Sekilas Pengalaman Bung Hatta

Belajar, Berorganisasi Demi Bangsa

Oleh: Jannerson Girsang. Kisah-kisah perjuangan para pendahulu kita adalah sebuah inspirasi yang seharusnya sampai kepada generasi mu­da, mereka yang kini akan mewarisi kepe­mimpinan di negeri ini. Dalam artikel ini saya menguraikan Kisah Bung Hatta memanfaatkan masa mudanya—belajar dan memikirkan nasib bangsanya. Menjadi mahasiswa, belajar di perguruan tinggi, bukanlah hanya belajar tok, tetapi juga memikirkan sekitarnya, memikirkan nasib bangsa­nya.

Uang, bukanlah segalanya dalam hidup. Di era hedonism sekarang ini dimana masyarakat lebih mengkultuskan hal-hal bersifat materi, semoga ketela­danan Bung Hatta menjadi inspirasi bagi kaum muda.

Belajar dan aktif berorganisasi

Masa-masa remaja Bung Hatta adalah masa-masa munculnya perkumpulan-perkumpulan pemuda di tanah air.

Mohammad Hatta lahir pada tanggal 12 Agustus 1902 di Bukittinggi. Sejak duduk di MULO di kota Padang, ia telah tertarik pada pergerakan. Pasalnya, sejak 1916, di negeri ini sudah muncul perkumpulan-perkumpulan pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa. dan Jong Ambon. Bung Hatta sendiri masuk ke perkumpulan Jong Sumatranen Bond, dan duduk dalam organisasi itu sebagai bendahara.

Sebagai Bendahara Jong Suma­tranen Bond, Bung Hatta menya­dari pentingnya arti keuangan bagi hidupnya perkumpulan. Dalam pandangannya, sumber keuangan baik dari iuran anggota maupun dari sumbangan luar hanya mungkin lancar kalau para ang­gotanya mempunyai rasa tanggung jawab dan disiplin. Jadi, anggota-anggota perkumpulanlah yang menjadi sumber dan tiang keu­angan organisasi, bukan sumba­ngan-sumbangan para konglo­merat, atau para koruptor yang nantinya akan mengen­dali­kan organisasi itu kepada kepen­tingannya sendiri.

Rasa tanggung jawab dan disiplin selan­jutnya menjadi ciri khas sifat-sifat Moham­mad Hatta. Sumber keuangan organisasi tidak datang dari penghasilan yang tidak halal. Dia tidak menerima sumbangan ilegal, apalagi dari hasil korupsi, seperti yang dilakukan seorang bendahara partai yang kini sedang menjalani masa tahanan di bui.

Belajar ke Eropa: menuntut ilmu

Usia 19 tahun, Bung Hatta mulai men­jalani masa studi di Handels Hoge School di Rotterdam, Negeri Belanda. Semasa belajar di sana, Bung Hatta mendaftar sebagai anggota Indische Vereniging. Tahun 1922, yang kemudian hari berganti nama menjadi Indo­nesische Vereniging. Perkumpulan yang menolak bekerja sama dengan Belanda itu kemudian berganti nama lagi menjadi Perhimpunan Indonesia (PI).

Salah satu catatan penting, Hatta memandang media sebagai salah satu alat komunikasi penting. Menulis tentunya menjadi keahlian yang harus dimiliki seorang calon pemimpin. Beliau mengusahakan agar majalah perkumpulan, Hindia Poetra, terbit secara teratur sebagai dasar pengikat antar anggota. Pada tahun 1924 majalah ini berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.

Hatta lulus dalam ujian handels economie (ekonomi perdagangan) pada tahun 1923. Semula dia bermaksud menempuh ujian doctoral di bidang ilmu ekonomi pada akhir tahun 1925. Karena itu pada tahun 1924 dia non-aktif dalam PI. Tetapi waktu itu dibuka jurusan baru, yaitu hukum negara dan hukum administratif. Hatta lantas memasuki jurusan itu, karena terdorong oleh minatnya yang besar di bidang politik.

