Padamu negeri kami berjanji
Padamu negeri kami berbakti
Padamu negeri kami mengabdi
Bagimu negeri, Jiwa raga kami
Oleh: Mihar Harahap
SEBELUMYA, lagu wajib nasional “Bagimu Negeri” ciptaan Kusbini diperdengarkan. Setelah itu, acara silaturahmi ikatan alumni UI dengan tema Kebangkitan Untuk Keadilan di Taman Lingkar Perpustakaan UI. Kegiatan itu Jumat (27/1) pun dimulai. Tak lama, giliran Taufiq Ismail, penyair Angkatan ‘66, tampil. Bukan membaca puisi seperti biasanya, melainkan berpidato. Barangkali buah pikirannya adalah ekses dari kebangkitan untuk keadilan, sebagaimana tuntutan acara yang lagi digelar.
Meski mulai renta termakan usia, tetapi vokal dan intonasinya masih lumayan. Menariknya, isi pidato dan isi puisinya, tak jauh beda. Dengan lantang, dia katakan; lagu wajib nasional “Bagimu Negeri” ciptaan Kusbini adalah menyesatkan, musyrik, salah sekali. Karena itu, imbaunya, supaya lagu itu tidak diperdengarkan lagi. Panitia dan hadirin pun tersentak. Apalagi para wartawan, langsung mengangkatnya sebagai news value. Bahkan menjadi konsumsi media sosial.
Lagu itu diciptakan Kusbini tahun 1942 dan ditetapkan pemerintah menjadi lagu wajib nasional tahun 1960. Ketika itu, lagi marak lagu-lagu propaganda untuk saudara tua. Panas juga telinga mendengarnya. Apa daya, rezim saudara tua masih berkuasa. Soekarno tidak berpangku tangan. Dia panggil dan perintahkan Kusbini menciptakan lagu nasional mengimbangi lagu propaganda. Kusbini setuju, dia ciptakan dan jadilah lagu “Bagimu Negeri” itu.
Rupanya, lagu ini sangat populer. Mulai dari anak-anak sampai bapak-bapak, laki-laki dan perempuan. Mungkin karena iramanya yang tenang menghanyutkan, berlarik singkat, padat dan mudah dihafal. Lagu itu sampai juga ke telinga saudara tua.
Kusbini diintograsi. Apa maksud “negeri” ini? Dia jawab dengan bijak, negeri itu adalah pemerintah saudara tua. Padahal maksudnya adalah negara Indonesia. Sejak itu, lagu ini makin populer karena lulus pelarangan.
Sementara itu, pernyataan Taufiq Ismail terhadap lagu ini, tidak saja diungkap ketika sedang berpidato. Di hadapan khalayak ramai dan ekslusif pula. Ternyata jauh sebelum ini, tepatnya tahun 1998, pernyataan sudah diungkap dalam puisi “Bagimu Negeri”. Petikan penting puisi itu:
“Jadi setiap menyanyikan lagu ini/Tiba pada dua baris terakhir sekali/Jiwa raga cuma pada Tuhan kami beri/Sesudah itu terserah pada Dia sendiri/Apa akan dibagikan-Nya juga pada negeri”.
Puisi ini sangat naratif, lugas dan sederhana. Kami “berjanji” (baris pertama) dan “berbakti” (baris kedua) pada negeri, tidak dipersoalkan. Akan tetapi, kami “mengabdi”(baris ketiga) dan “jiwa raga” (baris keempat) pada/bagimu negeri, menjadi persoalan. Kata Taufiq: ”Lho, apa bangganya negeri menerima jiwa raga kami? Jiwa raga manusia ini diberi karunia oleh Allah yang Maha Pencipta dan jiwa ini kembali kepada raga yang memberinya dahulu. Tidak pada yang lain.”
Dengan kata lain, manusia hanya mengabdi kepada Allah Swt. Bukan kepada yang lain. Apalagi jiwa raga, justru datangnya dari Allah Swt dan harus kembali kepada-Nya. Tidak kepada yang lain. Mungkin dasarnya QS.Adz Dzariat 56:
”Dan aku tidak akan menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka mengabdi kepadaku”. Ayat ini tegas mengatakan, takkan kuciptakan jin dan manusia, kecuali untuk mengabdi kepadaku. Tidak terhadap yang lain.
Itu sebabnya, Taufiq menyebut lagu “Bagimu Negeri” sangat menyesatkan, musyrik, salah sekali. Musyrik adalah orang yang melakukan syirik. Syirik, sebagaimana menurut QS.An-Nisaa 116 adalah “1). sesungguhnya Allah tak mengampuni orang yang melakukan syirik, 2). Allah mengampuni selain syirik kepada orang yang dikehendaki-Nya, 3). syirik ialah kesesatan yang paling jauh”. Artinya, musyrik, syirik, adalah dosa tak berampun atau tindakan kesesatan yang paling tinggi.
Dari satu pihak, Kusbini, sebagai komponis mendasari ciptaannya secara nasional. Memantik semangat dan cinta negeri di tengah-tengah pendudukan dan propaganda saudara tua. Di pihak lain, Taufiq Ismalil, sebagai penyair, mendasari amatannya secara religiositas. Menyoroti makna larik lagu sesuai keyakinan dan pahamnya. Keduanya tak perlu dipertentangkan karena aspek dasarnya beda. Ibarat rel kereta api, terhampar sepanjang jalan berdampingan menuju stasiunnya.
