Perhelatan Akbar

SEJAK, Jumat sampai Sabtu (24-25/11) beberapa stasiun televisi menyiarkan secara langsung gelaran perkawinan adat Man­dailing Manopot Horja atau ngunduh mantu. Bahkan sejak Minggu (19/11) proses adat tersebut sudah berlangsung. Tentu bila pasangan pengantinnya orang biasa-biasa saja, belum tentu akan disiarkan stasiun televisi tersebut. Tetapi kali ini ini berbeda, karena yang menjadi pengantin adalah putri sematawayang dari Presiden RI yaitu Kahiyang Ayu yang telah mendapatkan marga Siregar. Maka tentu saja pesta adat ini cukup menarik apalagi  Presiden Joko Widodo hadir dalam pesta adat tersebut. Tentu saja, pesta adat Manopot Horja ini tidak saja menarik untuk dilihat tetapi kita bisa men­coba memahami bagaimana sebenarnya pesta adat per­kawinan yang ada di daerah Mandailing. ‘Kebesaran’ dari pesta adat ini tidak kalah dari pesta yang dilakukan di Solo, bah­kan ada yang mencoba membanding-banding pesta di Solo dengan di Medan. Terlepas dari kedua adat yang ber­beda itu, masyarakat Indonesia telah disuguhi tontonan yang cukup menarik untuk mengembalikan adat pada tem­pat­nya.

Bagi mereka yang tidak bersuku Mandailing tentunya hal-hal yang disuguhkan dalam pesta ini, mulai dari pemberian marga ke­pada Kahiyang Ayu Siregar hingga kepada prosesi upacara adat lainnya memberi pesan bahwa adat-adat yang ada pada da­sarnya memberikan makna yang sangat filosofis dalam hidup dan kehidupan. Lewat adat,  asal seseorang dapat diketahui. Bukan berarti adat mencoba memisahkan antara seseorang de­ngan yang lain, tetapi lewat adatlah diajarkan bagaimana ta­takrama dalam melakukan hubungan-hubungan sosial di antara ma­syarakat adat. Di tengah masyarakat yang berjargon kinds za­man now, pesta adat ini mencoba mengembalikan anak-anak yang terkesan tidak mau lagi menggunakan adat dalam pergaulannya. Padahal, bila dikaji lebih dalam  makna-makna yang muncul dalam pesan-pesan adat baik itu lewat ujaran maupun simbol-simbol yang tercermin dari motif dan ornamen yang ada  memberi pengajaran yang luar biasa dalam menghadapi hidup di dunia ini. Maka tidak heran, bila Manopot Horja kali ini menurut pengamat menjadi cermin dari kebhinekaan yang ada.

Yang menarik saat acara prosesi pemberian nasihat kepada dua mempelai, Presiden Jokowi tidak hanya mengucapkan satu kalimat nasihat dalam bahasa Mandailing tapi lima nasihat yang ber­bentuk pantun. Nasihat, yang dalam bahasa Mandailing disebut Ajar Poda, diucapkan Jokowi setelah upacara Mangupa atau Upa-upa atau memberi restu, yaitu: Holong do maroban domu, do­mu maroban parsaulian yaitu kasih sayang membawa per­satuan, persatuan membawa kebaikan bersama, kata Jokowi de­ngan lancar. Kemudian Jokowi menyambung dengan amalan yang dikatakannya bak berpantun hangoluan, teas hamatean  yang berarti harus menjaga sopan santun, kalau melanggarnya akan mendapat malapetaka. Selanjutnya, suan tobu di bibir dohot ate-ate yang artinya manis bukan hanya di mulut tapi juga dih­ati, kebaikan dilakukan harus sepenuh hati. Masih dengan ke­fasihannya, Jokowi menyebut pantun tangi di siluluton, inte di si­riaon yang diartikan jika ada kemalangan walaupun tidak di­undang wajib datang dan menolong namun, jika ada ke­gembiraan, jangan datang jika tak diundang. Terakhir, dia me­ngucap, bahat disabur sabi, anso bahat salongon yang artinya ka­lau kita banyak menanam maka kita akan banyak memetik ha­silnya. Ajar Poda ini sesungguhnya sangat luar biasa maknanya, yang mungkin sekarang ini sudah tidak lagi dikenal oleh anak-anak kita.

Inilah Indonesia. Ratusan bahkan ribuan suku ada di sini. Masing-masing suku berbeda adatnya. Namun bukan berarti kita tidak bisa bersatu. Kita sudah bersumpah ketika peristiwa Sumpah Pemuda dikumandangkan, di mana masing-masing pemuda dari daerah dan suku yang berbeda telah menyatukan visi yaitu kesatuan dan persatuan. Bila kita memahami bahwa  masing-masing suku berbeda maka bukan berarti tidak bisa dipersatukan. Contohnya yang sederhana adalah pernikahan Muhammad Bobby Afif Nasution yang merupakan putra Mandailing dengan Kahiyang Ayu yang merupakan putri Solo. Pertautan antar keduanya menjadi satu telah kita lihat dalam acara pernikahan mereka. Ini membuktikan bahwa adat tak lekang dari zaman dan tak hilang dari waktu. Namun bukan berarti perbedaan adat membuat kita berbeda. Karena sejak dulu kita mengakui bahwa semua adat yang berbeda itu dibingkai dengan kalimat yang cukup apik yaitu Bhinneka Tunggal Ika yaitu berbeda-beda tetapi satu jua.

Apa pun kata orang tentang perhelatan ini, yang jelas, masyarakat yang belum memahami adat Mandailing sedikit demi sedikit belajar  memahami adat Mandailing ini. Bahkan bukan tidak mungkin ada yang mencoba melakukan penelitian tentang pesta adat yang berlaku di Indonesia ini. Medan yang sudah dikenal sebagai salah satu kota yang terbesar di luar Jawa,  kali ini yang disorot bukan kotanya, tetapi salah satu adat yang ada di Sumatera Utara yaitu Mandailing. Mudah-mudahan lewat acara adat ini, adat-adat yang lain yang ada di Sumatera Utara juga ikut dikenal. Maka pantaslah bila pesta adat ini disebut perhelatan akbar akhir tahun.

()

Baca Juga

Rekomendasi