Oleh: Rizki Muliani Nasution
SULIT mendapatkan pekerjaan setelah menjadi sarjana adalah momok yang paling ditakuti oleh para generasi muda. Sehingga banyak orangtua berpendapat, untuk apa anak disekolahkan tinggi-tinggi kalau nantinya sulit mendapat pekerjaan?
Mengapa tidak dari awal, anak perempuan disuruh menikah saja dan anak laki-laki disuruh mencari nafkah saja setamat SMA? Apalagi persaingan masuk ke perguruan tinggi yang benar-benar bagus dan terakreditasi A dibutuhkan perjuangan besar. Butuh modal, tenaga, pikiran dan kemauan belajar yang bukan main-main. Generasi muda harus benar-benar memikirkan masa depannya jika tidak ingin salah langkah.
Namun, tak semua sanggup memasuki perguruan tinggi yang benar-benar layak tersebut. Sebagian gagal dan akhirnya mau tak mau harus masuk ke perguruan tinggi swasta (PTS) yang notabene uang kuliahnya tentu saja lebih mahal. Ditambah lagi, PTS yang bercitra buruk di mata beberapa kalangan karena kebanyakan PTS terakreditasi C bahkan belum terakreditasi, sehingga saat penerimaan pekerjaan, terjadilah diskriminasi: perguruan tinggi negeri (PTN) indeks prestasi kumulatif (IPK) minimal 2,75 dan PTS minimal 3,00. Perguruan tinggi minimal terakreditasi B.
Generasi muda yang sedang mencari pekerjaan, membaca persyaratan ini saja sudah menepuk jidatnya. Bagaimana tidak, jika sebagian besar generasi muda itu mendaftar di PTS yang terakreditasi C. Apalagi kini ada fakta lain, alumni dari perguruan tinggi yang terakreditasi C tak dapat mendaftarkan diri untuk CPNS. Semakin merajalelalah idiom, “Buat apa sekolah tinggi-tinggi, kalau pada ujungnya mencari pekerjaan pun susah.”
Pemerintah boleh saja membuat peraturan setinggi-tingginya bagi pencari kerja. Untuk mendapat pekerjaan di kantor harus sarjana, untuk menjadi dosen harus lulus S2, harus dari PTN berakreditasi A atau B dan sebagainya.
Anda yang kuliah di PTS yang berakreditasi C atau mungkin tak terdaftar. Mungkin dulu Anda salah pilih atau kuliah karena ikut-ikutan teman. Atau takut kalau hanya tamatan SMA, tak akan ada pekerjaan yang bisa Anda dapatkan. Inilah waktunya, mengubah cara berpikir. Tidak perlu menyesali diri karena terlanjur kuliah di PTS berakreditasi C. Ingatlah satu hal: tuntutlah ilmu sebanyak mungkin. Hingga punya kemampuan yang bisad tunjukkan kepada masyarakat.
Saya pribadi percaya bahwa setamat kuliah tak ada jaminan kerja. Namun jika kita punya keahlian dan kelebihan akan ilmu yang pelajari, maka pekerjaanlah yang akan mencari kita.
Jangankan yang kuliah di PTS, mereka yang kuliah di perguruan tinggi berakreditasi A sekali pun sulit mendapat pekerjaan. Banyak sarjana setelah tamat kuliah mengeluhkan hal ini. Sudah sarjana, tapi tak mendapat pekerjaan yang layak sesuai gelarnya. Dia sudah bergelar bidan atau perawat namun saat memasuki dunia pekerjaannya, dia tidak puas dengan gaji yang sedikit dan pekerjaan yang sangat melelahkan.
Mengapa hal ini terjadi? Pertama, karena banyak sarjana yang tak mencintai jurusannya, bahkan mengenal dan tahu hanya sekadar kulit luarnya saja. Mereka benar-benar tak mengerti mempelajari ilmu tersebut sehingga yang dirasakan hanya beban. Saat mempelajari ilmu kedokteran misalnya, kuliah dijadikan hanya sekadar ajang mencari IPK tinggi, untuk mendapatkan IPK tinggi, cara tidak terpuji pun dilakukan.
Selagi muda, belajarlah. Raihlah ilmu sebanyak-banyaknya. Pekerjaan akan datang menghampiri jika kita punya ilmu. Jadi, jangan kuliah jika diniatkan hanya untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Mungkin bisa didapat, namun yakinlah pekerjaan yang didapat karena gelar sarjana itu hanya akan membuat perasaan tertekan, stres bahkan depresi. Momok paling menakutkan bagi para sarjana, yakni hanya bisa menganggur. Cibiran inilah yang sering diterima, jika kuliah itu hanya untuk mendapat pekerjaan yang lebih baik.
Jadi, apa pun itu tantangan di masa depan, generasi muda seharusnya siap, membekali diri dengan ilmu. Yang berilmu dan aktif sebagai generasi muda, tak perlu takut, karena pekerjaan itu pasti akan mengejar dan menemukan kita.
Bagi generasi muda yang menimba ilmu hanya setengah-setengah, mulailah berubah. Jangan biarkan hanya sekadar angka di KHS. Karena bagaimana pun, pengabdian pada masyarakat akan ilmu yang didapat adalah bukti bahwa pekerjaan itu pantas didapatkan. Bukankah para pencari dana beasiswa juga mencari orang-orang seperti ini? Yang mau bergerak aktif dan dinamis untuk menuntut ilmu yang lebih baik hingga dapat mengabdi pada Indonesia.
Mengabdi pada Indonesia bukan hanya menjadi pegawai kantor seperti dambaan orangtua terhadap putra-putrinya saat ini. Banyak yang dapat dilakukan, misalnya berwirausaha kecil-kecilan. Bukankah saat ini Indonesia membutuhkan banyak pemuda yang terampil membuka usaha sendiri (enterpreneur)? Karena itu sarjana diharapkan dapat membuka lapangan kerja dengan ilmu yang didapat di bangku perkuliahan, bukan lagi mencari pekerjaan.
Tak perlu malu melakukannya. Jika tetap saja pekerjaan tak menghampiri, dengan ilmu yang didapat di bangku kuliah, justru cara berpikir akan lebih tajam membuka wirausaha sesuai keilmuan yang dimiliki.
Bagi yang jurusan pendidikan, tak ada salahnya membuka bimbingan belajar. Bagi yang jurusan kebidanan, sebaiknya magang di rumah sakit walau bergaji sedikit. Yang perlu dikejar saat baru tamat kuliah, bukan gaji tapi skill. Jadi, kuasai dan cintai ilmu yang dimiliki. Setelah itu, akan diketahui ada yang lebih berharga daripada sekadar materi. Ikhlaslah membantu orang. Jadilah orang yang bermanfaat, bukan mengejar keuntungan semata. Jika bermanfaat, yakinlah kelimpahan itu akan mengikuti.
* Padang Sidimpuan, Maret 2016