Oleh: Jalatua Hasugian.
Masuknya kekuasaan Belanda ke wilayah Sumatra Timur, sejak penandatanganan Traktat Siak oleh Kesultanan Siak tahun 1858, tidak bisa ditepis ikut memuluskan upaya Belanda menguasai daerah-daerah yang masih merdeka di wilayah Sumatra Timur, termasuk Kerajaan Siantar. Apalagi lima tahun sesudahnya (1863), Belanda mulai membuka usaha perkebunan tembakau di Deli, yang lokasinya berdekatan dengan wilayah Simalungun dan Kerajaan Siantar..
Dari tanah Deli, pengembangan perkebunan yang dirintis Jacob Nienhuys di wilayah Sumatra Timur ini meluas ke wilayah Simalungun dan Kerajaan Siantar. Pesatnya investasi usaha perkebunan di wilayah Simalungun sangat berdampak terhadap perkembangan Pematangsiantar sebagai pusat Kerajaan Siantar.
Kebijakan pemerintah kolonial Belanda menjadikan kota Pematangsiantar sebagai salah satu pusat aktivitas politik, militer dan ekonominya di Sumatra Timur selain Medan, membuktikan bahwa kota berhawa sejuk ini dinilai potensial dan strategisuntuk mendulang devisa pemerintah Belanda.
Secara geografis, letak kota Pematangsiantar sangat strategis dalam menghubungkan arus lalu-lintas dari wilayah Pantai Timur Sumatera (Belawan/Medan) dan Asahan dengan wilayah Pantai Barat Sumatera (Tapanuli/Sibolga). Kondisi ini makin membuat Pematangsiantar sangat penting bagi kepentingan militer, ekonomis dan politis pemerintah kolonial Belanda. Sehingga tidak mengherankan bila Jepang juga kemudian menjadikan kota Pematangsiantar sebagai salah satu tujuan invasinya di Hindia Belanda selama perang Pasifik berlangsung (1941-1945).
Belanda pun kemudian merubah status Pematangsiantar dari sebuah pusat kerajaan tradisional menjadi kota administratif (geemente)sejak tahun 1917. Penataan infrastruktur serta fasilitas publik pun dilakukan sedemikian rupa sehingga mencerminkan sebuah kota dengan peradaban modern ala Eropa.Sejumlah infrastruktur dan fasilitas kota yang dibangun pada masa kolonial Belanda tersebut masih dapat dilihat hingga kini meski kondisinya sudah banyak mengalami perubahan.
Sejumlah bangunan bersejarah tersebut diantaranya: Kantor Balai Kota, Gedung Bank Rakyat Indonesia (BRI), Gedung Pengadilan Negeri, Stasiun Kerata Api, Rumah Sakit Umum (RSU) dr Djasamen Saragih, Siantar Hotel, Gedung Juang 45, Jembatan di Jalan Diponegoro, Jalan MH Sitorus dan Jalan Sudirman, Gedung SMP Negeri 1 dan SMA Negeri 4 yang pernah dijadikan sebagai pusat kesehatan dan pendidikan serta sejumlah tempat-tempat lainnya yang tersebar di kota Pematangsiantar.
Keberadaan sejumlah fasilitas kota ini memberikan gambaran dan bukti, bahwa kota Pematangsiantar memiliki arti penting bagi pemerintah Kolonial Belanda di Keresidenan Sumatra Timur. Hal ini juga tidak terlepas dari keberadaan perkebunan-perkebunan besar di sekitar Kota Pematangsiantar dan Simalungun yang memberikan andil terbesar bagi pertumbuhan dan perkembangan kedua wilayah ini.
Sayangnya, sudah banyak situs-situs bernilai sejarah tersebut terabaikan tanpa perawatan apalagi pelestarian. Padahal melalui tinggalan sejarah tersebut akan mendeskripsikan ragam aktivitas kehidupan masyarakat dimasa lalu, termasuk masa perkembangan kolonialisme Belanda di Pematangsiantar. Sebab akan dapat merekonstruksi pemikiran dan pemahaman tersendiri bagi para generasi muda untuk melihat perkembangan Pematangsiantar secara kronologis sejak masa lalu hingga saat ini.
