Jakarta, (Analisa). Sumatera Utara menjadi satu dari lima wilayah di Indonesia yang memiliki potensi terjadinya konflik dalam pelaksanaan Pilkada Serentak 2018. Empat provinsi lainnya adalah Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Papua.
“Pilkada 2018 berlangsung di daerah yang boleh dikatakan daerah-daerah gemuk. Daerah gemuk ini artinya potensi kerawanannya tinggi,” ungkap Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Pol Setyo Wasisto dalam diskusi “Kesiapan Pilkada Serentak 2018” di Jakarta, Senin (27/11).
Menurutnya, Mabes Polri dan seluruh polda telah mempelajari potensi kerawanan yang dapat terjadi dalam pelaksanaan Pilkada.
Ada 10 variabel yang menjadi pedoman bagi para kapolda dan kapolres dalam mengamankan pilkada di daerah mereka masing-masing. Variabel itu ialah profesionalitas penyelenggara pemilu, konflik kepengurusan/ internal parpol, calon petahana, profesionalisme panitia pengawas, kondisi geografis, potensi konflik pasangan calon, sejarah konflik, karakteristik masyarakat, gangguan kamtibmas dan profesional pengamanan.
Disampaikan, sejumlah hal yang berpotensi menjadi pemicu kerawanan dalam pilkada, di antaranya, tidak adanya nama pemilih di daftar pemilih tetap (DPT), kekurangan logistik dan pasangan calon yang tidak legawa dalam menerima kekalahan.
Sementara kotak suara dan lembar kertas suara juga dijamin keamanannya. “Pengamanannya ketat. Dari mulai pencetakan (surat suara) dikawal polisi sehingga (kemungkinan) kebakaran, pencurian, kehilangan (surat suara) tidak akan terjadi,” tuturnya.
Di sisi lain, Setyo Wasisto menyampaikan, Polri juga akan mengawasi aktivitas kampanye di media sosial menjelang pelaksanaan Pilkada Serentak 2018 karena dinilai berpotensi besar dapat menggiring opini masyarakat.
“Belajar dari Pilkada DKI Jakarta, bahwa penggunaan medsos sangat menonjol. Ini harus diwaspadai,” katanya.
Dia berharap pelaksanaan Pilkada Serentak 2018 berjalan aman, damai dan tenteram. Pihaknya berharap partisipasi masyarakat untuk bersama-sama mewujudkan iklim demokrasi yang damai, aman dan menyejukkan.
Isu SARA dan hoaks
Sementara, pengamat komunikasi politik Hendri Satrio memperkirakan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) akan digunakan sebagai strategi memenangkan pilkada, pemilihan legislatif, dan pilpres.
“Ya, karena sudah ada contohnya (Pilkada DKI Jakarta), saya yakin isu SARA akan digunakan lagi,” katanya dalam acara yang sama.
Dikatakannya, isu SARA masih mampu menarik perhatian pemilih karena iklim politik di Indonesia masih belum dewasa. “Selama kita belum dewasa secara politik, kita akan begitu (termakan isu SARA). Jadi, toleransi hanya di mulut saja,” katanya.
Agar isu SARA tidak berembus kencang, menurutnya, pemerintah harus berupaya untuk memperbaiki kondisi ekonomi masyarakat. “Harus ada pemerataan ekonomi sehingga masyarakat tidak terlalu panas kondisinya," katanya.
Selain itu, dia berharap tidak ada pasangan calon peserta pemilu yang mengusung isu agama sebagai keunggulan kandidat mereka.
Secara terpisah, anggota Komisi I DPR RI Arief Suditomo memperkirakan penyebaran berita bohong atau hoaks melalui medsos akan semakin massif menjelang Pilkada Serentak 2018 dan Pemilu 2019.
“Penyebaran berita hoaks itu sudah terjadi pada Pilkada Serentak 2017. Apalagi Pilkada DKI Jakarta 2017 yang berlangsung panas,” katanya dalam diskusi “Memantapkan Persatuan dan Kesatuan Bangsa” di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, kemarin.
Menurutnya, mengantisipasi kemungkinan massifnya berita seperti ini harus dilakukan langkah-langkah antisipasi agar kondisi masyarakat tetap kondusif dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Dia mengimbau Kementerian Kominfo dan lembaga terkait dapat melakukan sosialisasi anti-hoaks ke masyarakat, terutama ke kampus, sekolah dan kelompok masyarakat, seperti diamanatkan Undang-Undang No 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Dia juga mengingatkan masyarakat untuk kritis dan cermat dalam menerima informasi, terutama melalui medsos dengan menyaring berita positif dan negatif serta berita valid dan tidak valid.
Masa depan Indonesia
Kualitas Pilkada Serentak 2018 yang merupakan gelombang ketiga ini dinilai akan mencerminkan masa depan demokrasi Indonesia.
“Dalam Pilkada Serentak 2018 kita akan menyaksikan pertarungan menarik di tiga daerah yang selama ini memiliki jumlah pemilih suara terbesar di Indonesia, yakni Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah,” kata Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor, di Jakarta, kemarin.
Beberapa provinsi di Jawa merupakan wilayah utama strategis dan menjadi “lumbung” suara sehingga Pilkada Serentak 2018 menjadi arena yang diperebutkan oleh kekuatan-kekuatan politik.
Menurutnya, sejauh ini proses pencalonan kepala daerah masih terpusat di elite pusat partai politik. Di sisi lain parpol juga dinilai cenderung pragmatis dalam menentukan calon yang akan diusung.
Ini membuat parpol kerapkali lebih mempertimbangkan aspek popularitas dan elektabilitas bakal calon dibandingkan kapasitas, serta kerap mengabaikan proses kaderisasi di internal parpol.
Disampaikannya, meski demokrasi memberikan peluang besar adanya kompetisi dan partisipasi setiap individu untuk berpolitik, pilkada seringkali dimaknai sebagai arena memperebutkan kekuasaan semata.
“Pilkada langsung seharusnya mampu merefleksikan dua inti dari demokrasi, yakni kompetisi dan partisipasi. Pilkada seharusnya menampilkan kualitas atau kompetensi calon, dan bukan hanya faktor popularitas dan memiliki modal besar saja,” katanya.
Pilkada Serentak 2018, khususnya di daerah lumbung suara, seharusnya meningkat mutunya dibandingkan pilkada serentak sebelumnya, 2015 dan 2017. Peningkatan kualitas diperlukan agar konsolidasi demokrasi di daerah bisa berlangsung baik dan berdampak positif terhadap pencapaian pemda, pungkasnya. (Ant)