Perpanjangan rencana studinya itu memungkinkan Hatta terpilih menjadi Ketua PI pada tanggal 17 Januari 1926. Pada usia 24 tahun, Bung Hatta mengucapkan pidato inaugurasi yang berjudul “Economische Wereldbouw en Machtstegenstellingen”—Struktur Ekonomi Dunia dan Pertentangan kekuasaan. Dia menganalisis struktur eko­nomi dunia dan berda­sarkan itu, menunjuk landasan kebijaksanaan non-kooperatif.

 Sejak tahun 1926 sampai 1930, berturut-turut Hatta dipilih menjadi Ketua PI. Di bawah kepemim­pinannya, PI berkembang dari perkumpulan mahasiswa biasa menjadi organisasi politik yang mempengaruhi jalannya politik rakyat di Indonesia.

PI akhirnya diakui oleh Pemufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPI) sebagai pos depan dari pergerakan nasional yang berada di Eropa. PI melakukan propaganda aktif di luar negeri Belanda. Hampir setiap kongres internasional di Eropa dimasukinya, dan menerima perkumpulan ini. Selama itu, Hatta hampir selalu sendiri yang memimpin delegasi.

Di usia 24 tahun, pada tahun 1926, Hatta memimpin delegasi ke Kongres Demokrasi Interna­sional untuk Perdamaian di Bierville, Prancis untuk memper­kenalkan nama Indonesia, menye­butkan wilayah Hindia Belanda ketika yang ketika itu telah benar-benar dikenal kalangan organisasi-organisasi internasional.

Hatta dan pergerakan nasional Indonesia mendapat pengalaman penting di Liga Me­nentang Impe­rialisme dan Penindasan Kolonial, suatu kongres internasional yang diadakan di Brussels tanggal 10-15 Pebruari 1927.

Membuka jaringan, itulah salah satu yang ditempuhnya dalam memperkuat geraskan. Di kongres ini Hatta berkenalan dengan pemimpin-pemimpin pergerakan buruh seperti G. Ledebour dan Edo Fimmen, serta tokoh-tokoh yang kemudian menjadi negarawan-negarawan di Asia dan Afrika seperti Jawaharlal Nehru (India), Hafiz Ramadhan Bey (Mesir), dan Senghor (Afrika). Persahabatan pribadinya dengan Nehru mulai dirintis sejak saat itu.

Pada tahun 1927 itu pula, Hatta dan Nehru diundang untuk memberikan ceramah bagi “Liga Wanita Internasional untuk Perda­maian dan Kebebasan” di Gland, Swiss dengan judul L ‘Indonesie et son Probleme de I’ Independence (Indonesia dan Persoalan Kemerdekaan).

Aktivitas politiknya mengaki­bat­kan dirinya bersama dengan Nazir St. Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid Djojoadiningrat, Hatta dipenjara selama lima setengah bulan. Pada tanggal 22 Maret 1928, mahkamah pengadilan di Den Haag membe­baskan keempatnya dari segala tuduhan.

Dalam sidang yang bersejarah itu, Hatta mengemukakan pidato pembelaan yang mengagumkan, yang kemudian diterbitkan sebagai brosur dengan nama “Indonesia Vrij”, dan kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai buku dengan judul Indonesia Merdeka.

Antara tahun 1930-1931, Hatta memusat­kan diri kepada studinya serta penulisan karangan untuk majalah Daulat Ra‘jat dan kadang-kadang De Socialist.

Bung Hatta tidak hanya larut dalam pergerakan perjuangan untuk bangsanya, tetapi juga sukses di bidang studinya. Dia menyelesaikan studinya pada pertengahan tahun 1932.

Pada bulan Juli 1932, Hatta berhasil menyelesaikan studinya di Negeri Belanda dan sebulan kemudian ia tiba di Jakarta. Di tanah air, antara akhir tahun 1932 dan 1933, kesibukan utama Hatta adalah menulis berbagai artikel politik dan ekonomi untuk Daulat Ra’jat dan melakukan berbagai kegiatan politik, terutama pendidikan kader-kader politik pada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Bung Hatta selalu menekankan prinsip non-kooperasi kepada kader-kadernya.

