Oleh: Rispalina Ritonga.
Sumber daya manusia yang terbanyak berinteraksi langsung dengan pasien adalah perawat. Sehingga, kualitas pelayanan yang dilaksanakan perawat dapat dinilai sebagai salah satu indikator baik atau buruknya kualitas pelayanan di rumah sakit (Aditama, 2000). Perawat ialah seseorang yang telah lulus pendidikan tinggi keperawatan, baik di dalam maupun luar negeri yang diakui pemerintah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pelayanan keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat, baik, sehat maupun sakit. Mengingat perawat adalah sumber daya terpenting dalam menjalankan pelayanan suatu rumah sakit, maka perawat dituntut memiliki kemampuan intelektual, komunikasi interpersonal, kemampuan teknis dan moral (UU No 38/2014).
Perawat selalu berinteraksi dengan pasien. Seharusnya, standardisasi perawat sudah dilakukan sejak awal saat penerimaan calon mahasiswa fakultas keperawatan, kurikulum pendidikan dan akreditasi. Selain itu, setelah lulus, perawat di Indonesia harus melakukan uji kompetensi yaitu proses pengukuran pengetahuan, keterampilan, dan perilaku peserta didik di perguruan tinggi yang menyelenggarakan program studi keperawatan. Setelah itu, perawat berhak mendapatkan surat tanda registrasi (STR) sebagai surat tanda pengakuan terhadap kompetensinya yang telah lulus uji kompetensi untuk melakukan praktik keperawatan.
Karakteristik perawat yang selalu menjadi penentu arah dan kekuatan bekerja adalah motivasi dan lain-lain seperti tingkat pengetahuan, keterampilan kerja, kewenangan yang diberikan, nilai inovatif, dedikasi dan pengabdian masing-masing pada profesi.
Motivasi kerja
Menurut Herzberg dalam Ilyas (2001), yang dimaksud dengan faktor motivasi adalah hal-hal yang mendorong berprestasi yang sifatnya intrinsik, yang berarti bersumber dari dalam diri seseorang. Sedangkan yang dimaksud dengan faktor higiene atau pemeliharaan adalah faktor-faktor yang sifatnya ekstrinsik, dari luar diri seseorang, misalnya dari organisasi, tetapi turut menentukan perilaku seseorang dalam kehidupannya dalam melaksanakan pekerjaan.
Motivasi kerja perawat sangat mempengaruhi perilaku caring perawat dan menjadi sangat penting dalam mempengaruhi mutu pelayanan dan kepuasan pasien, terutama di rumah sakit, di mana kualitas pelayanan menjadi penentu citra institusi pelayanan yang nantinya dapat meningkatkan kepuasan pasien dan mutu pelayanan (Potter dan Perry, 2009).
Caring merupakan fenomena menyeluruh yang mampu mempengaruhi cara manusia berpikir, merasa dan mempunyai hubungan dengan sesama. Perilaku caring dapat terwujud karena adanya dorongan, baik internal maupun eksternal. Watson menyatakan caring dapat diartikan sebagai suatu kemampuan untuk berdedikasi bagi orang lain, pengawasan dengan waspada, perasaan empati pada orang lain dan perasaan cinta atau menyayangi.
Pengaruh motivasi kerja meliputi prestasi, pengakuan, tanggung jawab, pengembangan, gaji, kondisi kerja, hubungan antarpribadi dan supervisi. Keberhasilan pengawasan sangat dipengaruhi oleh supervisor, dalam hal ini bisa atasan langsung, pimpinan kantor, aparat fungsional, maupun masyarakat (Nirwan dan Zamzami, 1999). Menurut Saydam (1996), jika supervisor dekat dengan karyawan dan menguasai liku-liku pekerjaan serta penuh sifat-sifat kepemimpinan, suasana kerja akan bergairah dan bersemangat. Sebaliknya, bila supervisor angkuh, mau benar sendiri, atau tidak mau mendengarkan, akan menciptakan situasi kerja yang tidak mengenakkan, dan dapat menurunkan semangat kerja.
