katanya...
Cinta Benang
Eka Nirmala
Seperti benang melilit erat lalu melayang terhempas meninggalkan ikatan menjadi kenangan semakin kekar gumpalan iman semakin menjulang cobaan dengan ridho maka bintang menjelma dari doa cinta umatNya bak benang saat setan dan diri terbungkus maka ia luruh kian terputus namun pintu taubat memancarkan sinar lurus dan janji cintaNya ibarat penghapus
Sajak Merah
Eka Nirmala
Mencari matahari purnama diluka
menanti siang meraba bulan
menggurui diri tanpa kiblat
gemilang gelap terang
berbinar dalam junjungan pandangan usang ini hanya sajak merah sebelum nadi membeku remuk terkuak
absenkan dosa dengan tanda alpa
Raja Wicara
Eka Nirmala
Raja wicara bicara
langit beradu mengadu kesucian kata
namun mereka menjelma bagai malaikat merajut kalimat surga
memetik saudara jalanan dengan wajah berbinar
memberi makanan dengan segumpal tawar sampai ia terpilih dalam genggaman kelam janji raja wicara, kami bosan harapan yang kau timbun terkuak menyantap janji onani beribu etalase menyita kelam di kelopak mata dan kini perih mengukir sesal dalam dada
DI STASIUN
Alda Muhsi
Aku tak pernah ingin merindu
kursi bambu saling berhadapan
sesekali mereka bergenggaman
aku paham stasiun selalu menjadi saksi
perihal kepergian air mata menjadi musim paling baik kau tak akan pernah merindukan begitupun kita yang tak ingin saling rindu
Jakarta, 2 Agustus 2016
STASIUN PASAR SENEN
Alda Muhsi
Sepanjang koridor orang-orang bergelimpangan meneriakkan kerinduan gerbong kereta tak sabar menanti mengolah senyum indah untuk hadiah sanak famili di kampung halaman Gumarang siap laju melahap Surabaya
Jakarta, 2 Agustus 2016
SENJA UTAMA YOGYA
Alda Muhsi
Senja utama yogya pada jam tujuh malam keretaku menanti kesunyian menanti gigil perjalanan cokelat hangat di atas meja beberapa donat hiasi ruang tunggu sebelah barat orang-orang datang dan pergi hendak mengantar pulang kereta tak pernah paham rasanya ditinggalkan sebab ia tak pernah pandang belakang deru cerobong menceritakan sebuah keikhlasan aku duduk di atas trotoar
menceritakan pilu ibu menopang dagu di dapur penuh abu menyambutmu tak pernah ragu
Jakarta, 2 Agustus 2016
KERETA TERAKHIR
Alda Muhsi
Seandainya ada kereta terakhir yang dapat mengantarmu aku ingin menyewanya malam ini saja agar sama-sama kita rasakan dingin malam di jantung kota angin menelisik dedaun hening panjang
Jakarta, 2 Agustus 2016
Mengenang Luka, Masa Lalu
Toba Sastrawan Manik
Pertemuan adalah waktu yang mengerucut semakin perlahan, mengantarkan pada waktu sempit hingga tiba, pada titik pesakitan berpisah. dulu, saat kita masih belia dan belum menyadari arti waktu
kita menabur harapan untuk waktu yang kita kira akan lapang
ternyata, kebeliaan dan kepolosan tidak membuka ampunan waktu
kita akhirnya berpisah.
dan kisah menjadi masa lalu.
kini, dititik baru menuju persimpangan kelapangan hidup,
masa lalu berteriak menghantui masa depan pilihan kembali pada masa lalu
menata kembali jalinan cinta kita
diperjalanan hidup, waktu hanya memberi pilihan maju
kini, hadirmu sama seperti dulu begitu merayu karena masa depan begitu membatu senyum dan tawa yang tidak berubah kecantikan yang selalu semerbak dan menghiasi laksana malam dengan bulan, bintang dibingkai awan begitu dekat hingga melupakan telah ada yang berbeda
mengenangmu, masa lalu
yang pernah berharap di masa depan
waktu adalah Tuhan Cinta kita adalah orang yang belum dewasa akan masa lalu
Mengenang Luka, Masa Lalu/ 2
Toba Sastrawan Manik
Aku minta maaf,
ketika kau menangisi masa lalumu
itu pertanda, hadirku tidak bahagia atasmu. mengenang luka, masa lalu
masa depan adalah buah masa lalu
jika kini, esokmu tidak bahagia
aku ingin memutar waktu, dan saat itu
aku ingin memilih pergi dari hidupmu.
Elegi Hujan Malam Minggu
Toba Sastrawan Manik
Terkutuklah hujan, memilih berkencan dengan Bumi di malam minggu membasuh kerinduan para insan memupus pertemuan namun tetap menggoda terkutuklah hujan, turun dengan ritmis dan dingin yang membingkai mengubah cahaya lampu menjadi redup manja taman menjadi lapang namun tetap terlarang jalanan sepi dari kata-kata, ramai akan umpatan rindu penuh dengan tatapan kosong hujan di malam minggu, doa siapa?
Mengantar Kepergian
Toba Sastrawan Manik
Hari ini, aku akan rentan dengan halimun pagi suara cicitan burung kan menyiksaku deruan mesin kan menghentakku aku tengah menghantar kepergianmu
Stasiun Kereta Berbatas Kaca
Toba Sastrawan Manik
Aku melihatmu seutuhnya
senyummu begitu indah dan bening
matamu dan mataku berkaca-kaca lewat kaca kaca tak menghalangi hanya membatasi jarak menjelma menjadi kebisuan kerinduan stasiun kereta berbatas kaca halimun yang rentan
Gelombang
Nevatuhella
Gelombang menggulung berlari
menghempas jasad bersinggung
pada pantai pasir dan bukit
belukar tersiram panjatan air
gelombang menggulung berenang
berlomba dengan elang terbang
mencuri sempat menukik memangsa ikan haluan perahu dipecah kecipak air
gelombang berlangsung
pada nafas dan darah yang mengaliri
sungai-sungai dalam tubuh yang
mengembang mengempis oleh denyutan jantung
gelombang membawa berita dan gambar di televisi gelombang membawa pesan ilahi kita akan pindah kepada kekekalan
Medan, 3/6/2016
Wajah Indonesia
Nevatuhella
Densus mengejar teroris menembak pada kakinya tersungkur bercucuran darah dan retak tulang ghaib tangan-tangan di belakang mereka orang-orang berhamburan saling pandang pertanyaan tak terjawab cuma hati diam yang tahu satu permainan, teroris perpanjangan tangan siapa
Medan, Juni 2016
Kereta Api
Nevatuhella
Kotak-kotak bergandeng bernyawa berfluit gruduk-gruduk roda bundar bergesekan dengan besi rol panjang rel besi buatan eropa jasa sepanjang masa peradaban tinggi! peradaban agung! jutaan manusia bepergian dengan si kotak-kotak bergandengan bernyawa fluit
Airmata Luka
Nevatuhella
Manakala luka menghampir deraikan airmata tak perlu malu sebab ia bukan dusta tetapi, permata jiwa taburan kristal salju peluruh derita tangisan para pencari kebenaran
Asa Sehabis Hujan
Nevatuhella
Bunga-bunga malam sendu mengiring-iringan hujan sisa sore
pengganti nyala panas terik siang guyur angin merasuk mendingin
masih puisi ditulis lagi pertanda mimpi masih panjang harapan mendulang bahagia bersama musim besok dinantian