Menyoal Ranperda Kepala Lingkungan

Oleh: Fadil Abidin.

Ciri khas kota Medan dalam hirarki pe­merintahan paling bawah adalah adanya Kepala Lingkungan (Ke­pling). Penamaan Kepling ini kemudian ba­nyak diikuti oleh banyak daerah atau kota lain di Indonesia. Jika kita ber­kunjung ke kota-kota lain di Indonesia di ba­wah tahun 90-an, maka nyaris tidak ada sebutan Kepala Lingkungan di sana.

Sebenarnya penamaan Kepling bu­kan­lah hal yang baru karena tercantum da­­lam UU No.5 Tahun 1979 tentang Pe­­­merintahan Desa. Pasal 1 (d) me­nye­butkan Lingkungan adalah bagian wila­yah dalam Kelurahan yang merupakan ling­­kungan kerja pelaksanaan pemerin­ta­han Kelurahan.

Pasal 31 ayat (1), untuk memperlancar ja­lannya peme­rintahan Kelurahan di dalam Kelurahan dapat dibentuk Lingku­ngan yang dikepalai oleh Kepala Ling­ku­ngan sesuai dengan pedoman yang di­tetapkan oleh Menteri Dalam Negeri. (2) Kepala Lingkungan adalah unsur pe­laksana tu­gas Kepala Kelurahan dengan wilayah kerja tertentu. (3) Kepala Ling­ku­ngan adalah Pegawai Negeri yang di­angkat dan diberhentikan oleh Bupati/Wa­likota atas nama Gubernur Kepala Dae­­rah Tingkat I, dengan memper­ha­tikan syarat-syarat dan ketentuan-ke­ten­tuan kepegawaian sesuai de­ngan pe­ra­tu­ran perundang-undangan yang berlaku.

Tapi dalam kenyataannya, UU ini ti­dak dipatuhi oleh banyak daerah dan UU ini kemudian diubah beberapa kali. Ba­nyak daerah yang menetapkan wilayah RT/RW sebagai hirarki pemerintahan ter­bawah. DKI Jakarta contohnya, tidak me­ngenal jabatan Kepling. Sementara Ko­tamadya Me­dan (dulu) me­na­ma­kan­nya sebagai Kepala Lorong (Keplor). Se­kitar pertengahan 80-an berganti nama men­jadi Kepala Lingkungan (Kepling).

Tapi pergantian Keplor menjadi Kepling tidak lantas membuat perubahan status kepegawaian. Kepling bukanlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai­mana diamanatkan UU No.5 Tahun 1979. Ke­pling boleh dibilang sebagai pegawai ha­rian lepas (PHL), tidak ada ketentuan ho­norariun tertentu secara rutin bulanan, tapi hanya berupa insentif kerja tertentu. Ke­pling kemudian dianggap sebagai to­koh masyarakat dan pemimpin informal. 

Kepling di kota Medan diakui secara for­mal eksistensinya di awal tahun 2000. Ada­­lah Walikota Medan, Drs.H.Abdillah yang membuat gebrakan. Beliau ke­mu­dian membuat Per­aturan Walikota ten­tang Pengangkatan dan Pemberhentian Ke­pling. Abdillah membuat diskresi ten­tang pem­berian honorarium secara rutin bu­lanan, walaupun dalam APBD tidak ada ang­garan khusus untuk honorarium Kepling. 

Di masa Abdillah, Kepala Lingkungan di­berdayakan secara maksimal. Selain di­beri honorarium, mereka diberi se­ra­gam layaknya PNS dan diberi handy tal­kie (HT) agar rutin melaporkan kondisi di lingkungan masing-masing, tentang kea­manan, masalah sampah, masalah ke­se­hatan war­ga, lampu penerangan jalan, parit tersumbat, banjir, laporan kebaka­ran, dll.  

Butuh Kepling

Sebagai warga kota Medan, kita tentu sangat mem­butuhkan peran Kepling. Mulai dari urusan administrasi, penguru­san KTP, KK, Surat Nikah, Surat Pindah, Surat Keterangan Kematian, Surat Ke­te­ra­ngan Miskin, dan lain sebagainya.

