KEHILANGAN /1/
Fachru Rozi
Beberapa malam terakhir, aku betul-betul tenggelam dalam tiap musim yang pecah di ke dua tangkup matamu
kau masih bisu padahal berkali ulang
aku sengaja mengeja doa-doa patah yang melulu bertengger di sela katup bibirmu yang pipih itu namun tetap saja pertemuan cuma lorong-lorong pengap yang buntu selalu!
Mahasiswa UMSU/Fokus UMSU
KEHILANGAN /2/
Fachru Rozi
Senja membungkuk. lampu-lampu taman teladan menyala satu-satu. semilir angin yang merambat di antara tubuh kita seakan berdesir membawa ingatan yang biasa kau sebut memorabilia-memorabilia berbau tengik dibungkus metafotra-metafora busuk. garis bibirku batu. kaku! aku, bangku dan ini-itu hanya waktu yang retak dalam kepalamu. alahai, di mana kau sembunyikan lekuk bibirmu yang teduh itu?
Mahasiswa UMSU/Fokus UMSU
KEHILANGAN /3/
Fachru Rozi
Kau hilang. meski kerap lenguh napasmu mengiang dalam liang telingaku
Mahasiswa UMSU/Fokus UMSU
RELAKANLAH KUPINANG BOLA MATAMU DARI JAUH
Fachru Rozi
Kepada perempuan yang tanpa alpa melaungi doa dalam kepala; Moradagiang. Sungguh, kali ini risau
mampir lebih laju melesap jantung
mengguguri kelopak mata di tubuh kasur, kelambu, dinding,-dinding
lantai, cermin, tingkap serta gagang pintu mabuk mencari-cari aroma tubuhmu
maka, relakanlah kupinang bolamatamu dari jauh sampai jarak menyetubuhi waktu
Mahasiswa UMSU/Fokus UMSU
D O A
Mawardah
Sepertinya pagi ini masih terlampau gigil pada basuhan wudhu di mukamu
kutingkapkan satu doa mengeja satu puisi yang kureguk di bahumu
pada kedua matamu kutemukan sepasang ketenangan sudi kiranya kau simpanan satu doa paling putih
di antara doa doamu
Medan, April 2017
PERTEMUAN MALAM
Mawardah
Hujan masih menggulung kisah
pada pertemuan malam yang basah
setelah penantian lama mengoyakan hati jadi luka, hingga terpasung dalam kemuraman malam yang tak ingin kuciptakan
Medan, April 2017
MEMBUTA
Mawardah
Kau berkuasa atas cinta atau dusta
yang kian dimabuk dalam kemewahan
membutalah semua mata yang hidup
menyarungkan kepalsuan
Medan, April 2017
RINDU DAN Doa
Mawardah
Kutatap hujan hingga reda ingat kisah yang menatap lama ada duka dan luka, yang tersimpuh dalam dada meski rindu tak jua berbalas hanya doa yang terangkai pada sosok ibu
Medan, April 2017
BUMI #1
Juandi Manullang
Sinar pagi dan panas terik menghiasi dirimu harapan dan impian terdapat di dalammu dirimu tempat berlindung di tengah gejolak amarah di tengah gejolak bencana mengancam bersahabat denganmu sungguh mengesankan memberikan awan permai di tengah kehidupan
Unika ST. Thomas, 2017
BUMI #2
Juandi Manullang
Bagaimana menenangkanmu di tengah gejolak ini banjir, longsor bentuk amarah tak pernah reda
tangisan dan jeritan meminta belas kasihanmu kematian dan kemiskinan terus mendera tiada henti
wahai bumi kasihani kami bagaikan semut kecil dirimu menginjak kami
hingga tak berdaya redalah amarahmu demi sebuah keselamatan
dan perdamaian
Unika ST. Thomas, 2017
TERPURUK #1
Juandi Manullang
Tongkat itu menghardik hingga terjatuh terpuruk dalam dunia kelam ini