Peristiwa Siantar Hotel berdarah
Selain menjadi kota penting era kolonial Belanda dan Jepang, Pematangsiantar juga punya banyak cerita tentang perlawanan pemuda dan laskar-laskar rakyat terhadap Belanda yang ingin kembali berkuasa pasca proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Salah satunya adalah Peristiwa Siantar Hotel Berdarah, yang terjadi pada tanggal 15 Oktober 1945. Ketika itu, Siantar Hotel dijadikan markas tentara Jepang dan tentaraKoninklijk Nederlands-Indisch Leger (KNIL) bentukan Belanda.
Siantar Hotel berada di lokasi yang sangat strategis di pusat Kota Pematangsiantar, persisnya di Jalan W.R. Supratman Nomor 3. Siantar Hotel dibangun pada masa kolonial Belanda tahun 1913 dan diresmikan tanggal 1 Pebruari 1915. Hotel ini didirikan oleh tiga orang berkebangsaan Swiss, yakni DR.Erns Surbeck (seorang dokter hewan), Hedwie Euse Surbeck dan Lydia Rosa Otto Surbeck. Sebagai pendiri dan pemilik, mereka kemudian mempercayakan pengelolaannya kepada Uegen Ralph Otto sebagai Direktur Utama.
Tahun 1969, kepemilikan hotel ini beralih kepada Julianus Hutabarat dan kemudian dikembangkan dengan penambahan kamar, lobby, restoran serta renovasi sejumlah kamar. Namun hingga kini, bangunan awal menunjukkan bentuk asli masih ada yang tersisa, yakni terdiri dari satu blok kamar yang menghadap ke pembatas hotel arah Stasiun Kereta Api.
Siantar Hotel ini memiliki sejarah penting bagi perjuangan merebut kemerdekaan di Kota Pematangsiantar. Karena lokasi ini pernah dijadikan oleh Jepang sebagai markas setelah Belanda menyerah kepada Sekutu tahun 1942. Namun pasca kemerdekaan, para pemuda kemudian menyerang tentara KNIL yang juga bermarkas di Siantar Hotel.
Pertempuran yang dikenal dengan “Peristiwa Siantar Hotel Berdarah” ini masih berkaitan dengan datangnya pasukan Nederlands Indies Civil Administration/Pemerintahan Sipil Hindia Belanda ke sejumlah wilayah di Indonesia pasca kemerdekaan. Kedatangan pasukan NICA ini membuktikan jika Belanda tidak rela Indonesia merdeka dan menjadi negara berdaulat. Dengan membonceng pasukan Sekutu untuk melucuti tentara Jepang yang kalah dalam perang dunia kedua, tentara NICAternyata berhasrat mengembalikan pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia.
Ambisi Belanda yang mendapat sokongan tentara Sekutu, memicu perlawanan rakyat di berbagai tempat di Indonesia termasuk di Sumatera Utara, khususnya di Kota Pematangsiantar. Beberapa kali, barisan pemuda dan laskar-laskar rakyat terlibat konflik dengan Belanda di sejumlah lokasi di kota Pematangsiantar secara bergerilya. Maklum, persenjataan dan logistikserta personil yang sangat terbatas membuat mereka harus pintar-pintar pasang taktik dan strategi saat menghadapi Belanda. Salah satu insiden yang paling heroik dan banyak menimbulkan korban jiwa adalah Peristiwa Siantar HotelBerdarah pada tanggal 15 Oktober 1945.
Sebelum pertempuran terjadi, pasukan pemuda sebenarnya sudah beberapa kali terlibat konflik dengan tentara Jepang maupun KNIL, khususnya pasca tersiarnya berita proklamasi kemerdekaan. Barisan pemuda terus mengintai aktivitas tentara yang bermarkas di Siantar Hotel, karena di sana masih bercokol tentara Jepang dan sisa-sisa tentaraKNIL. Artinya, pertempuran 15 Oktober sebelumnya sudah didahului insiden bahkan penembakan-penembakan oleh kedua belah pihak secara sembunyi-sembunyi.
Pertama kali para pemuda yang tergabung dalam Barisan Pemuda Indonesia (BPI) berhasil mengibarkan Sang Merah Putih di markasnya pada tanggal 27 September 1945. Sejak itu setiap pagi dan sore mereka mengibarkan dan menurunkannya di depan markas mereka. Para pemuda tak perduli meski kerap mendapat intimidasi bahkan tembakan-tembakan dari tentara KNIL di Siantar Hotel maupun dari pos penjagaan/pemantauan (Pagoda) yang ada di tengah Lapangan Merdeka, atau persis di depan Siantar Hotel. Lokasi pengibaran bendera Merah Putih ini, letaknya di depan markas BPI (Gedung Juang 45) yang hanya terpaut kira-kira 100 meter dari Siantar Hotel dan Pos Pemantauan KNIL (Pagoda).
