PPAT dan Kewenangan Pengukuran Bidang Tanah

Oleh: Rahmat Ramadhani, SH., MH.

Baru-baru ini Kementrian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (Kemen-ATR/BPN) merillis isu baru ke publik terkait dengan wacana pemberian kewe­na­ngan kepada Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) untuk melakukan pengukuran bidang tanah dalam rangka kegiatan pendaftaran tanah di Indonesia. Wacana tersebut dida­sarkan pada alasan bahwa Kemen-ATR/BPN mengalami kewalahan dan keterlam­batan dalam memberikan pelayanan pengu­kuran bidang tanah kepada masyarakat yang dise­babkan oleh adanya keterbatasan tenaga juru ukur yang ada. Tentunya wacana ini penting untuk diulas, mengingat pengukuran bidang tanah merupakan salah satu kegiatan yang ’sakral’ dalam proses panjang pener­bitan sertipikat hak atas tanah.

Kegiatan Sakral

Pengukuran bidang tanah dalam suatu rangkaian kegiatan pendaftaran tanah adalah merupakan kegiatan yang disebut dengan Pengukuran Kadastral yang dilakukan oleh Kadaster. Secara harfiah, kata kadastral memiliki arti ”sesuai dengan batas-batas tanah yang ditentukan oleh badan pencatat tanah milik”, sedangkan kata Kadaster memiliki arti ”badan (pemerintah) pencatat tanah milik yg menentukan letak rumah, luas tanah, serta ukuran batasnya untuk menentukan pajak dan lain sebagainya” (www.kamusbesar.com). Secara sempit dapat ditarik pengertian bahwa pengukuran kadastral merupakan pengukuran yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka menghimpun informasi terkait; pemilik, letak, luas dan batas terhadap suatu bidang tanah.

Pengukuran bidang tanah juga diartikan sebagai proses pemastian letak batas satu atau beberapa bidang tanah berdasarkan permohonan pemegang haknya atau calon pemegang hak baru yang letaknya saling berbatasan atau terpencar-pencar dalam satu desa/kelurahan dalam rangka penye­leng­garaan pendaftaran tanah baik secara spo­radik/mau­pun sistematik (vide; Bab I Ke­tentuan Umum Pasal 1. PMNA/Ka. BPN No­mor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pe­laksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah).

Penyelenggaraan pendaftaran tanah yang dilakukan pemerintah Republik Indonesia pada dasarnya adalah pengejawantahan amanah konstitusi Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 yang secara konkrit terjabar dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 jo. Peraturan Peme­rintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang salah satu tujuannya adalah untuk menciptakan kepastian hukum bagi pemegang hak atas bidang-bidang tanah yang dihakinya (vide; Pasal 19 ayat (1) UUPA jo. Pasal 3 huruf (a) PP 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah). Kepastian hukum dalam pendaftaran tanah meliputi; Kepastian Objek, Kepastian Subjek dan Kepastian Status Hak atas suatu tanah (Muchtar Wahid, 2008: 127).

Guna mencapai suatu kepastian hukum atas objek bidang tanah, maka kegiatan pengukuran bidang tidak dapat dilepaskan dari kegiatan pemetaan. Oleh karenanya dalam peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan kerap menyebutnya dengan kegiatan Pengukuran dan Pemetaan Kadastral yang bertujuan untuk Pembuatan Kerangka Dasar Pemetaan, Peta Dasar, Peta Bidang Tanah Dan Peta Pendaftaran. Guna mencapai tujuan tersebutlah kemudian pengukuran dan pemetaan kadastral menjadi amat sangat sakral sehingga pelaksanaannya tidak dapat dilakukan oleh sembarangan pihak.

Mitra Pembantu

Kehadiran Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah sebagai mitra BPN yang ber­tugas membantu Kepala Kantor Per­tanahan dalam menjalankan tugas pendaf­taran tanah di Indonesia pada level kerja di tingkat kabupaten/kota. Hal demikian tegas tertulis pada Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerin­tah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, yaitu; ”Dalam melaksanakan pendaf­taran tanah, Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh PPAT dan Pejabat lain yang ditu­gaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut Peraturan Peme­rintah ini dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan”. Kata-kata ‘sebagian’ menunjukkan adanya batasan kewenangan PPAT dalam lingkup pekerjaannya yang bertalian dengan penye­lenggaraan pendaf­taran tanah.

