Oleh: Datuk Imam Marzuki. Dalam anggaran dasar MUI disebutkan bahwa majelis ini diharapkan melaksanakan tugasnya dalam pemberian fatwa dan nasihat, baik kepada pemerintah maupun kepada masyarakat. Pada dasarnya, umat Islam sangat mengharapkan adanya fatwa, karena fatwa mempunyai penjelasan tentang kewajiban-kewajiban agama (faraidl), batasan-batasan (hudud), serta menyatakan tentang haram atau halalnya sesuatu. Hal ini sebagaimana yang tercantum dalam anggaran dasar MUI, bahwa peran MUI ditetapkan sebagai pemberi fatwa dan nasihat, baik kepada pemerintah maupun masyarakat muslim berkaitan dengan persoalan agama khususnya dan persoalan yang berkaitan yang dihadapi negara pada umumnya.
Pedoman fatwa Majelis Ulama Indonesia ditetapkan dalam Surat Keputusan Nomor: U-596/MUI/X/1997. Dalam surat ini terdapat tiga bagian proses dalam menentukan fatwa, yaitu dasar hukum penetapan fatwa, prosedur fatwa, teknik serta kewenangan organisasi dalam menetapkan fatwa. Dasar umum penetapan fatwa didasarkan kepada al-adillah al-ahkam yang paling kuat dan membawa kemaslahatan bagi umat. Selain itu dasar fatwa adalah al- Qur’an, Hadis, ijma’, qiyas dan dalil-dalil hukum lainnya. Sedangkan prosedur penetapan fatwa dilakukan dengan tahapan dan langkah- langkah yang telah ditetapkan. Selain itu kewenangan Majelis Ulama Indonesia adalah memberi fatwa tentang masalah keagamaan yang bersifat umum yang menyangkut umat Islam Indonesia secara nasional dan dalam masalah agama Islam di daerah yang diduga dapat meluas ke daerah lain.
Fatwa secara syariat bermakna, penjelasan hukum syariat atas suatu permasalahan dari permasalahan-permasalah yang ada, yang didukung oleh dalil yang berasal dari al-Quran, Sunnah Nabawiyyah, dan ijtihad. Fatwa merupakan perkara yang sangat urgen bagi manusia, dikarenakan tidak semua orang mampu menggali hukum-hukum syariat. Di Indonesia, fatwa- fatwa hukum Islam dikeluarkan oleh Mejelis Ulama Indonesia (MUI).
Dilihat dari aspek sosial kemasyarakatan, eksistensi MUI dipandang sangat penting di tengah realitas pluralitas masyarakat Islam Indonesia. Kemajemukan dan keragaman umat Islam dalam alam fikiran keagamaan, organisasi sosial, dan kecenderungan aliran. Ulama sebagai panutan (qudwah hasanah), sehingga mampu mengarahkan dan membina
MUI menetapkan sejumlah adab (kode etik) dan persyaratan yang sangat ketat dan berat bagi seorang yang akan menjadi mufti. Di antara prinsip dan persyaratan tersebut adalah bahwa mufti (orang atau lembaga yang memberikan fatwa) harus mengetahui hukum Islam secara mendalam berikut dalil-dalilnya. Tidak dibenarkan berfatwa hanya berdasarkan keinginan dan kepentingan tertentu atau dugaan-dugaan yang tidak ada dasarnya pada dalil. Fatwa harus dikeluarkan oleh orang atau lembaga yang mempunyai kompetensi, karena fatwa yang dikeluarkan secara sembarangan akan melahirkan tindakan tahakkum (perbuatan membuat-buat hukum).
Yang dapat dijadikan dasar penetapan fatwa menjadi dua kelompok, yakni: dalil-dalil hukum yang disepakati oleh para ulama untuk dijadikan dasar penetapan fatwa (adillah al-ahkam al-mutafaq ‘alaih) dan dalil-dalil hukum yang diperselisihkan untuk dijadikan dasar penetapan fatwa (adillah al-ahkam al-mukhtalaf fiha). Para ulama juga telah menjelaskan apa saja dalil-dalil hukum yang disepakati untuk dijadikan dasar penetapan fatwa yaitu al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas
Islam sebagai rahmatan lil alamin, mengatur segala aspek kehidupan baik dalam hal ibadah maupun muamalah. Segala sesuatu yang berhubungan dengan muamalah, diatur dalam fiqh muamalah. Fiqh muamalah merupakan kumpulan hukum yang disyariatkan Islam yang mengatur hubungan kepentingan antar sesama manusia. Dalam fiqh pada umumnya dikenal istilah fatwa, yakni secara literal, kata ”al-fatwa” bermakna ”jawaban atas persoalan-persoalan syariat atau perundang-perundangan yang sulit”.
