Oleh: Azmi TS.
PELUKIS yang satu ini memiliki keistimewaan dalam memaksimalkan elemen garis dalam setiap karya seninya. Garis hasil goresannya seakan hidup, bahkan bisa memancarkan satu kekuatan realita murni. Tak heran belakangan karya studi sketsanya banyak mempengaruhi rancangan arsitektur termasuk patung, di Jakarta. Dia pernah menjabat gubernur DKI periode 1964-1965, sebelumnya dipercaya sebagai wakil gubernur Dr. Sumarno pada tahun 1960.
Pelukis yang pernah memimpin kota Jakarta ini, memiliki nama lengkap Hendrik Joel Hermanus Ngantung. Dalam berkarir di bidang senirupa dia akrab dengan julukan Henk Ngantung kelahiran Manado (Sulut) pada tanggal 1 Maret 1921. Menamatkan SD di Belanda sejak tahun 1937 dia merantau ke Jawa dan menetap di Bandung. Secara akademik dia belajar banyak melukis potret kepada Rudolf Wenghart (Austria) dan Sjafei Subardja (Pengajar Kesenian).
Keinginan yang kuat terhadap senirupa, Henk Ngantung memutuskan belajar secara senilukis dia terlebih dahulu membuat studi berupa sketsa. Hasil rancangam garis yang dia susun dalam satu dokumentasi khusus dengan menerakan judul, tahun dan tempat membuat sketsanya. Sebahagian sketsa cat air hitam putih itu ada pula yang diberi bingkai, dengan tujuan suatu saat akan dilukisnya dengan cat minyak.
Dalam soal merawat lukisan sketsa, Henk Ngantung satu-satu pelukis yang mengapit dengan karton tebal. Cara ini dipakai agar sketsanya itu tetap rapi, datar dan bersih sekaligus menjaga agar tidak rusak. Karya sketsanya pernah diulas dalam buku “ Sketsa-sketsa Henk Ngantung dari Masa ke Masa” buah pena Baharudin Marasutan. Karya lukisannya juga ada dalam buku Lukisan dan Patung Koleksi Bung Karno.
Sebagai orang yang dekat dengan Soekarno yang mencintai seni, dia didapuk untuk memperindah ibukota Jakarta. Keindahan yang kini tersisa dari karyanya ada berupa monumen, taman dan patung yang sketsanya berawal darinya. Patung Pembebasan Irian Barat dan Selamat Datang (dulu bernama Bangsa Indonesia Menyambut Hari Depannya). Dia andil juga berperan dalam menata taman ibukota. Misalnya mengadakan pot bunga hias di sepanjang jalan Husni Thamrin pada masa itu.
Sejak situasi politik tahun 1965 berganti penguasa, kedudukan pejabat gubernurpun ikut diberhentikan. Karena kedekatan beliau kepada Soekarno, maka jabatan gubernur DKIpun ikut dilengserkan.
Ironis memang, tapi nasib itu masih bisa dilanjutkannya karena dia bisa melukis, untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Dari aktivitas melukis dia bisa membeli tanah seluas 2.400 M di Jakarta Timur, sekaligus mendirikan rumah yang nyaman.
Nasib Henk Ngantung sebagai mantan gubernur disirnakan. Otomatis dia mengalami krisis keuangan, maka rumah dan tanah itu juga terpaksa dijual. Dia pindah ke daerah perkampungan. Di sanalah dia meneruskan kegiatan melukisnya.
Kesetiaannya pada senilukis terutama seni sketsa memang luar biasa. Pada tahun 1980-an karena usia dan penyakit matanya, dia melukis dibantu kaca pembesar. Mata sebelah kanan buta total sedangkan mata kirinya hanya tinggal 30% berfungsi.
Melihat kesetiaannya pada senilukis seorang bangsawan, mantan gubernur tak menghalangi niatnya. Padahal dia juga punya riwayat jantung parah. Diapun menyerah kepada takdir tepat tanggal 12 Desember 1991 pergi untuk selamanya tepat berusia 70 tahun.
Lukisan cat minyak “Gajah Mada” merupakan kekuatan goresan garis. Ketegasan garis seakan membentuk kharismatik ketokohan tersendiri. Kekuatan sapuan warna begitu apik lewat cat minyak “Perahu-perahu di pantai” dan “Pemandangan di Tanah Lot”.
Kekuatan-kekuatan yang tersembunyi itulah yang meneguhkan, Henk Ngantung cocok karya senilukis dan sketsanya di angkat ke layar lebar. Ketokohan Henk Ngantung juga menarik dibuat sinetronnya. Kalau ini terjadi pastilah ada tontonan menarik. Banyak tokoh atau seniman yang kebangsawannya tercerabut. Sama halnya Raden Saleh belakang baru mata terbuka. Kesadaran untuk menghormati ketokohan dalam bidang senirupa memang terabaikan.