Pada15 Oktober 1945, seperti biasa para pemuda menaikkan Sang Merah Putih di markasnya,namun mendapat tembakan dari arah Pagoda. Tujuan penembakan agar Sang Merah Putih yang sudah naik agar segera diturunkan. Mendengar ada suara tembakan, para pemuda berhamburan sekaligus menyusun strategi untuk menyerang.
Mereka sempat melihat serdadu yang melakukan tembakan berlari ketakutan ke arah Siantar Hotel. Tentara KNIL yang bermarkas di Siantar Hotel pun melancarkan tembakan beruntun ke arah para pemuda yang juga sudah siagasejak awal. Para pemuda dan laskar-laskar rakyat yang sudah disulut emosi pun spontan menyerang tentara KNIL yang ada di Siantar Hotel.
Pertempuran singkat ini menewaskan 5 orang tentara Belanda asli dan 12 orang tentara KNIL dan selain itu para pemuda juga menawan 17 orang tentara Belanda dan 10 tentara KNIL yang terluka. Dari pihak pemuda guru dua orang pejuang, yakni Muda Rajagukguk dan Ismail Situmorang serta puluhan yang mengalami luka-luka.
Pertempuran sempat terhenti setelah serdadu Jepang dipimpin Kolonel Orita datang menengahi. Namun ketika akan dilakukan perundingan, dimana saat itu pimpinan BPI, Burhanuddin Kuncoro, Juneid dan Aziz Siregar tengah berjalan menuju Siantar Hotel, tiba-tiba terdengar suara tembakan dari arah Siantar Hotel.
Untung Kolonel Orita bertindak sigap mengatasinya dengan mengerahkan serdadunya memblokir tempat tersebut. Para pemuda pun menyerbu Siantar Hotel dan spontan membakarnya serta menguasainya. Dua hari kemudian, pasukan Inggris sebanyak 300 orang datang dari Medan dan melakukan negoisasi dengan BPI melalui Kolonel Orita. Mereka meminta agar para pemuda menyerahkan tawanan yang masih hidup dan membawanya ke Medan.
Untuk mengenang Peristiwa Siantar Hotel Berdarah ini, dibangunlah sebuah monumen persis di depan Siantar Hotel. Bangunan berbentuk empat persegi terbuat dari batu andesit yang direkat dengan semen ini merupakan sumbangan seorang pengusaha bernama Sintong Bingei pemilik pabrik rokok NV.STTC.
Pada bagian tengah monumen ada sebuah inskripsi yang bertuliskan,”Tanggal 15 Oktober 1945 penjerbuan dan penghantjuran kub N.I.C.A di Siantar Hotel oleh masa rakjat Kota P.Siantar dan Kabupaten Simalungun sekitarnya, gugur Muda Radjagukguk, Ismail Situmorang korban fihak musuh 17 orang”
Selain berbentuk monumen, sebuah lukisan yang kini tersimpan di Museum Sumatera Utara-Medan, juga dibuat untuk menggambarkan aksi penyerbuan barisan pemuda dan laskar-laskar rakyat ke Siantar Hotel untuk menyerang tentara KNIL yang tergabung dalam pasukan NICA tersebut.
Pengibaran Sang Merah Putih Pertama
Sebagaimana diketahui, berita proklamasi kemerdekaan sangat lambat sampai ke daerah-daerah karena terbatasnya infrastruktur dan sarana komunikasi. Kondisi ini dimanfaatkan tentara NICA maupun Sekutu untuk melakukan provokasi dan menyebarkan berita bahwa kemerdekaan Indonesia tidak benar. Sementara di kalangan pemuda dan laskar-laskar pejuang, berita kemerdekaan sudah mereka dengar. Hanya saja untuk mengambil langkah-langkah strategis apalagi melucuti tentara Jepang, para pemuda masih memilih sikap menunggu.
