Oleh: Sihar EP Sitompul
ENAM TAHUN Opung Gindo Doli, hidup menduda dan tinggal sendiri setelah kematian Opung Gindo Boru, istrinya. Dia menolak permintaan anak-anak dan para menantu untuk tinggal di kota bersama salah seorang di antara mereka. Bukan khawatir merepotkan, tapi agar bisa menziarahi makam Opung Gindo Boru kapan pun dia ingin.
Sendiri menjalani hari-hari tak membuat Opung Gindo Doli susah. Kebutuhan makan harian disediakan keluarga Amang Ranap, pengelola sawah dan kebunnya. Keluarga Amang Ranap mengelola sawah dan kebun Opung Gindo Doli tanpa uang sewa. Juga dibebaskan dari keharusan membagi hasil sawah dan kebun.
Masa tua Opung Gindo Doli juga jauh dari sepi. Dia aktif di perkumpulan koor gereja, mengikuti pesta adat dan sekali seminggu ke pekan kecamatan. Sering pula dia menghabiskan waktu berbincang bersama Ompu Berta Doli, sahabatnya. Jika tenaga dirasa melimpah, dia ikut membantu keluarga Amang Ranap memungut hasil kebun.
Sebagai anak pembuka kampung, Opung Gindo Doli berupaya hidup arif. Dia mendamaikan setiap perselisihan di antara warga, pun menjadi tempat bertanya dan meminta nasihat. Hidup berhikmat menjadikannya panutan. Dengan hikmat yang dimiliki pula dia membaca kematiannya.
Usai sarapan di satu pagi sehabis hujan tiga tahun lalu, Opung Gindo Doli menuliskan wasiat di secarik kertas. Setelahnya mandi lalu mengenakan setelan jas lengkap dan sepatu kulit mengkilap, kemudian berbaring di ranjang. Alkitab dan kertas wasiat terletak di sampingnya. Opung Gindo Doli melipat tangan di dada dan perlahan menutup mata.
Tak lama, nafas terakhir melesat meninggalkan tubuh. Wajahnya tenang dengan senyum senang. Opung Gindo Doli mengalami kematian yang ingin dimiliki Opung Berta Doli. Orang yang pertama sekali mengetahui kematiannya saat hendak mengajak ke pekan.
* * *
Dua kali sudah dalam bulan ini, Opung Berta Doli memasrahkan nyawa pada Yang Kuasa. Mandi, mengenakan setelan jas lengkap dan sepatu kulit mengkilap, berbaring di ranjang, lalu menutup mata. Bukan kematian yang didapat, tapi tidur lelap. Dia baru tersadar setelah dibangunkan Opung Berta Boru, istrinya.
“Aku harusnya sudah mati, Inang1).” Opung Berta Doli sesenggukan di pelukan Opung Berta Boru saat dibangunkan di kali ketiga dia menyerahkan jiwa kepada Tuhan.
“Jangan mendahului Tuhan, Opung Berta,” bujuk Opung Berta Boru.
“Aku tidak mendahului, Inang. Firasatku bilang waktuku sudah tiba. Aku sudah siap, Inang. Aku sudah puas hidup. Jemputlah aku, Tuhan. Iklaskanlah aku, Inang,” lemah suara Opung Berta Doli.
“Aku ikhlas, Opung Berta. Aku siap kau tinggalkan,” Opung Berta Boru ikut menangis, “Tuhan yang punya hidup dan mati kita.”
“Kenapa Tuhan belum menjemputku?”
Opung Berta Doli melepaskan pelukan istrinya. Keduanya duduk bersisian di tepi tempat tidur. Opung Berta Doli terus meratap memohon kematian yang dirasa sudah harus menjemput. Sebagai tanda lepas dari keterikatan duniawi dan kesediaan mati, dia bahkan sudah menjalani sulang-sulang hariapan2) atas permintaannya.
“Adakah penghalang, Opung Berta?,” tanya Opung Berta Boru resah.
Opung Berta Doli terdiam. Pikiran rentanya membuka lembaran hidup. Mata tuanya menembus masa lalu. Tangisnya meledak. Tubuhnya terguncang.
“Opung Gindo ale-ale3)ku...,” jeritnya, “Parulian bere4)ku...”.