jeritan tak ada didengar tangisan tak ada yang mengusap kemanakah harus pergi? bila semua menutup diri
Unika ST. Thomas, 2017
TERPURUK #2
Juandi Manullang
Orang selalu ceria dan diriku meratap
kebahagiaan itu tak pernah menghampiri malah menjauhi dan menghindari tak mampu untuk berkata karena bibir pun meratap sedih selalu menghantui memberi sebuah keterpurukan
Unika ST. Thomas, 2017
PENDULUM
Rifan Nazhif
Dikulum pendulum matamu yang membalun ke hulu-ke hilir aku bingung
ke mana tujuan semakin linglung
putuskan sekarang sebelum siap tarung
(2017)
PEDAL
Rifan Nazhif
Muasal dari segala tukang jagal berkulit pejal kepalanya dibuat dari otak bebal dan pedal dengan uang dikendarai ujung ajal siap-siap hidup dipintal sundal pada malam yang binal
mereka jual hal manusia gagal
(2017)
TAKUTNYA PENURUT
Rifan Nazhif
Aku kasut dari segenap kalut
biarkan takut menjalinku penurut
rela diparut usia semakin menyusut
bekerja sejengkal perut otak dihasut
beranilah melaut semua bertekuk lutut
(2017)
WAKTU TABIK
Rifan Nazhif
Sebelum aku menyisakan waktu koma
berilah kesempatan napas mengatur kalimat pabila titik menyaru tabik
tak ada kesempatan berburu jeda
semua akan berlalu tanpa pamit
(2017)
PEREMPUAN BERTUBUH PUISI /1/
Fitri R. Nasution
Ada apa dengan garis-garis di wajahmu
seperti sedang menjalin cerita
di bawah sinar lampu semprong
tua milik ayah kulihat matamu sedang membendung telaga dan perlahan-lahan pecah sudah lamat-lamat isak rindu berdendang sudahlah bu,
kau telah jadi puisi di tubuhku
Alumnus UMSU/FOKUS UMSU
PEREMPUAN BERTUBUH PUISI /2/
Fitri R. Nasution
Di luar sana, malam sedang menertawakan kita menyendakan kerinduan yang menyiksa
dan menebas harap yang hampir punah sudahlah bu, biarkan hasrat ini berlayar sudah dan tubuhku masih memuisikanmu
Alumnus UMSU/FOKUS UMSU
PEREMPUAN BERTUBUH PUISI /3/
Fitri R. Nasution
Bu,
aku masih mendengar isakanmu
lalu menerkam ingatanku yang lengah
sudahlah bu, rindu itu takkan pulang malam ini kita akan terus berlayar dalam angan, bu rindu ini seperti puisi di tubuhku
Alumnus UMSU/FOKUS UMSU
PEREMPUAN BERTUBUH PUISI /4/
Fitri R. Nasution
Malam ini, kamu masih terus menyaksikan potret tua yang tersidai di bilikmu menelusuri dari tiap-tiap sudut bingkainya mengusap-usap lembut pada kaca yang rengkah
lalu, dengan selimut merah tilas ayah
kau telusuri rindu yang menggebu
bu, akhirnya puisi telah melilit tubuhku
Alumnus UMSU/FOKUS UMSU
RAPUH
Yulia Tasnim
Pandanglah hati gersang sudah kini
kerontang tiada berperi luka semakin ngeri diredam tanpa mampu berhenti
sungguh beginikah rasanya getir
duhai semesta aku tergelincir
Bumi Kompensasi, 2017
MENGENANG, KAU
Yulia Tasnim
Pada genggaman yang mengalirkan kehangatan aku mengenang lagi di beranda bersama secangkir kopi
beberapa potong ingatan pun hujan pelengkap suasana mengenang adalah ritual rutin semacam ibadah dan kedekatan meminta kepada Tuhan
Bumi Kompensasi, 2017
LIHAT, AKU TUHAN
Yulia Tasnim
Lihat aku, Tuhan
sakit yang tiada penawar bisakah bertahan seperti ini amarah semakin berkelakar lihat aku, Tuhan
semestinya takdir tak begini
semacam ketakutan sulit bagiku melewati setiap kelukaan
