Oleh: Muhammad Ali, MLS
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) adalah warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri untuk jangka waktu tertentu. Namun istilah TKI selalu saja dikonotasikan dengan pekerja kasar bukan hanya tenaga kerja laki-laki tetapi ada juga Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang bekerja diberbagai bidang di luar negeri. TKI sering disebut dengan pahlawan devisa karena dalam setahun bisa menghasilkan triliunan rupiah, tetapi kenyataannya TKI sering teraniaya baik di luar negeri maupun negara sendiri. Negara besar seperti Indonesia dengan jumlah sekitar 17 ribu pulau terbentang dari Sabang sampai Merauke dari Miangas sampai ke Rote seharusnya bisa saja menata penduduknya dengan baik karena sistem administrasi negara sudah bagus dengan adanya aparat terendah mulai dari RT, RW, Kecamatan, dan seterusnya. Kalau setiap oknum ini menjalankan fungsinya masing-masing dan bekerja dengan baik maka masyarakat yang berada di lingkungannya akan merasa nyaman. Tetapi kenyataannya banyak kantor Desa buka jam 9.00 pagi tutup jam 13.00 siang jadi bagaimana rakyat bisa terlayani dengan baik dan bagaimana mereka bisa mengetahui keadaan rakyatnya yang menderita yang memerlukan pekerjaan. Walaupun saat ini khususnya di Sumatera Utara setiap kantor sampai ke desa akan diterapkan sistem aplikasi e-pelayanan tetapi kita tunggu bersama sampai kapan aplikasi ini berjalan kalau SDM yang disediakan masih bermental “e-money” tanpa uang pura-pura tidak tau persoalan.
Generasi muda kita sangat mendambakan tersedianya pabrik-pabrik yang dapat menampung mereka untuk bisa bekerja. Para orang tua khususnya yang berekonomi menengah kebawah tetap menginginkan anak mereka cepat mendapat pekerjaan untuk membantu perekonomian keluarga. Kemungkinan akibat sulit mendapatkan pekerjaan maka generasi produktif yang menganggur ini bergaul dengan bermaca-macam karakter manusia dan tidak sedikit yang terjerumus menjadi pecandu narkoba. Dari hasil penelitian yang dilakukan BNN dengan Puslitkes UI tahun 2015 pengguna narkoba mencapai 5,8 juta jiwa, jumlah ini sangat mengkhawatirkan dan diprediksi akan bertambah setiap tahun. Kecanduan narkotika ini melahirkan kejahatan remaja multi negatif effek yang sangat signifikan. Di Pilipina Presiden Rodrigo Duterte telah mengeksekusi mati sekitar 5 ribu orang warganya yang kecanduan narkotika dan pelaku kriminal, walaupun beliau ditentang berbagai kalangan tetapi dia melihat lebih banyak hal positif dari negatifnya menghabiskan pengacau.
Mengapa TKI berangkat illegal
Kalaulah ada pekerjaan di negara sendiri dapat diyakini mereka akan memilih bekerja di negara sendiri dari pada bekerja di luar negeri menjadi TKI. Para pencari kerja ke luar negeri ini selalu saja mendapat masalah baik ketika akan berangkat ataupun setelah berada di tempat kerja juga sekembalinya ke tanah air. Mengapa para TKI ini berangkat ilegal? Ini yang sangat penting, bukan saat mereka tenggelam di laut kita baru sibuk mencari mereka dengan menggunakan Tim SAR dan lain sebagainya. Secara akal sehat kalaulah pengurusan surat-surat sampai mendapatkan pasport tidak rumit dan tidak mahal, dirasa tidak mungkin TKI ingin pergi ke luar negeri secara ilegal karena mereka telah belajar dari pendahulu mereka yang berangkat ilegal selalu saja mendapat masalah di luar generi. Ini yang penulis maksud tentang fungsi Ketua RT/RW aparat terbawah pedesaaan harus proaktif untuk melihat keadaan warganya. Dengan sistem online sekarang ini telah bisa dipantau tentang kelengkapan surat-surat warga dan kondisi kehidupannya.