Tanggung jawab Kepling tidak hanya sebatas urusan administrasi saja, tetapi juga soal kesejahteraan masyarakat. Jika ada kasus DBD (demam berdarah dengue), Kepling biasanya akan melapor ke pihak terkait agar dilaksanakan fogging. Kepling juga dapat membantu kepolisian dalam mendampingi atau memberi informasi soal kejahatan, semi­sal kasus pencurian, asusila hingga peredaran narkoba. Pi­hak kepolisian biasanya akan memberitahu kepada Kep­ling soal penangkapan warga yang terlibat kriminal.

Secara tidak langsung Kepling adalah asisten dari Lurah. Masyarakat biasanya tidak sempat berurusan ke kan­tor Kelurahan. Lurah pun terkadang tidak ada di tempat karena harus tugas di luar kantor, berkeliling wilayah, atau me­ngikuti rapat dengan camat, SKPD, atau walikota. Maka masyarakat dapat berurusan dengan Kepling yang ada di sekitar tempat tinggalnya.   

Menimbang kewajiban dan tanggung jawab yang dipikulnya, maka sangatlah wajar jika kemudian para Kep­ling ini di­lindungi dan harus diperjelas tugas po­kok dan fungsinya. DPRD Kota Medan ke­mudian berinisiatif me­ngajukan Ran­cangan Peraturan Daerah (Ranperda) ten­tang Pengangkatan dan Pemberhen­tian Kepala Lingkungan.

Ranperda Kepling selama setahun ini tak kunjung selesai dibahas dan disahkan men­jadi Perda. Sempat terjadi polemik bah­kan penolakan oleh pihak Pemko Me­dan. Walaupun kemudian Pemko Medan me­nerima Ranperda ini dengan catatan bah­wa Perda tentang Lingkungan harus juga dibuat.

Alasannya sangat logis, bahwa se­belum ada Kepala Lingkungan bukankah le­bih baik dibuat peraturan terlebih da­hulu tentang apa dan bagaimana Ling­ku­ngan serta de­finisinya. Kepling adalah “pe­nguasa” sementara Lingkungan ada­lah “wilayah kekuasaan”, dan keduanya ti­dak bisa dipisahkan sehingga Kepala Ling­kungan dan Lingkungan harus di­buat Perda-nya masing-masing. Ba­gai­mana ada “penguasa” jika belum ada “wi­­layah” ?

Wakil Walikota Medan Ir. Akhyar Na­sution, M.Si dalam rapat paripurna lan­jutan mengenai Ranperda Kepling di ge­dung DPRD Medan (22/2/2016) me­nyatakan, “Menurut saya sangat bijak andai ada barometer bentuk wilayah sebelum dibentuknya peraturan daerah soal Kepala Ling­kungan. Artinya nakho­danya sudah ada, tapi busnya belum ada. Kita berharap Perda pembentukan lingkungannya dahulu. Nakhoda ada, tapi wilayahnya belum ada. Kita tidak bisa suka-suka memimpin daerah ini. Harus ada regulasinya,” jelas Akhyar.

Kepala Lingkungan

Memang ada polemik seperti perta­nya­an, mana terlebih dahulu, ayam atau te­lur ayam. Untuk itu DPRD Kota Medan dan Pemko Medan jangan terjebak de­ngan pola ini, mana yang lebih penting Ling­kungan atau Kepala Lingkungan? Jika DPRD Kota Medan menyatakan bah­wa Kepala Lingkungan lebih penting, se­mentara Pemko Medan menyatakan bah­wa pembahasan Lingkungan lebih pen­ting, maka tidak akan ada titik te­munya.

Kedua-duanya penting diatur dalam Per­da. Tapi mengingat Perda Kepling su­dah lama dan sudah terlebih dahulu di­bahas di DPRD maka alangkah lebih bijak jika kemudian Perda ini terlebih dahulu disahkan. Perda Ling­kungan dapat dibahas menyusul kemudian.

Pengangkatan dan pemberhentian Ke­pling di Kota Medan melalui Peraturan Walikota (Perwal), dinilai telah banyak me­nyimpang terkait masalah usia mak­simal, masa jabatan, syarat pendidi­kan for­mal, dan tidak jelas proses peng­ang­ka­tannya.

Masa jabatan Kepling selama ini dianggap seumur hidup, sehingga tidak heran jika banyak Kepling yang ber­umur 60 tahun ke atas. Kepling tidak akan diganti jika belum me­ninggal du­nia. Bahkan jika meninggal dunia, ja­batan Kepling sepertinya bisa “diwa­riskan” dari bapak kepada anak-anak­nya, dari suami ke isteri, dari saudara kepada saudara, dan seterusnya.

