UUPA Gagal sebagai UU Pokok

Oleh: Dr. Henry Sinaga, S.H., Sp.N., M.Kn

Di Indonesia saat ini, mungkin hanya Undang-Undang Nomor 5 Ta­hun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Undang-Un­dang Pokok Agraria atau UUPA), yang masih eksis sebagai undang-undang pokok atau undang-undang induk atau hukum payung (umbrella act).

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebenarnya tidak mengenal adanya undang-undang pokok, dalam arti undang-undang yang merupakan induk atau hukum payung (umbrella act) dari undang-undang yang lain, karena semua undang-undang di Negara Republik Indonesia mempu­nyai hirarki yang sama dan semua dibentuk oleh Presiden (eksekutif) dengan persetujuan Dewan Perwaki­lan Rakyat Republik Indonesia (legislatif). Oleh karenanya semua undang-undang kedudukan­nya sama, tidak lebih tinggi dari yang lain, dengan demikian satu sama lain tidak dapat saling memerintahkan untuk mengatur dengan undang-undang.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Pera­turan Perundang-undangan sebagai­mana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, juga tidak mengenal adanya ketentuan menge­nai hukum payung (umbrella act) atau undang-undang yang bersifat hukum payung (umbrella act) dalam hirarki peraturan perun­dang-undangan di Indonesia sehingga tidak terlihat adanya pembedaan antara undang-undang sebagai hukum payung dan undang-undang yang bersifat organik.

Kondisi tersebut membawa konse­kuensi hukum, yakni pem­buatan undang-undang yang bersifat organik (Undang-Undang Sektoral Di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam atau disingkat UU Sektoral PSDA.

Yang dimaksud dengan UU Sek­toral PSDA antara lain ialah undang-undang kehutanan, undang-undang pertambangan mineral dan batubara, undang-undang minyak dan gas bumi, undang-undang sumber daya air, undang-undang perikanan, undang-undang penataan ruang, undang-undang lingkungan hidup, dan lain-lain), tidak lagi harus mengacu atau bertindak berdasar­kan UUPA.

 Padahal UUPA sejatinya dimak­sud­kan untuk menjadi hukum payung (umbrella act) yang mengandung amanat pembuatan beberapa undang-undang (UU Sektoral PSDA) sebagai pedoman pelak­sa­naan UUPA.

Di sisi lain, UUPA sebagai undang-undang pokok yang semula diha­rapkan menjadi hukum payung (umbrella act) bagi UU Sektoral PSDA ternyata mengalami kega­galan.

Salah satu penyebab utama kega­ga­lan UUPA sebagai undang-undang pokok atau sebagai undang-undang payung adalah karena materi UUPA kurang lengkap, UUPA lebih lengkap mengatur masalah pertanahan. Hal ini menimbulkan kesan bahwa UUPA lebih tepat disebut sebagai ‘Undang-Un­dang Pertanahan’ daripada un­dang-undang yang mengatur secara komprehensif dan proporsional tentang agraria.

Menurut UUPA pengertian agraria meliputi bumi (tanah adalah bagian permukaan bumi, air dan ruang angkasa beserta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya).

Mestinya UUPA juga menga­tur secara lengkap tentang kehutanan, pertambangan mineral dan batubara, minyak dan gas bumi, sumber daya air, peri­kanan, penataan ruang, ling­ku­ngan hidup, dan lain-lain, namun faktanya tidak demikian, UUPA lebih dominan mengatur sektor pertanahan, dari 67 pasal di dalam UUPA, terdapat 53 pasal yang mengatur sektor perta­nahan, hanya ada 4 pasal yang menga­tur hal-hal di luar sektor pertanahan.

Lahirlah berbagai undang-undang sektoral

Kekuranglengkapan UUPA itu tidak segera dibenahi aki­batnya lahirlah berbagai undang-undang sektoral, misalnya Undang-Undang Nomor: 5 Tahun 1967 tentang Ke­hu­tanan, Un­dang-Undang Nomor: 11 Tahun 1967 tentang Pertam­ba­ngan, Undang-Undang Nomor 11: Tahun 1974 tentang Pengairan dan berbagai undang-undang lain yang terbit kemudian yang dalam kenya­taannya tidak satupun undang-undang sekto­ral tersebut merujuk pada UUPA, melainkan masing-masing langsung meru­juk pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Repu­blik Indonesia Tahun 1945.

Era bertumbuhkembangnya un­dang-undang sektoral, menan­dai didegradasinya UUPA yang pada awalnya dimaksudkan untuk menjadi lex generalis bagi pengaturan sumber daya alam men­jadi sederajat dengan undang-undang sektoral lainnya dan dengan demikian menjadikan UUPA sebagai lex specialis yang hanya mengatur bidang perta­nahan.

Sejatinya UUPA dimaksudkan sebagai undang-undang yang akan menjadi landasan pengaturan ber­bagai undang-undang terkait dengan agraria (bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya). Na­mun, dalam perjalanan waktu, terutama pada awal tahun 1970-an, ketika pemba­ngunan ekonomi negara kita memerlukan modal yang cukup besar, terjadi perlombaan untuk me­nyu­sun undang-undang sektoral.

Diawali dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Kehu­tanan (direvisi dengan Undang-Un­dang Nomor 41 Tahun 1999) dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan direvisi dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), tanpa mengacu kepada prinsip-prinsip yang digariskan oleh UUPA, semua undang-undang sektoral secara langsung merujuk pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai landasan hukumnya.

Sejak terbitnya berbagai undang-undang sektoral itu, kedudukan UUPA sebagai induk regulasi penge­lolaan sumber daya alam didegradasi menjadi undang-undang sektoral yang mengatur tentang pertana­han.***

Penulis adalah Notaris/PPAT dan Dosen Program Studi Magister Keno­tariatan USU – Medan)

()

Baca Juga

Rekomendasi