Majelis Ulama' Indonesia (MUI) adalah majelis yang menyatukan kaum berilmu (berintelektual) muslim Indonesia. Sejalan dengan fungsi serta perannya sebagai kaum berintelektual, maka MUI membawa amanat besar untuk mampu mengakomodasi kemampuan atau kelebihan yang ada pada dirinya demi kemaslahatan umat. Buya Hamka, selaku Ketua MUI pertama, dalam pidatonya di tahun 1975 telah menganalogikan eksistensi kelembagaan MUI sebagai "kue bika" yang atas bawah dihimpit api.
Sejarah berulang Pernyataan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto terkait perlunya koordinasi MUI dengan Polri dan Kementerian Agama, dalam menetapkan fatwa. begitu juga fatwa Kapolri Tito Karnavian Menyatakan Fatwa MUI bukan hukum positif di Indonesia. ini menjadi polemik ditengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara, disaat MUI menjalankan peranan sebagai pelanjut risalah kenabian dan panutan (qudwah hasanah). Disaat yang bersamaan Negara masuk menawarkan isu kebersamaan, sinergisitas dan toleransi keterkaitan Fatwa MUI tentang penistaan Agama yang dilakukan Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok.
Menurut Hamka, begitulah MUI, yang eksistensi kelembagaannya berada di simpang jalan antara harapan masyarakat dan kepentingan pemerintah. Memilih ke pemerintah, maka hilang eksistensinya sebagai ulama yang seharusnya menjadi obor seluruh masyarakat. Memilih mementingkan rakyat maka putus hubungan dengan pemerintah.
Eksistensi lembaga MUI memang berdiri atas prakarsa pemerintah, namun dalam perspektif Hamka adalah sebuah keharusan bagi MUI untuk mampu independen dalam setiap gerak langkah pemikiran dan kebijakannya. MUI diharapkan tidak semata sebagai alat pemerintah yang berfungsi sebagai alat justifikasi kebijakan-kebijakan pemerintah. karena sejarah telah mencatat bahwa Hamka pernah enggan berjabat tangan dengan pemerintah,
Keengganan ini dilatarbelakangi oleh fatwa haramnya natal bersama yang dikeluarkan MUI. Fatwa ini keluar seiring maraknya perayaan natal bersama di instansi-instansi pemerintah. Pemerintah naik pitam Menteri agama waktu itu, Alamsyah Ratu Prawiranegara, memaksa MUI mencabut kembali fatwa tersebut. Hamka memang mengalah (atau dikalahkan), tapi beliau menegaskan bahwa nilai fatwanya tetap sah. Buya Hamka lalu mengungkapkan pada pers, pengunduran dirinya disebabkan oleh fatwa MUI 7 Maret 1981. Fatwa yang dibuat Komisi Fatwa MUI tersebut pokok isinya mengharamkan umat Islam mengikuti upacara Natal, meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa. Menurut K.H.M. Syukri Ghozali, Ketua Komisi Fatwa MUI, fatwa tersebut sebetulnya dibuat untuk menentukan langkah bagi Departemen Agama dalam hal umat Islam.
Pemerintah dengan serta merta dapat menjustifikasi MUI sebagai lembaga yang tidak berpartisipasi dalam kesatuan langkah gerak pembangunan. Ternyata, jauh sebelum fatwa-fatwa MUI berseliweran di tengah kemacetan lalu lintas hukum, ekonomi, moralitas, etika, politik, sosial, agama, dan nasionalisme, Buya Hamka telah memahami apa yang akan menjadi permasalahan, kendala, dan hambatan konstruksi kelembagaan MUI sebagai institusi intelektual Islam yang berfungsi dan berperan sebagai oase pencerahan bangsa secara umum dan umat Islamsecara khusus.
Di tengah kebinalan kekuasaan rezim Orde Baru, MUI mampu menjadi lembaga intelektual Islam yang independen. MUI hadir sebagai barisan implementatif intelektualistas yang mengedepankan nurani dan keyakinan, bukan alat pemerintah. Hamka berbicara sebagai pengejawantahan independensi nilai-nilai intelektualitas Islam. Meskipun, endingnya sangat tragis, Hamka harus mundur dari kursi Ketua Umum MUI. Tetapi, seperti halnya materi kritik Benda, Hamka tidak mau mengkhianati tugas dan perannya sebagai kaum intelektual, untuk menunjukkan jalan bagi orang lain yang belum tahu, kurang tahu, bahkan yang tidak mau tahu.
MUI pada dasarnya sedang berupaya menjalankan peran sosialnya, untuk menciptakan masyarakat Indonesia yang sehat, adil dan makmur, terciptanya kepemimpinan dan pemerintahan yang bersih. Semua potensi-potensi positif komponen bangsa hendaknya disumbangkan sepenuhnya. Sehingga MUI bisa melahirkan fatwa yang benar-benar berpijak pada intelektualitas Islamnya, independen, dan benar-benar demi kemaslahatan umat.
Penulis Dosen UMSU dan Ketua Bidang Pengkajian Pemuda Muhammadiyah Kota Meda Mahasiswa Pascasarjana UIN RF Palembang