Sudah berapa kali TKI kita tenggelam di lautan karena mereka berjejal/ overload menumpang kapal agar bisa pergi bekerja ke luar negeri. Menyedihkan sangat menyedihkan sebagai bangsa besar seharusnya ini tidak terjadi. Mereka ke luar negeri hanya untuk mencari makan bukan untuk cari kaya. Mereka meninggalkan keluarga bahkan anak-anak kecil yang berusia sekolah demi masa depan si anak. Sedangkan negara sendiri penguasanya sibuk tak menentu dengan kegiatan yang ujung-ujungnya meningkatkan pendapatan pribadi. Sekedar membandingkan antara perlakuan oknum kita dan Pilipina dalam menghargai pahlawan devisa mereka. Pada saat menjelang hari Natal dan Tahun Baru banyak pahlawan devisa Pilipina pulang kampung datang dari UEA dan USA benar-benar disambut bak pahlawan. Mereka seolah dimanjakan saat tiba di Airport disambut dengan spanduk ucapan selamat datang pahlawan devisa dan mereka mendapatkan voucher untuk berbelanja bersama keluarga di Duty Free Airport selama satu minggu. Mereka sangat dihargai oleh pemerintahnya karena pemerintahnya sadar mereka membawa dolar dan akan belanja di negara sendiri. Ini penulis rasakan selama berada di Pilipina selama dua setengah tahun. Kebiasaan mereka belanja di negara sendiri karena pusat perbelanjaan memberikan discount untuk kebutuhan Natal dan Tahun Baru. Keadaan ini penulis ungkit hanya untuk membandingkan keperdulian kita pada pahlawan Devisa. Di negara kita TKI selalu dilecehkan oleh orang-orang tak bertanggung jawab. Baru saja mereka sampai di bandara mereka sudah mulai di peras sedangkan mereka bekerja di luar negeri istilahnya “banting tulang” untuk mendapatkan uang demi kehidupan keluarga.
Menurut data BPS Pebruari 2016 tingkat pengangguran terbuka kita mencapai 7,02 juta orang atau sekitar 5,5 persen dan jumlah ini akan terus meningkat karena meningkatnya angka lulusan perguruan tinggi dan sekolah. Para pencari kerja di Indonesia diharuskan mengurus Surat Bebas Narkoba, Surat Kesehatan dari Dokter, Surat Berkelakuan Baik dari Kepolisian, penulis menghitung secara kasar ini semua memerlukan biaya sekitar 500 ribu rupiah plus ribet. Kalaulah dalam pengurusan surat-surat ini gratis dan tidak rumit maka para pencari kerja akan senang berurusan. Mereka mencari pekerjaan karena mereka menganggur dan tidak punya uang, sedangkan dalam pengurusan surat mereka harus mengeluarkan uang yang besar maka ini terjadi dilema. Para pencari kerja harus berhutang kesana sini untuk mengurus surat sedangkan pekerjaan belum tentu diterima. Hal seperti ini menyebabkan banyak pekerja ilegal berangkat ke luar negeri dengan jalan pintas walaupun maut menghadang. Untuk itu tolonglah para penguasa meringankan beban para pencari kerja ini agar rakyat bisa mendapatkan kerja yang layak dan menjadi ‘tuan” di negaranya.
Dua lembaga besar yang menangani Tenaga kerja kita yaitu Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) dan ada juga Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) kami yakin lembaga-lembaga ini telah bekerja dengan baik untuk melindungi TKI kita. Kasus demi kasus selalu kita dengar tentang TKI kita di luar negeri maka untuk meminimalisir adalah berangkatlah ke luar negeri dengan jalur prosedural/ legal karena terdaftar secara resmi.
Di dalam negeri pelatihan produktif yang dilakukan oleh pemerintah, misalnya melatih keluarga TKI untuk membuat kerajinan, pertanian, koperasi simpan pinjam dan kegiatan lainnya yang memberi manfaat ekonomi bagi keluarga TKI. Selain itu juga memastikan agar keluarga TKI tetap sekolah, dan terawasi tumbuh kembangnya, termasuk melatih para suami untuk merawat anak jika istrinya menjadi TKI. Program ini akan bersinergi dengan program pemerintah lainnya. Misalnya, untuk melatih membuat kerajinan atau pertanian. Desa Migran Produktif (Desmigratif ) akan bersinergi dengan program one village one product milik Kementerian Desa. Sementara untuk pemasaran akan menyatu dengan program Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Untuk permodalan, selain menggunakan uang remitansi (transfer uang dari TKI ke Indonesia) TKI juga akan dibantu permodalan dari program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Untuk memastikan anak TKI sekolah, akan disinergikan dengan program Kartu Indonesia Pintar,” ujar Menteri Hanif. Kalau semua sistem berjalan dengan ditompang SDM yang mumpuni maka TKI kita di luar negeri akan tenang meningalkan keluarga di kampung halaman. Tetapi yang diragukan, program yang baik itu tidak berjalan karena oknum yang menjalankan kurang bertanggung jawab pada tugasnya.
Agar kita bisa menjadi pencipta lapangan kerja maka dimohon kepada para guru/ dosen untuk memberikan pendidikan tentang intrepreneurship kepada murid/ mahasiswa agar para lulusannya bisa menciptakan lapangan kerja bukan menjadi pencari kerja. ***
Penulis : Mantan Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Sumatera