* * *
Di ruang tamu yang tak begitu luas, Opung Berta Doli dan Opung Berta Boru berkumpul bersama anak-anak mereka. Mereka datang dari perantauan. Para menantu dan cucu-cucu tak ikut sesuai permintaan keduanya. Dari empat anak mereka, Martua yang paling diharapkan datang tak bisa hadir karena pekerjaan tak bisa ditinggalkan.
Tak ada pembicaraan. Opung Berta Doli diam memandang ke pintu menanti Parulian, anak bungsu Opung Gindo Doli. Juga diminta datang dan berjanji memenuhi. Opung Berta Boru dan anak-anaknya juga diam. Menunggui ayahanda.
“Horas,” sapa Parulian memecah hening.
“Horas,” jawab keluarga Opung Berta.
“Bereku...,” Opung Berta Doli bangkit dan dengan payah menyongsong Parulian.
Parulian gegas masuk mendatangi Opung Berta Doli. Keduanya berpelukan.
“Bereku,” isak Opung Berta Doli, “Ampuni Tulang5)mu ini.”
Beberapa saat Parulian membiarkan Opung Berta Doli memuaskan tangis di pelukannya.
“Duduklah, Tulang,” Parulian menuntun Opung Berta Doli lalu menyalami semua yang ada di ruang tamu.
“Syukurlah kau datang, Bere,” ucap Opung Berta Boru.
“Aku berdosa kepada Bapakmu, kepadamu. Aku berdosa kepada kalian,” ucap Opung Berta Doli dengan isak tertahan. Parulian dan ketiga anak Opung Berta Doli memandang heran tak memahami ucapannya.
Opung Berta Doli mengambil secarik kertas dari saku kemeja. Menyerahkan pada Parulian.
Parulian membuka lipatan kertas. Wasiat bapaknya yang disimpan Opung Berta Doli tanpa sepengetahuannya dan saudara-saudaranya. Dia membaca, hingga ke baris pesan untuknya.
Parulian, anakku. Kebesaran hatimu menyenangkan Bapak.
Bapak bahagia kau mampu mensyukuri setiap hal yang kau alami. Bapak senang kau mengimani rencana Tuhan di balik kegagalanmu jadi polisi.
Anakku, ada atau tak ada Bapak, tetaplah hormati Tulangmu, Opung Berta Doli, sahabat Bapak. Tetaplah hormati Nantulangmu. Tetaplah sayangi Martua, tunggane6)mu, sahabatmu sejak kecil. Keharuan memenuhi dada Parulian. Tangisnya tak tertahan.
“Maafkan Tulangmu, Bere. Maafkan kami,” Opung Berta Doli ikut meluapkan air mata.
“Tulang...,” Parulian bersimpuh di depan Opung Berta Doli, meraih tangannya dan mencium berkali-kali.
“Maafkan Tulangmu, Bere. Lapangkan jalan kematianku,” sedu Opung Berta Doli.
“Tak marah aku, Tulang. Tak marah Bapak,” sahut Parulian.
“Apa sebenarnya yang terjadi?,” tanya Amang Berta, anak tertua Opung Berta Doli, tak dapat menahan rasa penasaran.
Opung Gindo Doli menatap Amang Berta dan dua anaknya yang lain. Dengan suara lemah dia menceritakan perbuatannya yang telah merampas hak Parulian menjadi polisi.
Saat polisi membuka penerimaan calon bintara, Parulian dan Martua ikut mendaftar. Di ujian akhir Parulian lolos sedangkan Martua gagal. Keputusan penguji menyatakan sebaliknya. Tanpa sepengetahuan Martua dan keluarga, sejak awal Opung Berta Doli menyuap melalui seorang oknum polisi kenalannya.
Menjadi kebanggaan bagi Opung Berta Doli -seperti juga bagi orang-orang kampung- jika ada anak yang menjadi tentara atau polisi. Dia membayangkan orang-orang kampung akan lebih menghormatinya saat Martua jadi polisi. Dia tak menyangka Parulian menjadi tumbal perbuatannya.
“Jahat kali aku sama kalian, Bere,” lemah suara Opung Berta Doli diperas tangis.
