Orang Melayu Enggan Berkonsolidasi Budaya

Medan, (Analisa). Pencarian budaya dan identitas Kota Medan sebagai warisan Melayu sulit terbentuk. Beberapa faktornya, antara lain populasi orang Melayu yang mi­nim dan enggannya melakukan kon­so­lidasi budaya.

Kepala Pussis Unimed, Dr. phil. Ich­wan Azhari, MS, menyampai­kan­nya dalam Seminar Perubahan Sosial di Kota Medan dalam Perspektif Antro­pologi Kerja sama Antropologi Sosial Pascasarjana Unimed dan Prodi An­trop­ologi FIS Unimed, di VIP Gedung Serbaguna Unimed  belum lama ini.

"Dulunya, Kesultanan Deli mem­beri hak istimewa pada orang Melayu dan etnik non Melayu terserap dalam pro­ses Melayunisasi secara setengah hati," ujarnya.

Namun, lanjutnya, institusi kesul­tanan tidak memperkuat budaya Mela­yu itu sendiri dan lebih menonjol­kan­nya (budaya Melayu) sebagai akseso­ris, sama seperti di Medan.

"Kreator budaya Melayu tidak muncul dari ista­na. Tidak ada kesenian, yang muncul, arsitek, karya sastra Melayu yang mun­cul di istana," ucap­nya.

Padahal, lanjutnya, kesultanan ini merupakan satu dari empat (kesulta­nan) terkaya di Indonesia yang hanya ada di Sumatera Utara yakni Melayu Deli. "Melayu Deli mendapatkan ke­kayaan 'durian runtuh' dengan adanya penyewaan tanah dari kolonial. Na­mun, pada 1946, mendadak runtuh da­lam tragedi sosial di Sumatera Timur. Institusi kesultanan musnah, elit Mela­yu banyak terbunuh, mengungsi, ter­sing­kir, menarik diri, sejarah kultural menjadi lemah," paparnya.

Melayu hilang ketika istana musnah. "Itulah kelemahan orang Melayu. Mes­kipun, Melayu di pinggiran masih eksis dengan involusi budayanya. Di ping­giran juga masih bisa kita cari anyang, bubur pedas. Sementara, di sudut lain sudah tidak ada," katanya.

Konsolidasi budaya

Lalu, mulai muncul komunitas-ko­munitas Melayu di Medan. "Tapi dalam hal konsolidasi budaya, (orang Mela­yu) mengalami kesulitan. Sementara, Medan telah jadi kota migran yang di­ku­asai pedagang. Saat saya tanya, siapa Melayu, maka akan sedikit yang angkat tangan. Sedangkan, yang Batak, langsung banyak yang angkat tangan," tuturnya.

Karenanya, pencarian budaya dan identitas Kota Medan sebagai warisan Melayu saat ini sulit terbentuk. "Dalam politik modern, orang yang paling de­mo­krasi, tidak nepotisme, adalah Mela­yu karena tidak ada keterpanggilan kon­solidasi budaya itu. Belum lagi, Me­layu sangat minoritas jumlahnya, berdasarkan statistik juga masih ren­dah. Sementara, pendatang masuk le­wat 'pintu belakang'. Orang-orang pen­datang yang datang malah mengesah­kan diri sebagai orang 'Medan'. Dalam penelitian, skripsi, tesis dan lainnya, kon­disi ini masih jarang ditelaah," je­lasnya.

Dalam seminar ini, sejumlah guru besar turut menjadi pembicara, di anta­ranya Prof. Syafri Sairin, MA PhD (Guru Besar UGM), Prof. Usman Pelly MA PhD (Guru Besar Unimed), dan Prof. Dr. Robert Sibarani, M.Si (Guru Besar USU).

Prof Syafri Sairin, MA PhD, dalam paparannya menyebutkan bagaimana sulitnya mengelola secara administratif bangsa Indonesia. "Saya saat di Wa­katobi mengetahui ada 75 bahasa lokal yang tidak dimengerti. Itu akhir­nya menimbulkan konflik-konflik internal di politik," sebutnya.

Di Medan, lanjutnya, konflik ada dan selalu disebut-sebut tapi tidak ter­buka. "Karena itu, konflik itu disele­sai­kan dalam antropologi, dengan kon­sep 'the way of table manner' atau, 'ma­kan bersama'. Meja itu, kata Levis­trauss, menunjukkan siapa teman kita," lanjutnya.

Antropologi banyak memberikan kontribusi. "Tapi orang-orang tidak mau paham terhadap simbol-simbol yang sebenarnya setiap orang sama," tambahnya. (st)

()

Baca Juga

Rekomendasi