Medan, (Analisa). Cahaya merambah penjuru tembok, menyusup lewat langit-langit atap kaca transparan. Seorang perempuan di bawahnya menengadah, pandangannya menembus atap hingga ke puncak. Perempuan itu harus menerima apa yang dia lakukan sebatas kenikmatan memandangi, bukan menyentuh apalagi menduduki puncak itu akibat keterbatasan.
Batas yang dibangun dari rentetan adagium bahwa perempuan tak bisa mencapai posisi puncak (pengemban tanggung jawab) di sebuah lembaga. Pandangan bahwa perempuan dapat diterima sebagai karyawan perusahaan, tetapi sulit untuk dipromosikan, terutama pada posisi puncak disebut sebagai glass ceiling. Hal ini biasa terjadi di dunia kerja perkantoran, lembaga atau instansi. Glass ceiling, yang secara harfiah bermakna langi-langit kaca ini mulai terdengar di era 1980-an.
Data Weyer (2007) menunjukkan, dari 1000 perusahaan di dunia, hanya 17 wanita yang menduduki jabatan CEO. Jumlah yang minim ini menurut para ahli dipicu oleh hambatan tersebut, dimana perempuan dapat melihat peluang di atasnya namun tidak dapat mencapainya.
“Hambatan tersebut bukan bersumber dari kemampuan dan kemauan diri sang pekerja. perempuan bisa saja memiliki skill yang tidak kalah denga pria, melainkan pandangan tersebut datang dari lingkungan sosial,” tegas Meutia Nauly, M.Psi, Psikolog pada Analisa.
Hillary dan Nara Masista
Belakangan, layar kaca diramaikan dengan sosok perempuan yang seakan ‘mendobrak’ tradisi ini. Sebutlah Hillary Clinton dan Nara Masista Rakhmatia. Hillary (69), kandidat presiden Amerika Serikat 2016 dari kubu Demokrat membuktikan bahwa hambatan perempuan dalam mencapai posisi puncak sebuah tatanan birokrasi sudah tidak lagi relevan. Mantan Menteri Luar Negeri negara adidaya ini meskipun tak terpilih, tapi berhasil menjadi sosok mewakili. Pun Nara Masista Rakhmatia (34). Diplomat asal Indonesia ini pernah mewakili Indonesia dalam sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menyuarakan isu terkait pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua dan Papua Barat.
Pertanyaannya apakah benar fenomena glass ceiling berlaku di seluruh dunia? Benarkah perempuan di seluruh perusahaan memiliki kekhawatiran yang sama? Tidak, tegas Meutia.
Dituturkannya, budaya Timur lebih permisif mempersilakan perempuan menempati posisi puncak. Justru budaya Barat yang relatif baru dalam mengakui hak pilih perempuan, yakni sekitar tahun 1960-an.
“Mereka lebih patrilineal. Kalau di budaya kita, jika diperhatikan dari segi antropologi, sejak zaman dulu penasehat spiritual adalah wanita. Ini kan posisi yang tanggung jawabnya tidak main-main dalam masyarakat,” jelasnya,
Belum lagi ketika bicara adat Minang. Meskipun pimpinan diutamakan dari kaum adam, namun kita lebih fleksibel untuk menggantikan ketika tidak ada yang menempati posisi tertentu ketika dibutuhkan.
“Untuk pemegang jabatan, budaya kita lebih easy going, justru mereka yang lebih struggling (berjuang),” imbuh dosen Fakultas Psikologi USU ini.
Dikatakannya perbandingan keputusan pemilihan pemimpin dalam budaya kita lebih ke arah perbandingan usia.
Dukungan Lembaga
Dukungan manajerial juga kini terlihat dalam perusahaan. Persis disampaikan Susi Yulianti (42), Senior Human Resource Business Partner PT. Schneider, perusahaan elektrik di Kota Batam. Ia menekankan dukungan kesamaan akses jabatan pada karyawan pria dan perempuan di perusahaan.
“Tidak ada pembedaan dari jenis kelamin. Kita murni terapkan ukuran berdasarkan kemampuan yang dibutuhkan di posisi tertentu, baik rekruitmen maupun promosi. Komposisi pria dan perempuan di posisi senior level juga seimbang” tuturnya saat ditemui Analisa selepas seminar pemberdayaan pemimpin perempuan di USU baru-baru ini.
Baginya tidak ada alasan perempuan tidak bisa mencapai posisi puncak, sebab sejauh pengamatannya, kualifikasi perempuan mumpuni. Hal ini berdasarkan hasil tes kecepatan dan ketelitian dan beberapa instrumen lainnya untuk pengukuran kinerja.
Tak hanya internal perusahaan, bahkan dukungan datang dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, berupa program “He for She” mengacu pada Konvensi Penghapusan Seluruh Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan yang terbentuk 2010 di bawah UN Woman.
Family Day
Salah satu hambatan posisi puncak bagi perempuan adalah kekhawatiran tidak bisa membagi tanggung jawab dengan keluarga. Agenda family day pun menjadi wacana demi menjawab kekhawatiran itu. Praktiknya, anak-anak dan pasangan dari karyawan perempuan diajak bermain dan mengenali area kantor, diajak berkeliling sambil dikenalkan dengan suasana kantor dan pekerjaan. Harapannya, saling pengertian antara anak dan ibu pun tumbuh.
Hal tersebut disambut baik oleh Lusi (34) selaku production manager.
“Perusahaan sangat apresiatif terhadap kinerja karyawannya, terutama perempuan. Saya sama sekali tidak khawatir untuk menjajaki karir,” tuturnya
Agaknya boleh dibilang, glass ceiling tidak terlalu relevan dengan kondisi saat ini. Penelitian lebih lanjut tentang kondisi pekerja wanita di dunia wira usaha sepertinya perlu dilakukan agar pengetahuan yang diperoleh lebih komprehensif. (anty)