Keberadaan pemimpin di dalam keperawatan sangat dibutuhkan. Kepemimpinan ideal dapat diwujudkan dengan tujuan dan keputusan kerja dibuat bersama dalam kelompok. Kelompok kerja yang paling produktif harus memiliki pemimpin yang berorientasi pada karyawan/perawat dibandingkan berorientasi pada produksi. Pemimpin yang baik mempunyai hubungan saling mendukung dengan karyawannya, cenderung tergantung pada pembuatan keputusan kelompok daripada individu dan mendorong karyawan untuk menentukan dan mencapai sasaran prestasi kerja tinggi. Bagi perawat di ruang rawat inap, kepala ruangan adalah pemimpin yang dapat menggerakkan perawat untuk bisa melaksanakan asuhan keperawatan dengan baik.
Sejalan dengan penelitian Yusuf (2014), upaya dalam meningkatkan motivasi kinerja yang baik harus dilandasi motivasi yang kuat. Tanpa motivasi, maka tidak ada dorongan untuk menghasilkan kinerja yang baik. Dengan adanya motivasi kinerja yang tinggi dalam lingkungan kerja, maka dia akan merasakan bangga dan puas dalam melakukan tugasnya secara tuntas.
Pengawasan kinerja
Jika dikaitkan dengan pendapat Griffiths et all (2008), faktor berpengaruh dalam resiko terjadinya infeksi di rumah sakit salah satunya yaitu beban kerja yang tidak sesuai dengan staf/perawat yang tersedia. Keluhan perawat atau karyawan akan kondisi beban kerja yang tinggi dan belum adanya penghargaan (reward) atas hasil kerja kadang sebagai pemicu dampak dari tidak adanya motivasi dalam bekerja. Maka, rendahnya motivasi kerja yang mengakibatkan rendahnya tingkat pencapaian kinerja yang optimal sehingga Yang (2003) dalam Amstrong (2009) mengemukakan, beban kerja perawat merupakan indikator yang mengakibatkan terjadinya infeksi kesehatan (nosokomial).
Menurut Lang et all (2004) dalam Carayon 2008, beban kerja keperawatan yang berat/tinggi dapat mempengaruhi keselamatan pasien. Misalnya, banyak tugas keperawatan yang perlu dilakukan oleh sekelompok perawat selama shift tertentu. Beban kerja keperawatan dipengaruhi juga oleh jumlah perawat, jumlah pasien, kondisi pasien dan sistem kerja perawat.
Pengawasan tetap dibutuhkan untuk mencegah ketidakpuasan atas kinerja. Kinerja adalah penampilan hasil kerja personel baik kuantitas maupun kualitas dalam suatu organisasi. Kinerja dapat merupakan penampilan individu maupun kelompok kerja personel. Penampilan hasil kerja tidak terbatas kepada personel yang memangku jabatan fungsional maupun struktural, tetapi meliputi keseluruhan jajaran personel dalam organisasi (Ilyas, 2001).
Hal ini sejalan dengan penelitian Amelia (2009) yang menyatakan, kinerja perawat yang baik sangat terkait motivasi kerja dari perawat tersebut. Motivasi dianggap hal yang menentukan untuk menghasilkan sesuatu. Hasil analisa memperlihatkan masih ada sebagian perawat yang berperilaku tidak caring. Kecenderungan ini disebabkan banyak faktor.
Pernyataan ini didukung Margareta (2009). Dinyatakan, perilaku caring perawat yang dirasakan pasien adalah bagaimana perawat aktif bertanya, berbicara lembut, memberi dukungan, responsif, terampil dan menghargai serta menjelaskan. Ini sejalan dengan penelitian Irawan (2010) yang menyebutkan, perawat di rumah sakit lebih memperhatikan pentingnya perilaku caring, yang memiliki tujuan meningkatkan pelayanan keperawatan ke arah yang lebih baik dan profesional.
Indonesia saat ini telah banyak menempah perawat/ners. Keilmuan profesi perawat dalam meningkatkan profesionalisme menjadi suatu tuntutan dalam meningkatkan kepuasan pasien. Motivasi kerja yang baik akan menghasilkan perilaku caring perawat yang baik pula. Melatih perawat agar mampu berperilaku caring akan mencapai asuhan keperawatan yang dapat meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit. Sebab, ini mempengaruhi cara manusia berpikir, merasa dan mempunyai hubungan dengan sesama. Jika profesi perawat dituntut untuk professional, proses motivasi kerja profesi perawat harus dilakukan dengan keikhlasan sehingga tercapai pelayanan yang profesional.
Penulis adalah mahasiswa Prodi Magister Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan Anggota Pokja Sasaran Keselamatan Pasien RSUD dr Pirngadi Medan.