Di Korea

Perdukunan Berperan Penting dalam Perkembangan Peradaban

PERDUKUNAN di Korea meliputi berbagai keya­kinan adat dan praktik yang telah dipengaruhi oleh Buddhisme dan Taoisme. Di Korea pada masa sekarang ini, perdukunan berjalan dengan nama "muism and shaman mudang”.

Mudang, biasanya seorang wa­nita, berperan sebagai pendoa an­tara tuhan atau dewa dan manusia. Mereka yang ingin bantuan dari dunia roh meminta bantuan dukun Korea ini. Tugas dukun ini biasa­nya memohon keberuntungan un­tuk klien, menyembuhkan pe­nyakit de­ngan mengusir roh-roh jahat, atau mendamaikan desa.

Terkadang mereka juga mem­bantu memandu roh orang yang sudah meninggal ke surga. Se­orang mudang perempuan juga memiliki re­kan pria yang disebut paksu.

Dunia Shamanisme atau per­du­kunan di Korea telah memain­kan peran penting dalam perkem­ba­ngan peradaban Korea, mulai dari sejak kemunculan mitos Da­ngun pada tahun 2333 SM sampai hari ini.

Apabila peradaban utara Korea, berpusat di Manchuria, semen­tara peradaban Korea Se­latan, ber­pusat di Gyeongju, ke­duanya telah mem­bentuk dina­mika perdu­kunan. Uniknya, Shama­nis­me dianggap sebagai agama yang berbeda tetapi telah meresap ke da­lam kehidupan se­hari-hari ma­syarakatnya. Meski­pun berulang kali pemerintah Korea mencoba un­tuk memberantas aga­ma ini, te­tapi praktek perdu­ku­nan tetap tum­buh subur baik di Ko­rea Utara mau­pun Korea Selatan.

Pada zaman dahulu, mudang me­r­upakan pekerjana turun-te­mu­run. Para mudang biasanya mem­bentuk komunitas sendiri dan be­rasal dari status sosial yang ren­dah. Keluarga mereka jarang yang menikah dengan masyarakat dari kelas sosial yang lebih tinggi.

Putri para dukun tersebut, dapat menjadi mudang setelah mengikuti pelatihan yang tepat atau kisaeng, pelayan di rumah minum Korea. Anak-anak dukun secara turun-temurun biasanya juga menjadi penyanyi dari pansori yaitu musisi yang menyertai ritual perdukunan atau bagian dari tim opera.

Menyanyi

Ritual yang dilakukan para mu­dang selalu melibatkan kegiatan menyanyi dan menari yang diguna­kan untuk mengundang kebaha­giaan dan mengusir kejahatan.

Sebuah kut (bagian dari ritual mudang) biasanya terdiri dari 12 Kori (yang masing-masing dituju­kan kepada dewa tertentu seperti un­tuk dewa melahirkan, dewa pe­nen dan dewi properti, dewi me­ngendalikan penyakit tertentu, se­mangat pelindung dukun, atau pe­lindung dewa rumah tangga.

Sebelum kut dimulai, sebuah altar diatur di lantai dan persem­ba­han dibuat. Ketika ritual berlang­sung, mudang masuk ke alam dewa dan ketika dewa dikatakan tiba, ke­mudian mudang berkomunikasi dengan menyampaikan pesan dari atau ke klien (atas nama keluarga, desa, atau negara).

Pada masa lalu, upacara perdu­ku­­nan telah dimasukkan ke dalam ba­gian dari upacara pertanian, se­per­ti doa untuk panen yang berlim­pah. Dengan pergeseran dari perta­nian pada era Korea modern, seba­gian besar ritual ini telah ditinggal­kan.

Perdukunan Korea berusaha un­tuk memecahkan masalah ma­nusia melalui memohon bantuan dari roh-roh di jajaran dewa Korea. Du­kun melakukan upa­cara perdu­ku­nan untuk me­mohon manfaat dari bantuan spiritual, untuk berbagai alasan (misal­nya, pernikahan, kematian, pindah ke rumah baru). Seringkali seorang wanita akan enggan untuk kembali menjadi seorang mudang, setelah meng­alami penyakit fisik atau men­tal yang berat.

Pamor dukun besar di Korea Se­latan. Banyak pihak meminta jasa praktisi klenik tradisional yang disebut mudangitu, buat pelbagai macam kepentingan. Mereka bah­kan tampil di televisi dan kisah hidupnya dibikin film dokumenter.

Dukun terkenal Kim Keum-hwa be­berapa waktu lalu memimpin be­la­san ahli klenik mendoakan se­buah kapal di Pelabuhan Kota Incheon .

Marak

Menurut Kim selaku mudang senior, minat generasi muda pada ilmu perdukunan sedang marak kem­bali. "Banyak orang ingin be­lajar, atau setidaknya ingin tahu le­­bih banyak soal apa yang saya la­ku­kan," ujar Kim. Pernyataan Kim diamini oleh Hen­drikje Lange, warga Swiss yang jauh-jauh ke Korea Selatan hanya untuk belajar jadi mudang.

"Praktik spiritual ini sungguh-sungguh menghasilkan energi nyata," kata Lange.

Mudang adalah tradisi perdu­kunan yang mengakar pada sejarah Korea kuno. Mereka keba­nyakan perempuan yang dipercaya mampu berbicara dengan dewa melalui tarian dan nyanyian. Dukun Korea ini biasanya diminta memberkati bangunan baru, kapal hendak ber­layar, serta meramal.

Warga Korea Selatan selama beberapa dekade terakhir dikenal amat religius. Negara itu memiliki jumlah pemeluk Kristen nomor dua se-Asia. Para misionaris bahkan per­nah mengutuk para mudang se­bagai pemuja setan.

Pemerintah Negeri Ginseng itu juga pernah berusaha memberantas praktik mudang pada periode 1970-an. Alasannya, klenik menghambat modernisasi. Itu sebabnya, banyak mudang dipaksa berhenti dari pro­fesinya jika tidak ingin ditang­kap polisi.

Kini kondisi berubah. Politikus nasional banyak menghubungi para mudang buat berkonsultasi, de­mi­kian pula pebisnis. Bikin janji untuk bertemu dukun tak terlalu ter­kenal saja mulai susah.

Bahkan para mudang itu mulai rutin masuk televisi. Popularitas mereka menanjak berkat ta­yangan reality show serta film dokumenter seperti “YeongMae” karya sut­radara Park Gi-bok.

Sosiolog Shin Kwang-yeong dari Universitas Seoul menyatakan fe­nomena kembali maraknya per­dukunan di Korea Selatan terjadi ka­rena warga negara itu terbebani tekanan sehari-hari.

"Banyak warga merasa hidup semakin tidak pasti, mereka merasa perdukunan memberi ketenangan, jangan dilupakan pula peran televisi yang banyak memberi ruang mu­dang tampil di ruang publik," ujar Shin. (sdc/mc/ar)

()

Baca Juga

Rekomendasi