Jika merujuk pada isi Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pem­buat Akta Tanah sebagaimana telah diubah dengan Peratu­ran Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 menyebutkan bahwa; “PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu”, maka jelas terlihat bahwa yang dimaksud dengan melaksanakan sebagian tugas pendaftaran tanah adalah berupa pembuatan akta-akta tanah yang bersifat akta otentik (vide; Pasal 3 ayat (1) PP 37 Tahun 1998).

Tanggung Jawab Hukum

Oleh karena PPAT sebagai mitra pem­bantu BPN berdasarkan peraturan tersebut di atas tugas pokoknya adalah melakukan pencatatan berbentuk akta otentik dalam rangka menyeleng­gara­kan sebagian kegiatan pendaftaran tanah, maka kajian terhadap wacana kewenangan PPAT untuk dapat me­laksanakan kegiatan Pengukuran dan Peme­taan Kadastral mesti dititik beratkan pada tanggung jawab hukum atas pelaksanaan kegiatan tersebut. Sebab seperti yang telah diuraikan di atas, kegiatan peng­ukuran dan pemetaan kadastral bertujuan untuk mencip­ta­kan kepastian hukum atas objek bidang tanah sebagai salah satu maksud dari dilak­sanakannya pendaftaran tanah di negeri ini.

Selain itu, tidak ditemukan satu pasal-pun dalam peraturan jabatan pejabat pembuat akta tanah sebagaimana disebutkan di atas dapat menunjukkan kewenangan PPAT melakukan peng­ukuran dan pemetaan bidang tanah secara kadastral. Sehingga baik bagi PPAT maupun pihak yang ditunjuk oleh PPAT tidak memiliki legal standing dalam rangka melaksanakan kegiatan pengukuran dan pemetaan kadastral dimaksud. Oleh karena tidak memiliki legal standing yang jelas, maka tidak menutup kemungkinan pula hasil yang dikerjakan nantinya sarat akan cacat hukum, terlebih lagi dikhawatirkan akan menimbulkan problematika hukum baru di tengah-tengah maraknya sengketa, konflik dan perkara pertanahan yang sudah ada.

Namun demikian tampaknya wacana Kemen-ATR/BPN dalam memberikan kewe­nangan kepada PPAT untuk melaku­kan pengu­kuran dan pemetaan kadastral akan lebih tepat jika dasarkan rencana yang matang dan disertai dengan regulasi yang apik. Perlu diketahui bahwa jauh sebelum wacana tersebut digulir­kan, BPN telah menetaskan Peraturan Menteri Agaria/Ka. BPN Nomor 2 Tahun 1998 tentang Surveyor Berlisensi yang dengan sendirinya telah melahirkan ’tukang ukur tanah baru’ Non-PNS selain juru ukur maupun pembantu ukur PNS di lingkungan Kemen-ATR/BPN.

Oleh sebab itu, wacana pemberian kewenangan PPAT melakukan pengukuran dan pemetaan kadstral akan lebih tepat jika disandingkan dengan peraturan Surveyor Berlisendi tersebut. Karena petugas ukur non-PNS (surveyor) yang dapat membantu PPAT untuk melakukan pengukuran dan pemetaan kadstral telah memiliki lisensi dari Kemen-ATR/BPN, sehingga produk yang dihasilkan nantinya juga dapat dipertanggung jawabkan secara hukum. Jadi wacana dimaksud semata-mata tidak hanya didasarkan pada alasan kelasik berupa kekurangan tenaga ukur sehingga tidak membuka celah hampanya kepastian hukum atas objek bidang tanah dalam kerangka pendaftaran tanah. Semoga bermanfaat!!!***

Penulis adalah Dosen Hukum Agraria FH UMSU & Direktur LBH BUMI BHAKTI.

()

Baca Juga

Rekomendasi