Realisme Fotografis

Oleh: Azmi TS

PELUKIS yang kerap meng­gu­na­kan sapuan kuas da­lam setiap karya, terlihat ke­cenderungan pe­nguasaan warna-warna yang meng­ha­dir­kan jiwa. Warna itu wa­laupun tradisional, tapi sanggup  me­­nye­laraskan setiap obyek, se­hingga terlihat harmoni. Kese­ra­sian antar obyek digambar­kan se­cara realis fotografis itu bukan se­kedar menyalin ke­nya­taan ke kanvas melainkan sebagai idiom.

Chusin Setiadikara me­mang di­sebut seorang yang me­miliki go­resan berkarakter, ar­tinya goresan kuasnya me­mi­liki ciri khas tersen­diri. Pe­lukis kelahiran Bandung ta­hun 1949 sejak usia belia sudah ak­­rab dengan gaya realisme. Ob­yek lukisan realisme Chu­sin seakan bisa mengajak kita berdia­log mendalami makna yang ada di baliknya. Karya­nya termasuk realisme foto­gra­fis, namun Chusin sen­diri tak mau dikatakan seperti itu. Dia lebih cenderung memakai istilahnya sendiri karena sering melepas kaidah seni dan este­tika.

Kemampuan teknik draw­ing-nya tinggi ditambah daya ung­kap itu memang betul-be­tul dipersiap­kan­nya secara ma­tang dan cermat. Gaya ungkap itu mirip dengan Dede Eri Su­pria dan Mustika yang sering kali menampilkan wajah figur secara realisme fotografis. Ke­harmonisan bentuk dan warna latar dibuat secara terperinci, se­olah-olah kita dapat lebur ikut merasakannya. Obyek yang di­mun­­cul­kan­nya  apabila ki­ta meli­hat­nya merasakan atau paham se­mua yang dira­sakan oleh sang figur tadi.

Kebiasaannya melakukan observasi ke lapangan agar bisa merasakan dan mengha­ya­ti obyek itu nantinya bisa menghadirkan sua­sana baru. Terkadang aneh dia mengata­kan tak mau terikat pada aliran tertentu, malah selalu meng­hin­darinya (melepaskan) kai­dah seni. Dia pun jarang me­mulai de­ngan sketsa dalam me­lukis, namun diakuinya sket­sa bisa menambah unsur lukisan semakin bermakna.

Baginya keberanian untuk melepaskan kaidah seni seka­ligus estetika itu justru mem­bu­atnya bisa memunculkan kon­sep  yang bermakna. Dia bahkan bisa memadukan bebe­rapa idiom  yang lebih berbo­bot dan bernas. Misal­nya lu­kisan “Pasar Kintamani” lahir karena secara emosional, dia per­nah menyaksikan akan meng­gu­sur pasar tradisional menjadi ba­ngunan semen. Secara artistik lu­kisan ini me­nunjukkan beragam kon­sep  idiom tadi yang oleh seni­man Dede Eri Supria, jarang sekali dipertontonkan.

Memunculkan ragam idi­om yakni penggabungan antar ele­men, bentuk, garis, emosi itu ada dalam lukisan “Selimut Merah” dan “Transaksi”. Unik­nya lagi lukisan ini terdiri dari tiga bagian yang di­susun lewat elemen garis-garis kon­tras. Antar elemen garis itulah nilai artistik yang dimaksud­kan Chu­sin sebagai hal yang tak lum­rah menjadi lumrah adanya. Ba­ginya pencapaian artistik yang se­perti itu akan memunculkan kli­maks yang ia namakan “karak­ter atau identitas diri”.

Pada karya lainnya dia se­ring me­lukiskan figur dengan latar belakang geometris (ho­rizontal dan vertikal) seakan membelahnya jadi terpisah. Dia bahkan sengaja meng­ha­dir­kan bagian bidang datar, ta­pi tak sampai mengabur­kan ob­yek yang di­garapnya. Mes­ki­pun dia dicap se­bagai pelukis yang mena­brak kai­dah seni, tapi peminatnya meng­anggap lukisan­nya berjiwa. Luki­san itu terlihat berkarakter teru­tama pemakaian warna yang har­moni sejalan de­ngan pene­raan latar belakang de­ko­ratif tadi.

Teknik dan gaya Chusin Se­tiadikara berkarya ini me­mang dahsyat, bagaimana ca­ra­nya agar bisa menular kepa­da pelukis di daerah Medan. Tentunya diharap­kan generasi muda pelukis di daerah Sumut ini bisa memuncul­kan konsep pemahaman baru. Se­ti­daknya perlu menyikapi itu agar para pelukis daerah bisa bangkit la­gi. Perupa daerah perlu mene­ro­bos sekat-sekat yang meng­ham­bat­nya selama ini.

()

Baca Juga

Rekomendasi