Masalah tingkat pendidikan formal para Kepling juga patut dipertanyakan. Masih banyak Kepling yang ber­pen­dikan formal di bawah SLTA sederajat. Banyak Kepling yang gagal dan tidak mampu menjalankan tugas dan tang­gung jawabnya disebabkan pengangka­tan Kepling tidak be­nar-benar selektif berdasarkan kompetensi dan ke­mampuan.

Para Kepling kerap pula mengalami politisasi. Pada Pil­kada, Pileg, atau Pilpres para Kepling juga kerap meng­alami tekanan atau memihak calon kepala daerah tertentu (biasanya pihak petahana). Ada pula yang menjadi tim sukses dan menjadi anggota parpol tertentu. Dalam proses politik, Kepling seharusnya netral, dan jangan menjadi kaki tangan pihak tertentu.

Ada pula Kepling yang rangkap jabatan atau rangkap pekerjaan. Ada beberapa PNS atau pegawai BUMN/BUMD yang menyandang jabatan sebagai Kepling, atau pekerjaan lain yang menyita waktu sehingga pela­yanan kepada ma­syarakat tidak mak­simal. Masyarakat ingin berurusan de­ngan Kepling, tapi Keplingnya sibuk tak punya waktu dan sering tidak ada di rumah. Ada pula Kepling yang tidak berdomisili di lingkungannya.

Dalam Perda nantinya, harus ada kri­teria tentang siapa, apa, dan bagai­mana tugas pokok dan fungsi dari Ke­pling. Saat ini kedudukan Kepling ada yang tidak memenuhi rasio jumlah pen­duduk dan luas wilayah. DPRD Kota Medan menyebutkan, rasio Kepling harus me­mimpin 1.500 jiwa dengan luas wilayah 13 hektar. Rasio itu berda­sarkan asumsi luas Medan 26.150 hek­tar dan jumlah penduduk sekitar 3 juta jiwa, dibagi 2001 kepling yang terdaftar di Medan.

Saat ini ada wilayah Lingkungan yang akibat perkem­bangan perumahan dan perkantoran, menjadi berkurang penduduknya, sehingga tidak meme­nuhi rasio lagi. Bahkan DPRD Kota Medan menemukan ada Kepling di Ke­lurahan Anggrung, Kecamatan Me­dan Polonia, yang hanya mem­punyai warga tak sampai 5 Kepala Keluarga (KK). Dite­mukan juga Kepling di Ke­lurahan Simpang Tanjung Keca­matan Medan Sunggal, hanya memiliki 30 KK.

Dalam Ranperda yang diini­siasi oleh DPRD Kota Medan sebenarnya telah diatur untuk menjadi Kepling mi­nimal berpendidikan SMA/sedera­jat, sudah berumah tangga, berusia mi­nimal 25 tahun dan maksimal 60 tahun. Pe­ngang­katan Kepling dilaksa­nakan pemilihan langsung oleh ma­syarakat (dipilih warga). Begitu juga masa jaba­tan Kepling adalah 3 tahun dan maksi­mal menjabat sebanyak 2 kali periode. Kepling juga harus berdomisilli di ling­kungan yang dipimpinnya. Kepling di­larang berpoligami. Kepling juga dila­rang menjadi anggota OKP, dan ang­gota Parpol.

Perda Pengangkatan dan Pember­hentian Kepala Ling­kungan sejatinya adalah untuk kepentingan masyarakat secara luas, termasuk juga melindungi hak-hak dan kewajiban para Kepling. Bagi Pemko Medan, Perda ini juga akan memayungi secara hukum dalam pengeluaran pos ang­garan honorarium para Kepling dalam APBD.

Selama ini anggaran honorarium pa­ra Kepling adalah diskresi atau kebi­jakan yang dapat berdampak hu­kum dan sepenuhnya menjadi tang­gung jawab Pemko Me­dan dalam hal ini Walikota. Alokasi pengeluaran di luar APBD ini bisa menjadi te­muan pe­nyimpangan anggaran. Jadi tidak se­mestinya, Ranperda Kepling ini ditunda-tunda pengesah­annya.***

* Penulis adalah pemerhati masalah sosial-kemasyarakatan.

()

Baca Juga

Rekomendasi