Bumi Kompensasi, 2017
TENTANG DENDAM, ENGGAN DI REDAM
Yulia Tasnim
Waktu begitu kejam aku katakan
kerap mengingatkan perihal memikirkan tanpa dipikirkan sebatas memahami namun enggan memahami
sesungguhnya ini semacam pembiaran kita lakukan berulang-ulang
semoga aku tak lupa membaca
menata perasaan sendiri
Bumi Kompensasi, 2017
SEPOTONG APRIL /1
Aswita Magdalena Simarmata
Sepotong april yang kusimpan di rumahmu di malam yang kelabu menjelma biru dan pada tubuh awan yang pucat kusiangi satu kenangan teruntukmu kasih
SSSK, Senja April 2017
SEPOTONG APRIL /2
Aswita Magdalena Simarmata
Kutancapkan sepotong april di wajahmu ketika bulan masih bersembunyi di balik awan segenggam doa kutengadahkan di atas sepi barangkali sang angin bisa menuntunmu menyatukan sajak-sajak yang telah hilang
SSSK, Senja April 2017
SEPOTONG APRIL /3
Aswita Magdalena Simarmata
Ini bulan masih ranum dan cahaya bintang kilauannya terang benderang
di matamu kutemukan keteduhan
bersamaan dengan tenggelamnya cemburu
SSSK, Senja April 2017
SEPOTONG APRIL /4
Aswita Magdalena Simarmata
Sepotong april di tubuhmu menjelang malam yang semakin lengang
terteguk dua rindu pada keheningan
SSSK, Senja April 2017
SEPOTONG KENANG AEK GARONGGANG #1
Ade Irma Yanthi
Di tempat itu seribu mata menghapus air mata lewat renjis-renjis Aek Garonggang yang nyalang menembus pandang
Sasindo Unimed, 2017
SEPOTONG KENANG AEK GARONGGANG #2
Ade Irma Yanthi
Di tempat itu segala muskil lesap
tersesap air meruah
mendinginkan gelisah yang membakar
Sasindo Unimed, 2017
SEPOTONG KENANG AEK GARONGGANG #3
Ade Irma Yanthi
Di tempat itu aku titipkan seonggok kisah kepedihan di sebuah selasar
yang aku bawa dari kota yang kejam
Sasindo Unimed, 2017
SEPOTONG KENANG AEK GARONGGANG #4
Ade Irma Yanthi
Kini selaksa tenang yang ku curi
dari langit-langit Aek Garonggang
telah lesap terinjak riuh pisau kaki-kaki kota dan setangkup memorabilia Aek Garonggang hanya dapat kusimpan pada kertas-kertas yang lusuh
Sasindo Unimed, 2017
MENANTI MAUT
Mirna Alfiani
Ketika angin melepaskan dirinya
daun-daun jati gugur kemudian malam semakin pasrah sebab riwayat sudah di ujung kematian dan kini tubuhku hanya merindukan pelukan langit hingga tiba waktunya aku tak lagi berdaya sebab masa telah rebah di peristirahatan terakhir.
FKIP UMSU
SELAMAT TINGGAL
Mirna Alfiani
Ada cemas menyatu dalam nafas ketika kau mengucap selamat tinggal membuat hatiku terpenggal di pusara sajak-sajakku.
FKIP UMSU
KEKASIHKU
Mirna Alfiani
Di senja begini kutahu dia sedang mengulangi membaca surat yang aku poskan kemarin: apalagi menanti jadi mencekik bertambah ngeri hatiku jauh dari dia kekasihku, nantikan aku di pelabuhan sebab bisikan rindu dalam telingaku terus menuntun kepadamu.
FKIP UMSU
PUISI TERMANIS
Mirna Alfiani
Walau kau pernah menjadi kemarauku tahun lalu menggersangkan seluruh asa, dan pada akhirnya kau menjadi hujan yang menjatuhiku dengan mesra
kini semua mendadak lari seperti maling dikejar massa AR, terima kasih sudah menjadi sejuk di setiap puisi yang akan kulahirkan berikutnya.
FKIP UMSU