Setengah Abad, Refleksi Diri

Oleh: Adelina Savitri Lubis.

TELAH sampai pada setengah abad usia. Angka 50 tahun yang konon katanya hampir mencapai titik puas kehidupan. Kaya penga­laman, menikmati cita, dan mendadak ingat Sang Pencipta. Begitukah?

Segala warna telah dilewati. Segala rasa telah dikecap dan yang tertinggal sebuah syukur, akhirnya sampai juga di tangga tahun ke-50. Perhatikan saja mereka yang usianya telah berada di awal senja tak lagi bicara tentang kegelisahan, namun bagaimana terus melangsungkan aksi-aksi sosial yang pro sila kedua dari Pancasila, yakni, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.

Momen sederhana hingga momen yang terkesan formal kerap menempatkan aksi berbagi sesama ini di dalam rangkaian acara. Bahkan dalam peringatan usia itu sendiri, aksi sosial menjadi bumbu yang tak lekang waktu. Secara umum bahkan aksi sosial khususnya yang melibatkan anak-anak dalam setiap keberlang­sungan momen menjadi ciri atas perilaku manusia, malah belakangan aksi sosial dalam ragamnya telah terakui sebagai bagian dari gaya hidup manusia.

Tajuknya pun bervariasi, berbagi sesama, charity, hingga santunan dan umumnya pola yang Analisa amati cenderung dilakoni oleh para kaum di usia setengah abad. Ada apa dengan usia 50 tahun?

“Usia 50 tahun bukanlah usia yang biasa. Bagi saya ini adalah usia spesial,” kata Pemilik Kampung Ladang Outbound, Rudy Girsang kepada Analisa, Kamis (16/11).

Secara pribadi, pria murah senyum ini mengaku usia 50 tahun adalah usia yang penuh tanda tanya, karena kita tidak pernah tahu sampai di mana titik kita. Menurutnya, 50 tahun adalah rasa syukur.

“Bagaimana mewujudkan rasa syukur itu? Salah satunya adalah dengan melakukan aksi sosial, berbagi sesama dengan anak-anak,” akunya.

Mengapa anak-anak? Diakui Rudy, anak-anak adalah sim­bol kejujuran juga ke­polosan. Anak-anak hanya ingin ber­senang-senang, me­reka belum me­ngerti apa-apa. Bah­kan kata Rudy, mere­ka belum bisa mem­­bedakan hitam atau putihnya dunia.

Persis yang disak­sikan oleh Rudy, tatkala 50 anak SD negeri di kawasan Tanjung Anom, Pancur Batu, Kab­­upaten Deli Ser­dang  ber­gem­bira menikmati segala permainan outbound. Tawa dan se­nyum mere­ka seolah tanpa beban.

“Anak-anak itu se­perti mengaliri energi positif dan semangat yang tinggi bagi saya,” ungkapnya.  Apalagi ketika anak-anak itu melakukan permainan outbound yang ber­sentuhan dengan air. Senangnya bukan main.

Agaknya aksi sosial di mana pun dan dila­kukan siapa pun memang menarik benang merah yang sama, yakni bagaimana memanusiakan diri sendiri. Begitupun di usia 50 tahun yang penuh makna, kalau menurut Rudy, melalui anak-anak, bagi mereka yang memasuki usia senja dapat merefleksikan diri. Sebuah perjalanan yang dimulai dari masa anak-anak hingga sampai di usia setengah abad.

Serupa yang dirasakan oleh anak-anak itu, selain mengaku sangat senang, anak-anak ini juga sangat menikmati segala permainan alam yang menurut mereka sangat fenomenal di zaman ini. Seperti yang diakui Andri, salah satu anak yang mengikuti permainan tangkap ikan di sana. Katanya, dia suka segala permainan di tempat itu. Bahkan kepada Analisa, anak ini mengaku hafal jenis-jenis permainan alam di sana.

“Ada tangkap ikan, ice breaking, flying fox, susun menara, wisata perahu dan permainan menanam padi,” bebernya. Begitupun, dia paling suka permainan menanam padi, karena seperti yang dia ketahui, padi adalah beras, ketika dimasak menjadi nasi.

Setidaknya dia tahu, ternyata nasi yang dia makan itu memiliki proses yang panjang agar bisa dimakan. Semakin berisi, padi semakin tunduk, dan begitulah harapan yang diaminkan mereka yang berusia awal senja. Semakin tua semakin merendah, tentu saja tetap membumi, yes!

()

Baca Juga

Rekomendasi