(Tak Selalu) Mantan Terindah

Oleh: D. Orlando

RASA-rasanya tidaklah pernah elok bila kita turut ikut aksi saling tuding. Terlebih sam­pai harus membicara­kan keburukan se­se­orang. Syukur-syukur kalau hal yang kita sangka itu benar, ja­ngan-jangan cuma berita hoax pula. Yang ada malah menjadi fit­nah. Seakan-akan pula tidak ada kebaikan yang tersisa dari orang yang kita pojokkan itu. Ada ka­lanya waktu ada­lah jawaban terbaik un­tuk mem­buk­tikan perbuatan seseo­rang.

Itulah yang mungkin kini dirasakan oleh Presiden Keenam Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Seorang tokoh nasional yang pernah menjadi pemimpin tertinggi negeri ini selama dua periode berturut-turut lewat pe­milihan umum langsung. Beliau pu­lalah yang selama 10 tahun masa peme­rin­tahannya menghadirkan stabilitas po­litik dan keamanan di Indonesia.

Tidak jelas siapa dan bagaimana se­mua ini bermula. Namun belakangan ini, sebutan “sang mantan” di media sosial selalu ramai-ramai disematkan kepada SBY. Setiap pernyataan, komentar, kritik bah­kan cuitan SBY sekejap langsung dianggap ibarat curahan hati seorang mantan. Bahkan, cuitan SBY akhir-akhir  itu pun langsung segera men­jadi viral di media sosial dan trending topic di twitter.

Bukannya hendak memperkeruh sua­sana. Namun, perkara “mantan” memang selalu menjadi hal yang sensitif. Apalagi bila sudah dikaitkan dengan keber­pi­hakan selera rasa suka atau tidak. Walau­pun tidak berlaku universal, kata mantan se­ringkali memiliki nuansa kesinisan. Sebut saja misalnya untuk mantan suami/istri, mantan kekasih/pacar juga mantan te­man. Tentu berbanding terbalik pula ke­sannya kalau diposisikan kepada man­tan guru/dosen atau objek lain yang daftarnya bisa jadi sangat tidak terhingga.

Seorang mantan yang tidak dirindukan ten­tunya akan langsung terlupakan. Man­tan itu juga tidak akan pernah diundang lagi ke sebuah acara atau hajatan sang tuan rumah. Jikalau harus ter­paksa ber­temu, maka yang ada ha­nyalah tampilan aksi dan percakapan basa basi semata.

SBY pastilah seorang negara­wan. Se­orang negarawan selalu memikirkan na­sib dan masa depan negaranya. Seorang ne­­ga­rawan juga selalu siap pula mengor­bankan semua tenaga, waktu, dan pikiran untuk kemajuan bangsanya tanpa pamrih. Se­orang negarawan juga tentu terlalu ren­dah bila harus terusik dengan go­rengan gosip-gosip picisan.

Sebagai presiden pada periode sejak 2004 hingga 2010, tentu tidak terhitung lagi banyaknya arus kontra, kritik, beda pendapat, komentar pedas hingga aksi de­mon­strasi yang dihadapi pemerin­tahan kala itu. Toh, semuanya tetap berlalu. Pe­merintahan Pak SBY kala itu juga lancar dari awal hingga akhir, bebas dari wacana-wacana pemakzulan.

Lewat akun twitter pribadinya @SBYu­dho­yono, pada 8 Februari 2017, se­cara tersirat Pak SBY juga sadar bahwa tidak mudah memimpin bangsa besar ini. Apalagi sampai harus menyenang­kan semua orang dan kepenting­annya. Pak SBY mencuit bahwa tidak ada Pre­si­den dan pemerinta­han­nya yang semua­nya selalu hebat dan sukses. Namun se­balik­nya juga, tidak ada pula yang selalu jelek dan gagal.

Setiap pemimpin dan pemerin­ta­hannya selalu ada kelebihan dan ke­kurangan, termasuk mulai dari masa Pre­siden Soekarno hingga Joko Widodo saat ini. Lebih lanjut, beliau menitipkan pesan bahwa adalah tugas pemipin dan generasi berikutnya untuk melanjutkan apa yang sudah baik dan memperbaiki yang belum baik. Benar adanya yang di­katakan beliau.

Perlu disadari, layaknya orang yang se­dang kasmaran, kondisi psikologis rak­yat sejatinya terus mengalami perubahan seiring waktu dan kondisi bermasyarakat. Ada kalanya seorang tokoh dipuja, disukai, dan dielu-elukan setiap harinya. Kita sebutlah itu masa romantis. Namun, masa-masa indah itu akan berakhir suatu saat. Bila tiba di penghujung, maka habis juga segala pujian. Yang ada kemudian hanya keburukan yang selalu diungkit.  

Dengan segala hormat, mungkin sudah sa­atnya bagi SBY untuk memikirkan opsi rehat sejenak dari dunia politik. Beliau juga telah mengemban tugas berat sebagai seorang pimpinan partai politik sejak 2013. Politik terkadang memang ka­sar, kurang berkea­daban, dan tak ma­suk akal seperti yang bapak sampai­kan. Tidak ada kawan atau lawan sejati, yang ada hanya kepentingan. Esuk dhele sore tempe.

Ruang pengabdian SBY sebagai ne­garawan tentulah tidak hanya di dunia politik yang buas ini. Dengan kapasitas yang dimiliki, tentu SBY bisa dengan mu­dah menggerakkan ber­bagai aksi, ya­yasan, organisasi nasional bahkan dunia itu mem­bantu memberi solusi atas krisis-krisis sosial dan kemanusiaan yang nyata ada di Indonesia bahkan di dunia. Tentu ini lebih melegakan daripada melihat para pe­mimpin kami saling bersitegang dan berseteru.

Penutup

Bung Hatta adalah seorang contoh ne­garawan yang sempurna. Beliau tetap menjadi dwitunggal Bung Karno sampai akhir hayat­nya. Walau sudah tidak di pemerintahan, Bung Hatta tetap aktif mengkritisi kebijakan peme­rin­tahan Bung Karno kala itu. Namun, mereka ber­dua tidak per­nah menjadikannya ranah pri­badi. Mereka berdua tetap bersahabat baik. Bung Hatta tetap setia menemani sa­habat baiknya pada hari-hari terakhir­nya di Wisma Yaso. Ulangan kisah seperti ini sangat kami rindukan sebagai rakyat.

Akhir kata, rakyat tidak akan pernah lupa atas semua yang telah diberikan ke­padanya. Tidak pula sebuah gosip se­mua pencapaian yang telah dikerjakan pe­merintah. Ya, memang tidak pernah se­lalu ada yang namanya mantan ter­indah. Kami mafhum itu.***

Penulis adalah pemerhati masalah sosial. Email : [email protected]

()

Baca Juga

Rekomendasi