Oleh: J Anto.
BERAWAL dari permainan saling tendang bulu bebek (appolo) yang dilakukan di beberapa taman atau tanah lapang, Kenchi atau shuttlecock, dalam sepuluh tahun belakangan berkembang cukup pesat di Medan. Sejumlah klub bermunculan, roda kompetisi bergulir. Kenchi, tak hanya sarana untuk menjaga kebugaran tubuh, tapi juga telah dipertandingkan secara internasional. Sayang, pemerintah belum 'tergoda' ikut cawe-cawe terhadap olahraga tradisional asal Tiongkok ini.
Awan hitam menggelayut di langit Kota Medan Rabu (26/4) malam. Semilir angin mengelus pori-pori kulit tubuh warga, setelah setengah hari diterpa terik matahari. Namun di salah satu lapangan yang dicat hijau berukuran 6,10 meter x 11,88 meter, jumlah lapangan itu ada tiga, kaos kuning bergaris putih hitam dari bahu hingga lengan yang dikenakan Willy Chandra Kurniawan, Andro Andi Selamat, M Fitra Barus, Setevent Laurent, Suyanto, Francisaco, Paul, dan Sanjaya Prathama sudah basah oleh keringat.
Di tengah lapangan, tubuh Fitra Barus tiba-tiba melenting ke udara dengan posisi badan membelakangi net. Kaki kanannya ditekuk, dan dengan ujung sepatunya ia melakukan gerakan naga terbang mematuk (flying dragon kick). Bola kok menukik tajam ke bawah ke lapangan musuh. Pada waktu lain, Andri melayang ke depan net dengan kaki kanan terangkat dan telapak sepatunya memukul bola kok yang melambung ke arahnya dengan gerakan bak ular tengah mematuk mangsa (snake kick).
“Sejak pukul tujuh, mereka sudah mulai berlatih, datang satu per satu setelah pulang kerja,” ujar Manajer Pelaksana Malaka Kenchi Klub, Mimie (42) ditemani suaminya, Hendra Kwek (59) yang juga pembina salah satu klub kenchi tertua di Medan itu. Malaka Kenchi Klub berdiri pada 2007, seusia dengan Thamrin Kenchi Klub.
Sembari menyeka keringat di kening, Willy (34) berujar, malam itu mereka memang tengah berlatih untuk menghadapi turnamen kenchi yang diadakan Persatuan Sepak Kenchi Indonesia (PSKI) pada 29 April – 1 Mei di Medan. PSKI adalah induk organisasi yang menaungi klub-klub kenchi yang ada di Medan, Jakarta, dan Padang.
"Saat ini kenchi baru tersebar di tiga provinsi, Sumut, DKI Jakarta, dan Sumatera Barat," ujar Wakil Ketua PSKI, Edy Tukimin (50) yang dijumpai Senin (24/4) pagi. Saat itu ia tengah berlatih di lapangan kenchi yang disewa Medan Kenchi Club (MKC) di komplek Vihara Gunung Timur, Jalan Hang Tuah, Medan. MKC adalah klub kenchi pendatang baru, usianya baru setahun, ketuanya Edy Tukimin sendiri.
"Sekalipun di Hang Tuah merupakan markas berlatih Medan Kenchi Club, tapi setiap pemain kenchi dari klub manapun bisa berlatih bersama di sini," katanya. Para pemain lintas klub itu membentuk komunitas, namanya Komunitas Kenchi Hang Tuah. Sebagian besar anggotanya adalah pemain kenchi veteran. Sebagai pengurus PSKI, Eddy berusaha memasilitasi setiap klub kenchi agar bisa memanfaatkan lapangan indoor.
"Soalnya belum banyak lapangan kenchi indoor. Turnamen internasional kenchi yang diadakan International Shuttlecocks Federation (ISF) selalu diadakan di lapangan indoor," tambahnya.
Bulu Angsa
Kenchi adalah olahraga tradisional Tiongkok yang menggunakan bola kok mirip kok bulu tangkis. Di negara kita, olahraga ini sering disebut sepak kenchi atau sepak bulu angsa. Kenchi dilafalkan jianzi (menendang kok) dalam dialek Hokkian.
Permainan ini berkembang sejak abad ke-5 masa Dinasti Han dan diyakini merupakan evolusi dari cuju, sebuah permainan yang mirip dengan sepakbola dengan menggunakan untaian benang yang ada di ujung panah para prajurit. Saat kedinginan menunggu perang, mereka memanfaatkan ujung untaian tali untuk dimainkan. Caranya dengan ditendang dari kaki ke kaki.
Banyak jenderal terkenal dalam sejarah Tiongkok menggunakan cuju untuk bersantai dan melatih pasukan mereka. Selama 1.000 tahun berikutnya, permainan ini tersebar luas ke berbagai negara dengan nama berbeda-beda. Di Vietnam disebut da cau, di Korea disebut jeigi-chagi, di Jepang dinamakan kemari, di India dinamakan poona.
