Biarkan Kami Tetap Menari

Oleh: J Anto.

KEBERADAAN sanggar tari tradisional di Medan bak kerakap tumbuh di batu. Gempuran tarian pop modern, terutama K-Pop dan pasar pertunjukan yang terbatas, membuat sejumlah sanggar tari tradisional kelimpungan. Ditempa oleh waktu, Sanggar Tari Sri Indera Ratu, merupakan salah satu sanggar tari yang mampu bertahan, sekalipun usianya telah melewati 49 tahun pada Agustus lalu.

Jemari tangan kiri Tengku Lisa Nelita (55) meliuk gemulai, sege­mulai gerakan kedua kakinya saat memeragakan tari Serampang Dua Belas. Sementara ujung jari jempol dan telunjuk tangan kirinya bersatu melengkung bak capit kepiting tengah menjepit kain di ping­gang­nya.

“Ini  gerakan menyingsing, saat tangan kanan berayun, tangan kiri memegang baju di pinggang seperti pe­rem­puan yang hendak mengan­gkat kain sarung menghindari ge­nangan air. Ini yang diajarkan ibu saya, Tengku Sita Syaritsa. Beliau belajar langsung dari Guru Sauti,” ujar Tengku Lisa Nelita. Pada saat lain, ia memeragakan gerakan siku tangan kanannya yang ditekuk selaras dengan dada.

“Ini adalah gerakan saat sang dara tersipu malu ketika diajak berkenalan oleh si jaka. Jadi tangan bukan di­ayun ke atas sampai ketiak terlihat. Dada juga tidak digerakan  ke depan dan pinggul jangan digoyang ke belakang sehingga timbul kesan erotis,” kata Nde Lisa.

Tari Serampang Dua Belas adalah tarian rakyat. Lahir dari tangan koreografer tari andal, Guru Sauti. “Tarian ini adalah tarian pergaulan muda-mudi. Gerakannya mencerita­kan mulai dari perkenalan sampai mereka resmi jadi pasangan,” ujar Nde Lisa. Karena itu saat adegan si pemudi masih malu-malu menerima pinangan si pemuda, maka gerakan si pemudi pun menunjukkan ekspresi malu, lemah-gemulai, termasuk ekspresi wajahnya. Sementara gerak­an si pemuda terlihat gagah dan agresif.

Tak heran, demikian ujar Nde Lisa, remaja yang belajar tari Seram­pang Dua Belas dari guru laki-laki akan memiliki nuansa gerakan berbeda dibanding yang belajar dari guru perempuan. “Tapi menurut saya perbedaan itu boleh-boleh saja asal tidak keluar dari pakem yang ada.”

Pakem itu tidak terpisah dari adat ketimuran dan ajaran agama, karena intinya pada tari Melayu, antara penari laki-laki dan perempuan tak boleh saling bersentuhan.  

Nde adalah panggilan karib anak-anak anggota Sanggar Tari Sri Indera Ratu yang berada di kompleks Istana Maimun, Medan. Nde Lisa itu sendiri tak lain adalah anak dari pasangan seniman Melayu kondang, Tengku Sita Syaritsa dan Tengku Muhammad Daniel Al-Haj.

Ratu Tari Melayu

Tengku Sita Syaritsa dikenal sebagai “ratu” tari Melayu yang lahir dari lingkaran dalam Kesultanan Serdang. Tak hanya dikenal sebagai penari Melayu, ia juga pencipta puluhan tari Melayu, lagu, juga de­sainer kostum para penari. Sedang­kan Tengku Mohamad Daniel Al-Haj dikenal lahir berasal dari ling­karan Kesultanan Deli. Ia dikenal sebagai “raja” penari Serampang Dua Belas tak terkalahkan, selain piawai memainkan akordeon dan gendang pak pung.

Grup music SIR’s Combo yang di­pimpinnya antara tahun 1970-1980, kerap tampil di TVRI Medan. Grup musik ini memadukan antar­musik Melayu dan Latin. Ensambel yang digunakan selain akordeon, gendang pak pung, juga biola dan gitar bas.

Pasangan suami isteri yang saling mengisi dalam berkesenian ini, pada 30 Agustus 1968 mendirikan Sang­gar Sri Indera Ratu. Saat tengku Sita Sya­ritsa meninggal pada 2003, Sanggar Tari Sri Indera Ratu dipim­pin Nde Lisa.

Dosen di Departemen (Program Studi) Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Su­matera Utara (USU) Medan, Mu­ham­mad Takari, menyebut kelahiran sanggar tari dan musik Melayu seperti Sri Indera Ratu tak lepas dari situasi politik pascaakhir era kon­fron­tasi dengan Malaysia. Selain Sri Indera Ratu, ada juga grup-grup musik dan tari bercorak Melayu lainnya, seperti Dara Melati, Patria, dan Melati. 

