DUA sisi. Secara umum, dapat disimak dari dua sisi untuk judul di atas. Satu sisi, insan pers diharapkan menerapkan jurnalisme berbasis hak asasi manusia (HAM) dalam arti luas, bukan secara sempit. Secara sederhana bermakna, dalam peliputan dan/atau operasional pekerjaan jurnalistik, prilaku wartawan adalah senantiasa berpedoman pada kaidah-kaidah yang berlaku. Sejalan dengan itu, hasil peliputan kiranya juga disiarkan dengan memperhatikan sisi-sisi HAM. Dua hal tersebut menjadi bagian atas diri insan pers dalam penerapan jurnalisme berbasis HAM. Satu sisi lagi, atas diri publik. Di sini publik diminta bukan hanya untuk memonitor muatan media massa, apakah ada yang melanggar atau tak sesuai dengan penjabaran HAM. Tetapi publik diminta untuk tidak “terlibat” dalam pelanggaran sisi-sisi HAM.
Nah, prilaku insan pers yang seperti apa agar tidak melanggar HAM? Sebut saja saat insan pers meliput di lapangan dan/atau ingin menemui narasumber atau sumber berita yang dinilai kompeten. Sudahkah dipertimbangkan misalnya soal waktu untuk wawancara ? Pernah terjadi, wawancara dilakukan dengan “setengah” memaksa pada staf pejabat, padahal waktu (baca: jam) yang sangat tidak tepat, yakni sudah di atas jam 21.00. Itu jam istirahat. Contoh lain: Sejenak setelahmusibah terjadi, diwawancarai korban yang masih panik. Atau korban yang masih barusan dibaringkan perawat di ruangan pasien rumah sakit. Alasan untuk mengejar info yang paling aktual, hendaknya tak mengurangi sikap menghargai kondisi korban yang masih trauma.
Hasil liputan yang tergolong vulgar, sadis, anak usia di bawah umur, mereka yang cacat, kasus cabul atau asusila dan sebagainya. Itu semua bagian dari sisi-sisi hak asasi manusia. Jika liputan sudah disiarkan melalui media elektronik/online dan media cetak, ternyata dalam pemberitaan itu terdapat hal yang melanggar HAM, akan sangat sukar untuk memulihkan “perasaan” seseorang seperti semula. Tidak mudah menghapus sesuatu yang dipublikasikan, untuk menyatakan sebagai “tidak ada”. Media massa dengan sangat hati-hati patut memperhatikan apapun bentuk yang disiarkan untuk tetap bersikap adil atau sense of fairness. Artinya, ketidakberpihakan dalam arti sesungguhnya. Tidak dengan dalih, untuk akurasi berita, lantas foto sadis atau vulgar dimuat misalnya.
Benarkah sebagian insan pers kurang peduli atas sisi-sisi HAM? Anggapan sebagian publik terhadap pers semacam itu dapat dimengerti. Sebab publik mungkin masih menemukan yang disiarkan media massa, semacam “melupakan” sisi HAM. Sebut saja dalam kasus korupsi pejabat tenar. Masih ada yang mengambil foto atau menyebut nama istri dari koruptor itu. Sesungguhnya, tiada kaitan apapun dalam kasus korupsi itu. Sekali lagi, dalam kasus korupsi itu, tiada hubungan apapun. Kecuali, kedua figur itu adalah suami-istri. Ingat, itu di luar korupsi. Adakah kita peduli atas hal-hal semacam itu ? Padahal, bagi mereka yang diberitakan, sudah kesal dan sangat mengecam media yang tak peduli pada sisi HAM. Contoh serupa (maaf) dalam kasus perkosaan. Masih muncul, foto dengan nama lengkap wanita yang menjadi korban. Terbayangkah pada Anda, jika media cetak itu disimpan untuk sekian lama dengan wajah dan nama korban akan “runyam” sepanjang masa? Publik justru berharap, mestinya nama dan foto lelaki si-pelaku perkosaan supaya dimuat agar dia menjadi malu. Bukan sebaliknya.
Sesungguhnya, penerapan jurnalisme berbasis HAM ini sudah meluas diterapkan media massa mancanegara. Namun, masih ditemui media massa elektronik/online dan cetak yang sesekali mencuat dengan berita yang melanggar HAM. Lalu, seberapa jauh publik berada dalam kondisi serupa. Artinya, benarkah publik juga “terlibat” dalam pelanggaran HAM melalui sajian media massa? Inilah yang mungkin juga terlupakan atau pura-pura lupa atau “maaf, memang tak tahu”. Mereka yang tidak tergolong insan pers, tetapi menjadi penulis untuk media massa. Lalu dalam pemilihan kata/kalimat yang tidak semestinya apalagi memang “menyerang” pribadi seseorang hingga menggapai masalah pribadi. Tidak heran, jika kita menyaksikan pemberitaan adanya delik aduan atas pencemaran nama baik atau penghinaan.
Dalam menerapkan jurnalisme berbasis HAM, sebenarnya insan pers dan publik menjadi pihak yang patut peduli. Secara keilmuan, adalah wajar jika insan pers mendalami jurnalisme berbasis HAM. Dalam rubrik ini, tidak dapat diurai, karena terbatas kolom. Namun, secara sederhana dapat dikatakan, kalau peliputan dan penyiaran/ pemuatan/publikasi hasil liputan termasuk foto dan artikel tetap mengacu pada Kode Etik Jurnalistik (KEJ), diyakini itu bagian dari penerapan jurnalisme berbasis HAM.
Mari kita menumbuhkan sikap untuk selalu objektif atau sense of objectivity dalam pemberitaan. Bersamaan dengan hal penting melalui jurnalisme berbasis HAM adalah pemberitaan yang meningkatkan harkat dan martabat manusia seirama dengan butir-butir HAM. Jika ini terwujud dalam pemberitaan media massa, tentulah sebuah makna yang sangat mendalam, memberi arti yang luar biasa.
Pendidikan jurnalisme berbasis HAM menjadi satu pilihan utama untuk menyebarkan dan mempertebal pemahaman apa yang dimaksud dengan jurnalisme berbasis HAM sesungguhnya. Bukan garis besar
Atau kulit luar semata melainkan inti jurnalisme berbasis HAM tersebut. Pendidikan jurnalisme berbasis HAM itu telah menjadi bagian program Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).