Jiànzi kerap disebut-sebut 'nenek moyang' bulu tangkis dan sepak takraw. Permainan ini dilakukan pada lapangan dengan pembatas seperti net bulu tangkis. Pemain harus memainkan kok supaya tidak menyentuh tanah. Jika kok menyentuh tanah, akan menambah nilai lawan.
Tentu ada perbedaan antara jiànzi dan bulu tangkis. Bentuk kok bulu tangkis kerucut dengan bagian kepala bulat dan bulu melingkar, sedangkan kok jianzi berbentuk kepingan logam dengan bulu sedikit. Kini olahraga ini sudah umum dimainkan anak sekolah dan masyarakat di taman-taman kota di Tiongkok.
Jianzi pertama kali diperkenalkan di Eropa pada 1936. Pada 1999, sebuah organisasi internasional yang mengurus cabang olahraga ini dibentuk. Namanya International Shuttlecock Federation (ISF), sejak itu beberapa turnamen internadional mulai digelar. Bahkan pada Olimpiade Beijing 2008 dan SEA Games Laos 2009, walau masih sebatas eksibisi. Anggota ISF kini tercatat Tiongkok, Taiwan, Finlandia, Jerman, Belanda, Hungaria, Laos Vietnam, Yunani, Prancis, Rumania, Serbia, Indonesia, dan lain-lain.
Di Medan, kenchi semula lebih dikenal sebagai appolo. Permainan ini biasa diadakan di taman-taman kota atau tanah lapang yang ada di tengah komunitas Tionghoa. Semisal di Lapangan Merdeka, Ahmad Yani, lapangan Jalan Emas sebelum menjadi Yanglim Plaza atau di Medan Club. Para pemain appolo berasal dari warga lintas etnis, suku, dan agama.
Permainan ini biasa dilakukan pagi untuk menjaga kebugaran tubuh. Caranya sederhana, 10-15 orang berdiri dengan posisi melingkar. Mereka kemudian memainkan sebuah kok berbahan beberapa helai bulu angsa yang ditancapkan di kulit sintetis bulat. Panjang bulu angsa 10 -15 centimeter. Cara mainnya mirip sepak takraw.
"Setiap pemain bebas mengoper ke pemain lain, menjaga agar kok bisa terbang selama mungkin dan tidak jatuh," kata Edy Tukimin. Di Medan permainan ini sudah dikenal sejak era 1950-an.
“Yang mengenalkan Lao Sat Yao, Liaw Jin San, dan Lao Sat Kun," tutur Aguan (68) dan Farida Liw (77) di markas latihan Thamrin Kenchi Club, Selasa (25/4). Keduanya adalah veteran pemain kenchi yang kini menjadi pembina klub kenchi tertua di Medan itu.
Salah satu perkumpulan olahraga yang dianggap berjasa mengenalkan appolo adalah Wisma Persahabatan atau Li Cie Hui, sebuah klub olahraga tertua di Medan. Dalam perjalanan waktu, para penggemar olahraga ini mulai beralih ke kenchi yang dikembangkan pemerintah Tiongkok sebagai cabang olahraga prestasi sejak 1990-an.
Standar Internasional
Wakil Ketua Thamrin Kenchi Club, Edy Putra mengatakan, pengetahuan tentang kenchi dan aturan permainan sebagai olahraga prestasi diperoleh dari youtube atau pemain appolo yang memiliki hubungan dengan pebisnis di Tiongkok. Sejak 2007, saat beberapa komunitas kenchi mulai bertransformasi jadi klub kenchi di Medan. Mereka mengadopsi berbagai regulasi yang ada.
Bola (kok) yang digunakan misalnya memakai produksi Tiongkok. Selain bulu angsanya lebih pendek dari bulu appolo, beratnya juga standar, antara 13 – 15 gram. Lebar lapangan 16,1 meter dan 16,88 meter. Tinggi net 1, 5 meter untuk nomor push (tendang) dan free style (bebas) 1,6 meter. Pemain bisa single, double dan triple.
Menurut mantan Ketua Piramid Oke Gudang Garam (POG) yang juga bendahara PSKI, Darsin (61), sebelum tahu ada aturan internasional dari ISF, aturan permainan dibuat sendiri, bola juga buatan sendiri. “Pakai bulu bebek, pantatnya pakai spon digunting sampai bulat. Diikat pakai ring plastik. Beratnya sampai 20 gram, pemainnya sampai 5 orang," tuturnya tergelak.
