Fikih Kontemporer Diperlukan Hadapi Globalisasi

Medan, (Analisa). Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Medan menyosialisasikan kepada se­luruh ulama/dai se-Kota Medan pen­tingnya fikih atau hukum Islam ko­n­temporer dalam menghadapi derasnya arus modernisasi. Sebab, sering mun­culnya berbagai perubahan dalam ta­tanan sosial umat Islam.

"Fikih kontemporer ini sangat urgen, karena dibutuhkan untuk mampu meng­hadapi tantangan zaman sehingga fi­kih tetap relevan diterapkan sebagai atu­ran Islam di era sekarang," ujar Ketua Umum MUI Kota Medan, Prof Dr Mu­hammad Hatta, saat membuka acara Se­minar Perkembangan Fikih di Era Modern oleh MUI Medan, Rabu (13/12), di Kantor MUI Medan.

Acara yang dihadiri sekitar puluhan ula­ma dan pengurus MUI Kota Medan, meng­hadirkan narasumber lainnya Wakil Ketua Umum MUI Medan, Dr Hasan Matsum dan Ketua Komisi Fatwa MUI Kota Medan, M Amar Adly serta Ketua Panitia acara, Legimin Syukri.

Dijelaskan Prof Hatta, seiring de­ngan perubahan dan kemajuan pe­rkem­ba­ngan zaman, umat Islam selalu meng­hadapi berbagai masalah baru yang meliputi hampir semua aspek kehi­dupan politik, sosial, budaya, eko­nomi, kesehatan, pendidikan, dan tek­nologi.

"Muncul tuntutan berbagai pihak agar ulama bisa menjawab semua per­soalan yang berkembang. Jadi ini sangat penting untuk menjelaskan kesem­pur­naan syariat yang telah ada ketentuan di­jelaskan di dalam Kitabullah dan Sun­nah RasulNya," kata Prof Hatta.

Saat ini, diungkapkannya, masih ter­pa­kunya pemikiran fikih kla­sik dengan pe­mahaman tekstual sehingga tidak kom­prehensif dan aktual serta kurang mampu beradaptasi dengan perkem­bangan zaman.

"Perkembangan kehidupan manusia selalu berjalan sesuai dengan ruang dan waktu, dan ilmu fikih yang juga ber­kembang karena tuntutan zaman yang sangat dibutuhkan bagi kehidupan umat Islam," katanya.

Hasan Matsum, menyatakan, fikih kon­temporer merupakan suatu bidang kajian yang membicarakan perihal persoalan-persoalan hukum Islam yang secara nyata muncul pada saat ini.

"Saa ini muncul problem-problem yang seringkali tidak ditemukan pen­jelasannya secara eksplisit pada dua sumber utama yaitu Alquran dan Sunnah, sehingga menimbulkan kera­guan dan kebingungan para masya­ra­kat," katanya.

Contoh isu klasik itu seperti pemaha­ma­nan soal harta waris, pema­haman kadar zakat fitrah dan hak waris anak perempuan. Sedangkan isu kontem­porer yakni tentang mahar dan kadar hibah.

"Mempelajari masalah fikih kontem­po­rer hukumnya dalah fardu kifayah. Ka­rena masalah kontemporer ini ber­hubungan dengan terealisasinya amal yaitu dituntut amal tersebut terlaksana, baik dari diri pribadi atau dari selain­nya," ucap Hasan.

M Amar Adly dalam materinya Per­kembangan Fiqih Islam menya­takan, telah terjadi beberapa fase per­kem­bangan Fikih yakni di fase pertumbuhan (610-632 masehi), fase perkembangan (akhir abad 1 hijriah), fase formulasi dan sistematisasi, fase kemunduran (abad ketiga) dan masa kebangkitan (akhir abad ke-19 sampai sekarang).

"Fikih adalah ilmu tentang hukum Is­lam dan sudah ada sejak masa Ra­sulullah SAW. Namun ini terus ber­kem­bang seiring dengan timbulnya permasalahan-permasalahan dan mem­butuh­kan hukum melalui jalan istimba," tu­turnya. (sug)

()

Baca Juga

Rekomendasi