“Maafkan Bapak, Lae7). Maafkan kami,” ucap Amang Berta. Dua adiknya hanya tertunduk menyesali perbuatan ayahanda.
“Tulang, Nantulang8), Tunggane, Kak,” jawab Parulian.
“Bapak sudah tahu semua. Bapak pun sudah memberitahuku. Hanya kepadaku Bapak memberitahu. Bapak minta agar aku tak marah, tidak dendam dan meyakini ini adalah jalan hidup terbaik bagiku. Kita sudah seperti keluarga, Tulang. Selamanya kita tetap keluarga.”
“Lapang sekali hatimu, Bere,” sahut Opung Berta Boru.
“Ada kekecewaanku waktu itu, Nantulang. Aku ingat pesan Bapak. Puji Tuhan, pekerjaanku saat ini bagus. Di pekerjaanku pula aku bertemu boru9) Nantulang dan Tulang.”
“Opung Gindo, ale-aleku. Burju hian roham. Burju hian bereku si Parulian on10),” Opung Berta Doli bersenandung.
* * *
Sebagai bere, Parulian memahami posisinya yang harus terlibat menyiapkan segala kebutuhan pemakaman Opung Berta Doli. Dia ikut memasang tenda. Menyiapkan kayu bakar, memasak air, sampai mencari kerbau untuk disembelih di acara adat saur matua11) Opung Berta Doli.
Opung Berta Doli meninggal tak sampai seminggu setelah pengakuannya kepada Parulian.
Dia meninggal di gereja saat ibadah Minggu di tengah khotbah. Kematian yang melahirkan pujian dari warga kampung. Seperti pujian yang pernah dialamatkan pada kematian Opung Gindo Doli.
Sambil bekerja Parulian mendengarkan pembicaraan di sekitarnya yang menyebut Opung Berta Doli sungguh beruntung. Dia juga mendengar ucapan seorang warga yang menyebut Opung Berta Doli pasti sudah jumpa Opung Gindo Doli, bapaknya. Parulian tersenyum membayangkan pertemuan keduanya.
“Parulian, ale-aleku,” sebuah suara menyentak lamunan Parulian.
Parulian menoleh dan bangkit. Martua berdiri di hadapannya.
“Kau sudah datang, Tunggane?,” tanya Parulian gembira melihat sahabatnya.
Martua tak menjawab. Dia berdiri tegak. Mengangkat tangan memberi hormat kepada Parulian. Pandangannya lurus menatap Parulian. Sepasang matanya basah.
“Martua,” Parulian memeluk Martua. Martua balas memeluk. Erat keduanya berpelukan. Hati mereka lantas berbicara. Tentang permintaan maaf dan memaafkan. Tentang penyesalan dan pengampunan. Tentang arti persaudaraan.
PS Tuan, Agustus 2016
Catatan;
1. Inang: Ibu, juga menjadi panggilan lelaki kepada istri dan panggilan sayang Bapak kepada anak perempuan.
2. Sulang-sulang hariapan: ritus memberi makan orang tua yang lanjut usia atau sakit. Orang tua yang telah menerima sulang-sulang hariapan ini secara adat Batak dinyatakan pensiun dari adat.
3. Ale-ale: sahabat.
4. Bere: kemenakan, anak dari kakak atau adik perempuan, sapaan seorang lelaki dewasa kepada anak dari seorang perempuan yang semarga dengannya.
5. Tulang: paman, saudara laki-laki ibu. Tulang juga umum digunakan sebagai sapaan hormat kepada lelaki seumuran ayah yang belum dikenal.
6. Tunggane: anak lelaki Tulang (panggilan oleh lelaki), saudara lelaki istri.
7. Lae: anak lelaki kakak atau adik perempuan Bapak, suami kakak atau adik perempuan, sapaan akrab antarlelaki.
8. Nantulang: bibi, istri Tulang.
9. Boru: anak perempuan. Dalam masyarakat Batak, istri juga dianggap sebagai boru ni Tulang atau anak perempuan Tulang.
10. Opung Gindo, sahabatku. Baik sekali hatimu. Baik sekali hati kemenakanku si Parulian ini.
11. Saur matua : sudah memiliki cucu dari anak lelaki dan anak perempuan saat meninggal.