Nama Sri Indera Ratu menurut Takari berhubungan dengan Sri Indian Ratu secara historis. Sri berarti dewi padi yang melambangkan wanita cantik, sedangkan indera dimaksudkan untuk menyebut pria dan dapat pula berarti segala sesuatu yang ada pada tubuh manusia yang dapat merasakan. Kemudian ratu berarti raja wanita atau masih berhu­bungan dengan kerajaan. Maka Sri Indera Ratu mereka artikan sebagai sebuah sanggar Melayu yang masih berhubungan dengan kerajaan serta memiliki pola gerak tarian yang indah yang ditarikan oleh para dewi dan pria yang dapat dirasakan oleh panca indera manusia.

Regenerasi 

Menurt Nde Lisa sendiri, kebera­daan sanggar Sri Indera Ratu tak ter­lepas dari cita-cita untuk meles­ta­ri­kan tarian tradisional agar tak pu­nah oleh waktu. Tarian menu­rutnya ada­lah produk sebuah kebu­dayaan yang sarat makna. Karena itu gene­rasi muda tak akan rugi jika mau meme­lajarinya. Sayang realitanya jauh api dari panggang

“Sekarang anak muda malah banyak meremehkan tarian tradisio­nal. Mereka lebih memilih belajar mo­deling atau tarian K-Pop,” ujarn­ya. Di tengah defisit minat seperti itu, pe­merintah juga terksan abai memer­hatikan nasib sanggar tari tradisional.

Sekalipun menghadapi banyak tantangan, Sanggar Sri Indera Ratu tetap melanjutkan kiprah budaya mereka untuk menanamkan kecin­taan anak muda terhadap budaya milik bangsanya.  Sementara karena faktor usia, Nde Lisa kini hanya melatih anggota sanggar untuk gerakan dasar, seperti gerakan kaki dan jari-jari. Bagi Nde Lisa, sese­orang yang ingin sukses jadi penari harus belajar tari Melayu.

Sebagai penari, ia paham bahwa tarian Melayu memiliki ragam gerak­an kaki. Mulai dari gerakan kaki d­a­lam tempo lambat, cukup cepat, ce­pat, dan sangat cepat. Karena itu orang yang belajar tarian Melayu sangat adaptif saat belajar tarian lain.

Ia mengisahkan pengalamannya saat memimpin rombongan 12 pena­ri, pemusik, dan penyanyi dari sang­garnya saat diundang KBRI di Mexico pada 2004. Sukses tampil di tiga kampus di kota Mexico, Mon­t­rey, dan Colima, KBRI memberi bonus. Rombongan dipersilakan memilih mau berwisata kemana.

“Saya bilang, kita ingin belajar menari salsa supaya anak-anak bisa menari salsa di sebuah diskotik,” tuturnya. Guru salsa pun dida­tang­kan. Rupanya ada kemiripan gerakan tari Serampang Dua Belas dengan salsa. Maka proses belajar menari salsa pun berlangsung relatif cepat.

“Malamnya saat anak-anak diba­wa ke diskotik dan disuruh menari salsa, ya mereka sudah lincah dan tak mengalami kesulitan,” ujarnya.

Di sanggar Sri Indera Ratu kini bergabung sekitar 50 anak yang rutin berlatih tiap minggu pukul 10.00 – 12.00 WIB. Mereka adalah anak perempuan usia 7 tahun sampai remaja, bahkan mahasiswa. Seba­nyak 15 orang tergolong penari yang sudah siap diundang pentas tiap saat. Namun anggota sanggar tak hanya belajar tarian Melayu, tapi juga tarian etnik lain yang ada di Sumatera Utara. 

Di antara sedikit anak muda yang tertarik belajar tari tradisional, ternyata masih ada figur seperti Tengku Silfy Selviana (17), siswa kelas 12 SMK, Nabillah Hanif (24) alumni STBA Harapan Medan, dan Tiara (22) alumni UMSU Medan. Ketiganya telah sepuluh tahun lebih berlatih dan bergabung di sanggar ini.

Suka Duka

Tentu banyak suka dan duka selama jadi penari. Bela panggilan akrab Nabillah Hanif, misal bertutur tentang hak sepatunya yang patah saat baru saja mulai menari. Tubuh­nya sempat goyang, namun ia tetap menari sampai selesai dengan sebuah sepatu tanpa hak. Kali lain kulit di telapak kakinya melepuh karena saat latihan nyeker.

“Kadang kita juga sedih saat menari hujan turun deras,” tutur Ify, panggilan karib Tengku Silfy Selvia­na. Namun sukanya juga ada, sekali manggung mereka bisa dapat honor Rp 200 ribu bahkan besarannya bisa dua kali lipat jika menari di luar kota. Tentu ini uang saku yang cukup menggiurkan bagi seorang remaja.

Ada juga kepuasan lain yang dirasakan Bela: “Saat di panggung ditonton orang banyak, rasanya kok saya puas sekali.”

Tiara, alumni jurusan Bahasa Inggris UMSU yang kini mengajar di sebuah SMP, lain lagi. “Karena me­nari, saya terpilih ikut pertukaran budaya antarmahasiswa dari 4 nega­ra,” kata Tiara. Jadilah Tiara berke­liling gratis ke Malaysia, Thailand, dan Singapura. Jadi wahai anak muda, ada lagi yang mau bergabung?

()

Baca Juga

Rekomendasi