Lagi, Pisang Goreng atau Goreng Pisang?

Oleh: Riduan Situmorang. Di harian ini, M.Hanafiah Lubis, menuliskan artikel “Makna Goreng Pisang dan Razia Polisi dalam D-M” pada kolom Tinjaun Bahasa (Analisa, 5 Agustus 2016). Sebagai Secara ringkas, Hanafiah menyebutkan bahwa pada intinya yang benar di antara pisang goreng dan goreng pisang adalah pisang goreng. Pada paragraf sebe­lumnya, dia juga menyimpulkan bahwa frasa yang benar antara razia polisi dan polisi razia adalah polisi razia dan polisi merazia.

Terkait ini, sebagai pengajar di mata pelajaran bahasa Indonesia, saya mempunyai beberapa catatan kritis. Pertama, kebetulan, pada tubuh tulisan itu, Hanafiah juga menyinggung perihal imbuhan dan alomorfnya. Untuk itu, izinkan saya sebentar meluruskan perihal imbuhan ini! Pada paragraf ketujuh di kalimat pertama, Hanafiah menuliskan begini, namun[,] untuk lebih jelasnya, kita dapat mengkajinya dengan mem­berikan imbuhan me pada istilah razia polisi.

Sebenarnya, imbuhan me tidak ada pada kamus kita. Me hanyalah salah satu variasi bunyi dari imbuhan meng. Silakan buka dan baca KBBI. Di sana, jika ingin melihat me, akan ada tanda panah agar kita melihat meng. Itu artinya bahwa yang benar adalah meng, bukan me. Bahwa ada meng yang menjadi menye, me, mem, men, dan menge, itu hanyalah variasi bunyi. Maka itu, kalimat kedua Hanafiah pada paragraf ke-15,…, diberikan awalan me yang beralomorf meng…, adalah terbalik. Seharusnya, meng yang beralomorf menjadi me.

Kedua, terkait hukum D-M (dite­rang­kan-menerangkan). Dalam bahasa awam, D adalah inti (unsur pusat) dan M adalah pelengkap (atributif). Tidak semua frasa punya aturan D-M, ada juga yang berpola M-D, D-D, bahkan ada yang sama sekali tak punya unsur pusat (D). Contoh, jika frasa rumah makan berpola D-M di mana rumah sebagai intinya (D), maka ke rumah makan sama sekali tak punya unsur pusat. Ini namanya frasa eksosen­tris/preposisi .

Ketiga, menentukan di mana unsur pusat bukanlah seperti yang dikatakan Hanafiah, yaitu menambahkan imbu­han. Dalam contohnya, Hanafiah me­ngatakan bahwa untuk membedakan polisi razia dan razia polisi adalah menambahkan imbuhan meng sehingga lahir frasa sekaligus kalimat polisi merazia dan merazia polisi. Ini kemudian dia samakan dengan pisang menggoreng dan meng­goreng pisang. Apa ini tepat?

Barangkali ini bisa, tetapi bukan itu esensinya dan sama sekali, ini tidak tepat. Sederhana saja, bagaimana, misalnya, kalau itu dilakukan dengan frasa rumah makan, apakah akan menjadi rumah memakan; kursi goyang menjadi kursi menggoyang; meja hijau menjadi meja menghijau, dan seba­gainya? Tidak, bukan? Lagipula, dalam hal polisi merazia dan merazia polisi, ini bukan lagi frasa. Ini sudah menjadi bangunan kalimat karena sudah mem­punya unsur subjek dan predikat. Karena itu, hukum D-M di sana tak berlaku lagi.

Lalu, kalau demikian halnya, bagai­mana kita mencari unsur inti? Gampang! Untuk kasus razia polisi, rumah makan, wanita cantik, misalnya. Tinggal membuat kalimat yang relevan dengan frasa itu, seperti kini sedang ada “razia polisi”; kami pergi ke” rumah makan”; saya menemui “wanita cantik”. Pada frasa yang bertanda petik itu, kita tinggal memilih mana kata yang mewakili. Kalau kata itu mewakili, itulah unsur pusatnya dan itulah D-nya.

Tergantung Referensi

Mari kita jabarkan. Untuk kalimat terakhir, saya menemui cantik tentu tak bisa. Lebih bernalar jika kalimat itu menjadi saya menemui wanita. Maka itu, intinya bukan cantik, melainkan wanita. Demikian seterusnya. Secara berderet, maka unsur pusat frasa itu adalah razia dan rumah. Nah, bagai­mana dengan frasa pisang goreng dan goreng pisang? Ini tergolong unik karena kalau kita membuat kalimat saya memakan pisang goreng dan saya memakan goreng pisang, kedua kata (pisang dan goreng) bisa mewakili menjadi saya memakan pisang dan saya memakan goreng. Lalu, bagaimana kita menentukannya?

Di sinilah berlaku adaptasi yang diberikan oleh Hanafiah. Jika bahasa Inggris menggunakan metode M-D, kita dominan menggunakan metode D-M. Akan tetapi, tak selamanya metode D-M ini yang kita pakai. Pada kata-kata tertentu, kita juga menggunakan metode M-D. Contoh, sepak bola, perdana menteri, akan pergi, sangat cantik, dan masih banyak lagi. Kalau kita membuat kalimat menggunakan frasa itu, seperti sepak bola, tentu kata yang mewakiki adalah bola sehingga polanya M-D. Jadi, bukan seperti kata Hanafiah, dengan mengimbuhkan morfem terikat meng menjadi menyepak bola, misal­nya.

Begitu jugalah yang terjadi pada kasus pisang goreng dan goreng pisang. Metode yang kita pakai adalah alur D-M sehingga kata-kata pertamalah yang menjadi unsur pusat. Itu pun hanya berlaku khusus pada kata seperti ini. Kalau pisang goreng, berarti pusatnya ada pada kata pertama, yaitu pisang. Kalau goreng pisang, pusatnya adalah goreng. Sekali lagi, bukan dengan melekatkan afiks sehingga ada kata pisang menggoreng dan menggoreng pisang.

Lalu, apa bedanya pisang goreng dengan goreng pisang? Lihat lagi metode D-M di atas. Maka itu, unsur pusat goreng pisang adalah goreng, sedangkan pisang goreng adalah pisang. Dengan demikian, goreng pisang adalah salah satu jenis gorengan dan pisang goreng adalah salah satu jenis dari buah. Singkatnya, tak ada yang salah dengan frasa pisang goreng dan goreng pisang. Ini tergantung referensinya, apakah maksudnya gore­ngan atau buah pisang? Itu saja!.***

Penulis adalah Konsultan Bahasa Bimbel Prosus Inten Medan serta Aktif di PLOt (Pusat Latihan Opera Batak)

()

Baca Juga

Rekomendasi