Herpes Zoster, Si Cacar Ular

Oleh: dr. Angela Fovina

CACAR ular atau disebut juga atau Shingles (Inggris), yang dalam ba­hasa medis di­sebut sebagai Herpes Zoster (HZ) merupakan salah sa­tu penyakit kulit yang cukup umum terjadi di dunia. Di negara maju se­per­ti Amerika, penyakit ini dilapor­kan seki­tar 6% setahun, di Inggris 0,34% setahun sedangkan di Indone­sia lebih kurang 1% setahun. Penya­kit ini biasa­nya terjadi pada usia lebih dari 60 tahun dan jarang di­jumpai pa­da usia dini (anak dan dewasa mu­da). Di Indonesia, wanita mengalami pe­nyakit ini dibanding laki-laki.

Penyakit ini terjadi akibat aktifnya kembali virus cacar air (Varicella Zos­ter, bahasa medis) yang berdiam pada sel saraf, menyebar ke derma­tom atau jaringan saraf yang se­suai dengan segmen yang di­persarafinya. Karena itu, ke­lainan kulit yang ter­jadi bia­sanya berkelompok berje­jer­an sesuai dengan persarafan segmen saraf yang terkena.

Infeksi awal pada virus cacar air pada umumnya ri­ngan, merupakan penyakit yang dapat sembuh sendiri yang biasanya ditemukan pa­da anak-anak ditandai de­ngan demam dan adanya bin­til berisi cairan yang gatal pa­da seluruh tubuh. Sesudah infeksi awal, virus VZ, maka virus ini akan me­netap dalam sel saraf. Setelah be­berapa de­kade, virus ini da­pat meng­alami reaktivasi dan menye­babkan herpes zoster.

Tidak semua orang dapat terkena penyakit cacar ular, namun biasanya pada orang-orang yang memiliki faktor resiko seperti tidak dilakukan vaksinasi, usia lebih dari 50 tahun, keadaan imunitas ren­dah, memakai obat-obat­an yang menekan sistem imun (obat-obatan pende­ri­ta kan­ker), HIV/AIDS, trans­plan­tasi sumsum tulang atau organ, keganasan, terapi ste­roid jangka panjang, stres psiko­logis, trauma dan tin­dakan pembe­dahan.

Sesuai teori Hope-Simp­son, sesu­dah infeksi awal VZV, selain VZV akan me­ne­tap di ganglion saraf dorsalis, infeksi ini akan me­nimbulkan ke­kebalan seluler spesifik terhadap VZV yang menghambat kemampuan virus VZV untuk reaktivasi.  Keke­ba­lan seluler spesifik terhadap VZV ini menurun bertahap sejalan usia namun secara berkala juga diboos­ter oleh infeksi subklinis aki­bat papa­ran VZV (misalnya ketika merawat anak yang menderita cacar air). Be­be­rapa episode reakti­vasi terja­di namun dengan cepat di­hambat oleh respon imun sehingga tidak ada ruam yang timbul.

Hope-Simpson menye­but­kan ka­sus abortif ini “contai­ned reversions” yang kadang menimbulkan nyeri di der­ma­tom terkait tan­pa timbul ruam, disebut ‘zoster sine herpete’. Seiring berjalannya usia, kekebalan spesifik ter­hadap VZV bisa turun di ba­wah batas ambang, yang me­nyebabkan reaktivasi virus, dan menyebabkan herpes zoster. Besarnya jumlah VZV yang diproduksi selama episode herpes zoster mening­katkan lagi keke­balan terha­dap VZV, sehingga hal ini menjelaskan mengapa jarang terjadi kekambuhan HZV pada individu yang imunitas tinggi.

Pada awal mula terjadinya penya­kit ini, biasanya pende­rita akan me­ng­alami gejala awal seperti nyeri otot, nyeri tulang, pegal, kesemutan, gatal, rasa terbakar pada dae­rah ke­lai­nan kulit yang akan muncul nan­tinya. Bisa juga dijumpai nyeri ke­pala, lesu, lemas, dan demam. Hal ini biasanya berlangsung bebe­rapa hari (1-10 hari, rata-rata 2 hari). Nye­ri dapat menye­rupai kelainan jantung (bila pada daerah dada), usus buntu (jika di daerah perut kanan bawah), atau seperti sakit gi­gi (bila pada da­erah pipi), se­hingga memang perlu di­ting­katkan pengetahuan menge­nai herpes zoster ini agar pa­sien dan dok­ter saling men­dapatkan informasi yang be­nar.