“Tinggi net juga suka-suka hati,” tambah Jon (48), satu-satunya wasit kenchi Indonesia yang telah mengantongi sertifikat ISF dan pernah dipercaya memimpin pertandingan turnamen internasional yang diadakan ISF di Tiongkok. Karena bola buatan sendiri lebih berat, maka jatuhnya juga lebih cepat.
Perjuangan Panjang
“Saat ini di negara kita baru ada tujuh klub kenchi yang telah diakui sebagai anggota PSKI,” ujar Edy Tukimin. Ketujuh klub itu, Thamrin Kenchi Klub Medan Malaka Kenchi Klub, Medan, Red Star Kenchi Klub (Medan), Medan Kenchi Klub, Naga Mas Kenchi Klub (Medan), POG Kenchi Klub (Medan), Naga Mas Kenci Club (Padang), dan Pantai Indah Kapuk (PIK) Jianzi Club Jakarta.
Di luar yang bergabung di PSKI, tentu masih banyak kimunitas kenchi lain. PSKI memang tidak mewajibkan klub atau komunitas kenchi menjadi anggota PSKI.
Sebagai salah satu cabang olahraga prestasi, cabor kenchi di tanah air masih berusia muda. Kenchi belum merata dikenal masyarakat di 33 provinsi. Masih banyak konsolidisasi yang harus dilakukan PSKI bersama klub-klub yang ada. Selain persebaran tadi, minat anak menekuni olahraga ini juga minim.
"Anak-anak muda bilang, kenchi ini olahraganya acik-acik," ujar Mimie. Tentu ini pandangan keliru. Berkaca pada tim-tim tangguh dari Tiongkok atau Vietnam, mereka justru didominasi anak-anak muda. Maklum di nomor bebas, gerakan salto sembari melakukan smes, dan melompat sambil menyemes, hanya bisa dilakukan anak-anak muda yang energik. Masalahnya, tak banyak klub kenchi yang memiliki tim junior
Edy mengakui, keberadaan tim junior belum merata ada di setiap klub kenchi. Saat ini baru Malaka Kenchi Club dan Thamrin Kenchi Club yanga memiliki tim junior. Makanya Edy tengah mencari bibit-bibit muda. Ke depan, MKC serius ingin mengembangkan tim junior. Sementara untuk kejuaraan internasional, ISF hanya mempertandingkan gaya bebas, baik untuk pemain putra maupun putri.
"Orang-orang senior di atas 30 tahun biasanya hanya main push (tending). Nomor ini baru dipertandingkan untuk pertama kalinya di turnamen yang dibuat Tiongkok," katanya.
Thamrin Kenchi Club menurut Edy Putra saat ini memiliki 3 tim junior, 3 tim senior, 2 tim veteran, dan 1 tim perempuan. "Bisa dibilang, kami memiliki tim paling komplit."
PSKI sendiri sudah pernah mengirim kontingen kenchi Indonesia ke internasional yang diadakan ISF. Misalnya yang diadakan di Tiongkok, 2010. Kontingen Indonesia berasal dari pemain di Malaka Kenchi Club dan meraih peringkat ke-8 dari 11 negara peserta.
"Dari kejuaraan di Tiongkok, kami sadar selama ini cara main kami rupanya salah, dan disana kami minta petunjuk dari pemain Tiongkok dan Vietnan," tutur Willy yang sudah bermain untuk Malaka Kenchi Klub sejak 2008 itu. Lalu pada turnamen Asia yang diadakan 2016 lalu, tim Indonesia menduduki peringkat ke-6. Sedangkan untuk nomor push yang baru pertama kali diadakan, Indonesia menduduki peringkat ke-5.
Sebenarnya, ujar Mimie, hampir setiap tahun ISF mengundang ikut turnamen internasional. Namun keterbatasan dana membuat mereka selektif menerima undangan ISF. Sampai saat ini biaya masih jadi kendala. Setiap klub harus swadaya jika mengirim tim. Tak sedikit biaya harus dikeluarkan untuk tiket, biaya pendaftaran, dan kebutuhan lain selama di luar negeri.
"Beruntung klub kami memiliki donatur, namun karena itu kami tak ingin sembarang mengirim kontingen jika memang tak siap," tambahnya. Pada Juli 2017 ini rencananya Tim Kenchi Malaka akan berangkat mewakili PSKI dan Indonesia ke turnamen internasional di Hongkong.
"PSKI akan berpartisipasi meminta anggota klub lain untuk berdonasi secara sukarela, kekurangan sisa dana ditanggung donatur klub Malaka," ujar Eddy Tukimin.
Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul, begitu pepatah bijak berkata. Adakah Pemprov Sumut atau Pemko Medan ikutan mengamalkan pepatah bijak tersebut? Soalnya, jika kontingen Kenchi Indonesia berkibar di luar negeri, bukankah nama Indonesia, Sumut, dan Medan juga ikut terbawa-bawa?