Edisaputra dalam bukunya “Sumatera Dalam Perang Kemerdekaan: Perlawanan Rakyat Semesta Menentang Jepang, Inggris dan Belanda” terbitan Yayasan Bina Satria 45 Jakarta (1987), mengisahkan bahwa informasi kemerdekaan di Sumatera Timur, khususnya Pematang siantar – Simalungun sudah terdengar sejak awal September 1945 oleh sejumlah tokoh-tokoh pergerakan. Salah seorang tokoh pergerakan yang dikenal di kalangan pejuang Siantar Simalungun ketika itu, Abdullah Yusuf. Yusuf pernah mendapat surat dari Dr.A.K.Gani di Palembang agar segera menyampaikan berita kemerdekaan kepada segenap rakyat di Simalungun.
Namun karena kebingungan memikirkan bagaimana teknis mengumumkannya, Yusuf mengajak rekannya sesama pejuang, diantaranya: Abdul Azis Siregar, Burhanuddin Kuncoro, Menes Tampubolon dan Ricardo Siahaan untuk berdiskusi. Apalagi, Yusuf punya pertimbangan jika tentara Jepang yang masih berkuasa saat itu pasti akan bereaksi, jika mereka mengumumkan bahwa Indonesia sudah merdeka. Bukannya dapat solusi, Yusuf malah didesak rekan-rekannya agar segera mengumumkan kemerdekaan kepada rakyat.
Karena tak kunjung ada ketegasan dari Abdullah Yusuf yang malah terus memikirkan banyak pertimbangan, Abdul Azis Siregar dan rekan-rekannya spontan bertindak sendiri. Pada tanggal 27 September 1945, mereka menggelar apel pemuda di sekitar Lapangan Pagoda dan mengibarkan bendera Merah Putih sembari menyanyikan bersama-sama lagu Indonesia Raya. Sedangkan Teks Proklamasi tak dibacakan karena mereka belum memperoleh salinan naskahnya.
Pengibaran bendera Merah Putih pertama kalinya di Pematangsiantar dan pertanda pengumuman kemerdekaan ini, merupakan langkah berani para pemuda Siantar Simalungun. Padahal hanya terpaut puluhan meter dari lokasi mereka menggelar upacara, tentara Jepang dan tentara KNIL mengamatinya dari markasnya di Siantar Hotel. Namun mereka tampak diam seribu bahasa melihat tindakan heroisme para pemuda meski tanpa dihadiri jawatan-jawatan atau dinas-dinas maupun perwakilan pemerintahan atau raja-raja setempat. Guna mengenang peristiwa ini di lokasi pengibaran bendera Merah Putih tersebut, pada tahun 1996 dibangun sebuah prasasti.
Prasasti yang diukir pada marmer hitam dilekatkan di atas bangunan konstruksi bata masif, sekarang terletak di Jalan Merdeka, Kelurahan Proklamasi, Siantar Barat, tak jauh dari Balai Kota. Jika kita berjalan dari Jalan Merdeka samping Tugu Becak menuju Perpustakaan Sintong Bingei, prasasti itu ada di sebelah kanan kita. Atau persis di sudut kiri Lapangan Pariwisata bersebelahan dengan tembok perpustakaan.
Pada prasasti terdapat inskripsi: “Tanggal 27 September 1945 di sekitar ini terjadi peristiwa upacara penggerekan/pengibaran bendera merah putih yang pertama di Pematang Siantar/Simalungun oleh Pemuda-pemuda dan kekuatan rakyat Siantar/Simalungun. Dibangun oleh: Tim Khusus Perencana/Pelaksana Pembangunan Tetengger di Kodya Tk II P.Siantar. SK Walikota Madya Tk II P. Siantar No.430/15-WK/1996 tanggal 29 Januari 1996”
Selain itu, persis di tengah-tengah Lapangan Merdeka atau yang sekarang lebih dikenal dengan Taman Bunga juga dibangun sebuah Monumen Perjuangan, dalam rangka mengenang pertempuran para laskar-laskar pemuda semasa perang kemerdekaan. Monumen-monumen ini diharapkan dapat memberikan edukasi sejarah, pencerahan sekaligus menumbuhkan nasionalisme di kalangan generasi muda guna menatap masa depannya yang lebih baik. Dengan begitu, mereka tidak akan melupakan perjuangan para pendahulunya bahkan menjadikannya sebagai spirit dan inspirator membangun karakter kebangsaannya.***
Penulis, Dosen FKIP Universitas Simalungun, Pematangsiantar.