Setelah gejala awal terse­but, tim­bul­lah kelainan kulit yang biasanya gatal atau nye­ri yang terlokalisir (ter­batas pada area persarafan yang di­se­rang) berupa bercak keme­rahan, lalu berkembang men­jadi bintik kecil berisi air jer­nih yang berkelompok sela­ma 3-5 hari. Lalu isi cairan akan berubah warna menjadi keruh dan akhirnya pecah (berlangsung selama 7-10 hari). Sebagian besar kasus cacar ular, kelainan kulitnya me­nyem­buh secara spontan tanpa gejala sisa.

Namun, pada beberapa pa­sien dapat terjadi kompli­kasi seperti neuralgia pasca herpes (NPH), yaitu nyeri yang masih menetap di area yang terkena walaupun ke­lainan kulitnya telah sembuh.

Variasi klinis dari herpes zos­ter pada umumnya antara lain:

Zoster sine herpete: Terasa nyeri namun tidak diikuti kelainan kulit

Herpes zoster abortif : bila per­jalanan penyakit berlang­sung singkat dan kelainan kulit hanya berupa bintil ke­cil berisi air jernih dan ber­cak kemerahan

Herpes zoster oftalmikus: HZ yang menyerang cabang pertama sa­raf trigeminus. ke­lainan kulit sebatas mata sampai ke dahi, tetapi tidak me­lalui garis tengah wajah. Bila ada­nya bintil kecil berisi air tersebut pada puncak hi­dung yang dikenal sebagai tanda Hutchinson harus di­waspadai kemungkinan terja­dinya komplikasi pada mata.

Sindrom RamsayIHunt: HZ di liang telinga luar di­sertai kelumpu­han pada wa­jah yang nyeri, gang­guan pe­ngecapan 2/3 bagian depan lidah, pandangan terasa ber­putar, dan tuli. Kelainan ter­sebut sebagai akibat virus me­nyerang nervus fasialis (saraf yang mempersarafi daerah wajah) dan nervus auditorius (saraf yang mem­persarafi terutama pada pen­dengaran)

Herpes zoster aberans: HZ disertai bintil berisi air minimal 10 buah yang melewati garis tengah wajah.

Herpes zoster pada imuno­kom­promais (imunitas ren­dah): perja­la­nan penyakit dan gambaran klinisnya ber­ubah, seringkali (lebih dari 6 ming­­gu), cenderung lama dan mene­tap, menyebar ke organ dalam teruta­ma paru, hati, dan otak.

Herpes zoster pada ibu hamil: ri­ngan, kemungkinan terjadi kom­pli­kasi sangat ja­rang. Risiko infeksi pada ja­nin dan neonatus dari ibu ha­mil dengan HZ juga sangat kecil. Ka­rena alasan tersebut, HZ pada keha­milan tidak di­terapi dengan antivirus.

Herpes zoster pada neona­tus: jarang ditemukan. Pe­nyakit biasanya ringan, sem­buh tanpa gejala sisa. HZ pa­da neonatus tidak membu­tuhkan terapi antivirus.

Herpes zoster pada anak: ringan, banyak menyerang di daerah leher ba­gian bela­kang. Juga tidak membu­tuh­­kan pengobatan dengan anti­virus.

Terapi biasanya diberikan anti­virus yang disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) adalah Asiklovir (5x800mg/hari selama 7-10 hari) atau Valasiklovir (3x1 gram/hari selama 7 hari) atau Famsiklovir (3x500 mg/hari selama 7 hari), di­berikan se­belum 72 jam muncul­nya kelainan kulit atau setelah 72 jam bila ma­sih timbul ke­lain­an kulit baru yang berumur < 3 hari.

Pilihan terapi untuk ibu hamil adalah asiklovir. Beri­kan juga anti nyeri se­perti pa­rasetamol (nyeri ri­ngan), atau tramadol (nyeri sedang-berat). Jika terasa ti­dak nya­man, dapat dilakukan kom­pres dingin 4-6 kali/hari se­lama 30-60 menit. Mandi di­perbolehkan pada pasien HZ, na­mun jangan digaruk. Pa­kailah pa­kaian yang longgar, serta istirahat dan makan yang cukup.

Indikasi rawat

untuk pa­sien HZ adalah:

Penderita HZ yang luas sampai tidak dapat makan atau minum

HZ dengan komplikasi (misalnya mengenai mata/Herpes Zoster Oftal­mikus)

HZ pada pasien dengan imunitas yang rendah, yang melibatkan ba­nyak organ-organ lainnya

Pencegahan dapat dilaku­kan de­ngan vaksinasi meng­gunakan vaksin Herpes Zos­ter (Oka/Merck) di mana me­nurut rekomendasi dari Ke­lom­pok Studi Herpes Indonesia 2014 ada­lah diberikan­nya vaksinasi ke­pada semua orang yang imunitas baik, berusia = 50 tahun, dengan atau tan­pa episode HZ sebe­lumnya, dan tanpa perlu dila­kukan pemeriksaan antibodi.

()

Baca Juga

Rekomendasi