Dari penjara ke penjara

Di usia 32 tahun, bulan Pebruari 1934, setelah Soekarno dibuang ke Ende, Pemerintah Kolonial Belanda mengalihkan perhatiannya kepada Partai Pendidikan Nasional Indonesia, termasuk Bung Hatta. .Para pimpinan Partai Pendidikan Nasional Indonesia ditahan dan kemudian dibuang ke Boven Digoel.

Seluruhnya berjumlah tujuh orang. Dari kantor Jakarta adalah Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Bondan. Dari kantor Bandung: Maskun Sumadiredja, Burhanud­din, Soeka, dan Murwoto. Sebelum ke Di­goel, mereka dipenjara selama hampir setahun di penjara Glodok dan Cipinang, Jakarta. Di penjara Glodok, Hatta menulis buku berjudul “Krisis Ekonomi dan Kapitalisme”.

Pada bulan Januari 1935, Hatta dan kawan-kawannya tiba di Tanah Merah, Boven Digoel (Papua). Di sini Bung Hatta mengalami pilihan yang menggoda.

Kepala pemerintahan di sana, Kapten van Langen, menawarkan dua pilihan: bekerja untuk pemerintahan kolonial dengan upah 40 sen sehari dengan harapan nanti akan dikirim pulang ke daerah asal, atau menjadi buangan dengan menerima bahan makanan in natura, dengan tiada harapan akan dipulangkan ke daerah asal.

Hatta memilih yang kedua. Hatta menjawab, bila dia mau bekerja untuk pemerintah kolonial waktu dia masih di Jakarta, pasti telah menjadi orang besar dengan gaji besar pula. Dia tidak memilih pilihan yang memberikan imbalan materi untuk mengorbankan perjuangannya. Dia tidak memilih ke Tanah Merah untuk menjadi kuli dengan gaji 40 sen sehari.

Beda dengan para napi koruptor saat ini yang selalu kasak kusuk membebaskan dirinya dengan menggunakan jasa pengacara beken, menghubungi para penegak hukum, partai politik untuk membebaskan diri dari tuduhan korupsi, Bung Hatta dalam pembuangan, secara teratur menulis artikel-artikel untuk surat kabar Pemandangan. Honorariumnya cukup untuk biaya hidup di Tanah Merah dan dia dapat pula membantu kawan-kawannya.

Rumahnya di Digoel dipenuhi oleh buku-bukunya yang khusus dibawa dari Jakarta sebanyak 16 peti. Berbekal buku-buku itu, Hatta mempunyai cukup banyak bahan untuk memberikan pelajaran kepada kawan-kawannya di pembuangan mengenai ilmu ekonomi, sejarah, dan filsafat. Kumpulan bahan-bahan pelajaran itu di kemudian hari dibukukan dengan judul-judul antara lain, “Pengantar ke Jalan llmu dan Pengetahuan” dan “Alam Pikiran Yunani.” (empat jilid).

Pada bulan Desember 1935, Kapten Wiarda, pengganti van Langen, memberita­hukan bahwa tempat pembuangan Hatta dan Sjahrir dipindah ke Bandaneira. Pada Januari 1936 keduanya berangkat ke Bandaneira. Mereka bertemu Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Mr. Iwa Kusumasumantri. Di Banda­neira, Hatta dan Sjahrir dapat bergaul bebas dengan penduduk setempat dan memberi pelajaran kepada anak-anak setempat dalam bidang sejarah, tatabuku, politik, dan lain-Iain.

Itulah sekilas kehidupan masa muda Bung Hatta, semoga menjadi inspirasi bagi kaum muda kita. Berorganisasi, belajar, tahan menderita, bahkan dalam penderitaanpun dia masih mampu mengajar bangsanya melalui artikel-artikelnya. Beliau di penjara karena berjuang untuk bangsanya, bukan karena korupsi. ***

Penulis berdomisili di Medan

()

Baca Juga

Rekomendasi