Lantas kita ingin menganalisis lagu “Bagimu Negeri” ciptaan Kusbini ini berdasarkan aspek kebahasaan dan kesastraan. Pertama, lagu ini, terdiri dari satu bait empat baris. Setiap baris terdiri dari empat kata. Bersajak aaaa pada setiap akhir baris. Dengan demikian, lagu ini dapat disebut puisi atau mengandung nilai-nilai puisi. Pertanda bahwa bentuk larik sangat dekat dengan jenis puisi yakni syair. Merupakan bentuk populer masa transisi Pujangga Baru dan Angkatan 45.
Kedua, lagu ini mengandung tema, subtema, kebangsaan menuju kemerdekaan. Semula kedatangan mereka sebagai saudara tua, berjanji akan mendukung kemerdekaan Indonesia. Karena hal itu, lagu Indonesia Raya dan Kimigayo boleh dinyanyikan. Bahkan bendera merah-putih boleh dikibarkan. Lama-kelamaan,sudara tua menunjukkan belangnya. Bahwa dia ingin menjajah dan menguasai Indonesia, sama halnya dengan saudara lain, malah lebih menyakitkan.
Lagu Indonesia Raya pun tak boleh dinyanyikan. Bendera merah-putih tak boleh dikibarkan. Hanya lagu-lagu propaganda yang diperdengarkan, di samping lagu “Bagimu Negeri” karena bebas pelarangan. Amanah impresifnya (rela berkorban jiwa raga) merasuk ke dalam hari rakyat. Meski faktanya rakyat dizolimi. Saudara tua merampas harta benda berharga milik rakyat, menyiksa, memerkosa kaum wanita, mengeruk kekayaan alam dan melakukan kerja paksa, romusha.
Ketiga, lagu ini, menggunakan reduplikasi. Gunanya, di samping untuk menguatkan makna dan amanahnya, juga untuk mengindahkan irama. Reduplikasi tampak pada kata “pada” (3 kali), “negeri” (4 kali) dan “kami” (4 kali). Bila kata-kata ini dirangkai, maka terbentuk frasa/kalimat “padamu negeri kami” yakni Indonesia. Hal ini bermakna bahwa kami berjanji, berbakti, mengabdi, kepada Indonesia. Bahkan akhirnya mengaku, engkaulah jiwa raga kami.
Keempat, lagu ini, memiliki larik “berjanji”. Menurut kamus artinya sedia/sanggup berbuat sesuatu, persetujuan dua belah pihak, syarat ketentuan, penundaan waktu, batas waktu. Larik “berbakti”, artinya tunduk dan hormat, menghambakan diri, setia. Larik “mengabdi”, artinya, orang bawahan, pelayan, hamba, budak tebusan. Larik “jiwa raga”, artinya roh, batin, abstrak, jasad, badan, konkrit. Larik lain seperti pada, mu, negeri, kami, seperti arti umumnya.
Bila dikaitkan dengan larik lagu, maka berjanji, artinya kami sedia/sanggup berbuat sesuatu kepada negeri. Larik berbakti, artinya tunduk, hormat, setia, kepada negeri. Larik mengabdi, artinya pelayan kepada negeri. Larik jiwa raga, artinya roh, batin, badan, jasad, kepada negeri. Jadi, demi negeri, negara, Indonesia, maka kami, rakyat, harus sedia berbuat sesuatu. Harus setia dan siap menjadi pelayan. Bahkan pada akhirnya, negeri itu adalah jiwa raga secara totalitas.
Kelima, larik makna lagu ini menggunakan pengungkapan bahasa kiasan. Misalnya, ada ungkapan “kau jantung hatiku”, kata suami kepada istri atau kata lelaki kepada wanitanya. Bukan berarti istri atau wanita itu adalah jantung dan hati suami atau lelaki. Melainkan ungkapan perasaan cinta, kasih sayang, suami atau lelaki kepada istri atau wanitanya. Ungkapan terasa lebih indah, lebih dalam dan lebih berkesan, ketimbang pernyataan klise dan monoton “aku cinta padamu”.
Begitu pula ungkapan “jiwa raga kami” (rakyat) kepada negeri (Indonesia). Akan terasa lebih indah, lebih dalam dan lebih berkesan, kerimbang sekedar pernyataan “kami cinta tanah air”. Karena itu, terlalu jauh, jika jiwa raga itu dimaknai secara denotatif, leksikal, gramatikal.
Jiwa raga itu, hanya kepada Allah Swt., tidak kepada yang lain, secara religi benar adanya. Cuma lagu ini lebih dekat kepada makna konotatif, stilistika, kiasan, yang biasa dilakukan seniman.
Berdasarkan analisisi ini, maka kita berkesimpulan. Lagu wajib nasional “Bagimu Negeri” ciptaan Kusbini, puisi berbentuk syair atau setidak-tidaknya larik lagu yang memiliki nilai-nilai puitis. Hal ini makin membuktikan kalau hasil kesenian itu (sastra, teater, tari, rupa, musik, film, multi media, dan lain-lain.) Pada hakikatnya bersentuhan secara signifikan. Ternyata, larik lagu ini, sangat bersentuhan dengan puisi, jika ditelaah secara kebahasaan dan kesastraan.
Akhirnya, pernyataan Taufiq, larik lagu ini adalah menyesatkan, musyrik, salah sekali, dapat dipahami dari satu aspek. Taufiq pun harus mengakui dan memahami ada aspek lain yang pasti berbeda dengannya. Terpenting, semua akan menambah kekayaan pengamat dalam mengapresiasi larik lagu Kusbini ini.
Jangan ada pelarangan/imbauan untuk tidak lagi mendengarkan/menyanyikan lagu ini, karena lariknya merupakan lagu wajib nasional.
Penulis kritikus sastra, budaya, pengawas dan dosen UISU