MARADONA Sihombing itu Muslim? Mahasiswa Al Azhar?” Spontan Bunda Pipiet Senja terkaget-kaget. Agus merespon pertanyaan beliau dengan baik. “Ya, Bun. Dia muslim. Dia mahasiswa Al Azhar. Senior saya satu tahun.” Antara percaya dan tak percaya, kemudian beliau menuntaskan keraguannya, “Kok, bisa...? Dari marganya sih tidak mendukung. Tapi ya Bunda percaya dia muslim, kuliah di Al Azhar kok. Bunda gak nyangka aja, Gus!” Agus membalas dengan senyum simpul. (Hal. 63)
Sekilas cuplikan di halaman 63 ini kurang lebih menggambarkan isi novel ini. Latar belakangnya lebih tepatnya. Berawal dari kerapnya pemilik nama Maradona Sihombing ini dilekatkan dengan image sebagai pemeluk Kristen. Lebih-lebih ketika ia mengelarifikasi bahwa ia adalah seorang muslim, hampir bisa dikatakan tak satupun yang percaya pada mulanya. Kegelisahan dan “kelelahannya” akan pertanyaan orang-orang yang telah kadung melekat segala stereotipe tentang Batak sementara ia adalah sebuah “anomali” dari semua stereotipe tersebut.
Postur wajah yang khas Batak, didukung oleh nama Maradona yang tak ada islami-islaminya, lalu dilengkapi dengan marga yang umumnya dikenal masyarakat contoh-contohnya merupakan penganut kristiani, sebut saja Petra Sihombing, tentu orang akan tertegun ketika deretan nama itu diikuti dengan gelar L.C. dibelakangnya. Gelar yang disematkan pada jebolan kampus Islam paling keren di Bumi, Al Azhar.
Di banyak bagian buku ini, diceritakan bagaimana cara penulis menjelaskan dan meluruskan pemikiran orang-orang yang telanjur memiliki mindset-nya sendiri terhadap suku Batak. Meski kerap dicap sebagai Kristen, ia tak lantas naik darah, meski awalnya perasaan untuk itu memang terbersit. Ia memilih untuk menjadikan dirinya sebagai duta yang akan dengan senang hati menjelaskan dan meluruskan persepsi masyarakat yang penasaran terhadapnya meskipun berulang kali menemui pertanyaan-pertanyaan dan respon-respon yang sama.
Di buku ini juga diceritakan bagaimana perjalanan keluarga penulis yang ternyata memiliki sejarah muallaf. Tentang kakek buyutnya yang merahasiakan nama aslinya ntuk menjaga kemurnian imannya dan keturunannya. Selain itu juga diceritakan asal-muasal nama penulis hingga menjadi Maradona Sihombing yang tak ada bau Islaminya sama sekali, padahal saat itu ia dilahirkan di keluarga muslim yang taat dan di lingkungan yang juga mayoritas muslim.
Terdapat juga pemaparan tentang silsilah marga Batak pada bagian awal buku ini. Yang pada awalnya hanya ada satu yaitu Raja Batak, hingga marga Batak bisa sampai sebanyak sekarang. Diulas pula dengan rinci marga Batak Muslim dan marga Batak non-muslim.
Melalui buku Batak Juga Muslim ini, Maradona ingin menyampaikan bahwa tak semua Batak itu Kristen, tak semua nama yang tak islami lantas kafir, tak semua Sihombing lantas bukan muslim, tak semua Batak lantas keras dan kasar. Ada Batak yang halus budi pekertinya dan santun bahasanya. Bahwa latar belakang, ras, suku dan budaya tak melulu menggambarkan keyakinan seseseorang. Melalui buku ini pula penulis ingin mengajak para Batak Muslim lainnya untuk menjadi duta Batak Muslim yang menjaga kesantunan dalam berbicara dan beretika.
Meskipun demikian, buku cetakan pertama ini masih perlu kiranya direvisi dalam hal EYD yang lolos dari mata editor. Terdapat saltik pada kata-kata di banyak bagian buku ini. Ada baiknya juga untuk memperbaiki kualitas foto pada ilustrasi di dalam buku ini, terutama pada bagian bagan silsilah marga Batak, sehingga pembaca dapat lebih jelas melihat isi pada gambar.
Akhir kata, selamat membaca buku yang sarat makna dan budaya ini.
Peresensi: Pertiwi Soraya, Bergiat di FLP Medan dan Blogger Medan.