Bersastra dengan Jenaka

Oleh: Udji Kayang Aditya Supriyanto

HUMOR mengandaikan ra­nah dan situasi. Kita boleh se­pakat bahwa Dono, personil War­kop DKI yang paling “me­nonjol”, adalah bintangnya pang­gung komedi. Panggung termak­sud bisa di gedung teater atau la­yar perak. Dono cukup lihai mengocok perut kita dengan pe­sona anak desa. Logat yang me­dok, banyolan sederhana dan ten­tu saja lambe mrongos-nya.

Dengan diam pun, Dono sang­gup mengundang gelak tawa kita. Dia rela membiarkan diri­nya jadi objek olok-olok kedua per­sonil Warkop DKI yang lain: Kasino dan Indro. Barangkali memang begitu pembagian pe­ran di Warkop DKI. Dono jadi ujung tombak, lantaran dia yang paling “tajam”. Kasino berlaku se­bagai pengatur strategi komedi dan menjaga irama permainan. In­dro baru berperan penting di ma­sa-masa akhir Warkop DKI, sebagai pewaris sah yang dianu­ge­rahi usia panjang.

Kita sejenak mengabaikan Ka­sino yang mungkin lagi main gitar dan menyanyikan lagu The Beatles, Ticket to Ride, di akhirat sana. Kita abaikan pula Indro yang sedang bergembira menik­mati kesuksesan film Warkop DKI Reborn Part 1 (2016) di bioskop. Kita hanya menying­gung Dono, yang ternyata meng­alami kesulitan berhumor ketika dia menghadapi ranah dan situasi yang berbeda. Buku kumpulan cerita humor pertamanya, Bala­da Paijo (1987), terasa sukses di pa­saran. Sempat dicetak ulang, bahkan memunculkan “buku tan­dingan” berjudul Balada Pai­min (1987). Digarap pasangan gan­da campuran Adreas Hero dan Margaretha S. Saat memba­ca sendiri Balada Paijo, sungguh Dono tidak lucu-lucu amat dalam teks humor yang dia tulis.

Lain Dono, lain Gunawan Tri Atmo­djo. Ketika lagi mengisi ob­rolan atau dis­kusi, Gunawan tak terlalu lucu. Ekspresinya da­tar, tempo bicaranya lambat dan suka senyum-senyum sendiri. Ke­jenakaan Gunawan baru mun­cul dalam teks-teks yang dia tulis. Bukan hanya dalam cerita pen­dek­nya. Status Facebook yang dia edarkan setiap hari pun sering mengundang tawa. Dengan kata lain, humor Gunawan memang lebih kuat bila tertuang dalam teks. Kita bisa membuk­tikannya di buku kumpulan cerpen Sunda­ri Keranjingan Puisi (2015).

Kalau tidak puas dengan 17 cerpen Gunawan dalam buku terbitan Marjin Kiri itu, jangan khawatir. Tahun ini Gunawan me­nerbitkan buku kumpulan cer­pen yang berbahaya bagi kotak tertawa kita dengan judul Tuhan Tidak Makan Ikan (2016). Buku termaksud terbit dengan label Sastra Perjuangan. Aih, ternyata perjuangan butuh humor.

Jika menjelajah buku secara runtut, kita bakal disambut cer­pen pertama berjudul Cara Mati yang Tak Baik bagi Revolusi. Sebetulnya kisah ini sungguh se­derhana. Seorang kolonel yang ter­libat revolusi ditemukan me­ninggal di kamar mandi, gara-gara terpeleset ingusnya sendiri. Untuk sampai ke gong cerita, Gu­nawan merangkai situasi re­volusi dengan apik dan tentu saja jenaka.

Dua kalimat pertama dalam cerpen terasa amat revolusioner dan sloganistis: Revolusi tak bisa ditunda lagi. Revolusi adalah harga mati (2016: 30). Kita boleh berhenti sebentar, sembari mi­num vodka lalu berseru ‘proch­nost’ barangkali, untuk mengha­yati situasi revolusiner yang di­ha­dirkan. Sebab, segera setelah Gu­nawan memperkenalkan to­koh-tokohnya, kita merasa terbo­dohi. Nama Aduren, Segrob dan Zapoivatco rupanya pembalikan dari Neruda, Borges, dan Octavio Paz. Astaga!

Gunawan juga membawa bio­grafi dirinya dalam cerpen Ten­tang Prawiro Oetomo dan Pa­lon­then. Cerpen berkisah tentang seorang dosen sepuh dan nyen­trik di fakultas sastra yang berna­ma Prawiro Oetomo. Dosen yang konon satu-satunya profesor tea­ter di Indonesia itu hobi menyu­sahkan mahasiswa-maha­siswi­nya apabila mereka tak disiplin. Bila lupa mengumpulkan tugas dan sebagai­nya. Sangsinya pun aneh. Bagi mahasis­wa, harus mem­bantu mengangkati galon air mineral yang jadi bisnis sam­pingan Prawiro Oetomo. Maha­siswi mesti membereskan buku-buku di perpustakaan pribadinya. Selain soal palonthen (tempat pros­titusi) yang mengonstruksi ga­gasan utama cerita, cerpen ini juga menying­gung umpatan khas dosen tersebut: telek bebek.

Beberapa cerpen Gunawan di­tulis pada tahun 2015. Dia pun terpengaruh oleh isu yang marak beredar di tahun tersebut. Lesbi­an, gay, biseksual, trans­gen­der (LGBT). Cerpen yang mengisah tentang lesbian hadir dengan ju­dul Paloma. Di sana dikisahkan sepasang suami istri yang rumah tangganya hancur setelah si sua­mi mengetahui bahwa istrinya lesbian. Cerpen tentang gay di­tampilkan secara kolosal dengan judul Legenda Sepasang Pria.

Adegan ciuman LGBT pun di­hadirkan dalam cerpen Raha­sia: “Aku mengutuk diriku sen­diri yang telah mencium bibir se­pasang suami istri bedebah itu” (2016: 196). Kendati LGBT adalah isu yang seksi, tentu saja rawan. Gunawan cukup lihai me­milih perspektif dan merangkai si­tuasi cerita sehingga tak me­nying­gung pihak mana pun, baik yang pro-LGBT atau yang anti.

Strategi Gunawan dalam me­ra­cik humor yang mengocok pe­rut sebetulnya variatif. Pola nara­sinya sebagian besar mengadop­si model humor yang biasa dili­sankan dalam stand-up comedy.

Mulanya Gunawan mengatur situasi yang memungkinkan kita masuk ke sana. Setelah situasi ter­bentuk, kita dilempari beat-beat kecil. Beat-beat kecil itu antara lain: pemilihan nama-nama aneh/jenaka. Misalnya Sugih Seko Lair, Koko Peli, Ha Jingang, Pa Lonten, atau Fredy Surga Yang Tak Dirindukan. Pe­munculan frasa nyeleneh. Misal­nya seperti “kolektor kata-kata mu­tiara”, “rekapitulasi batin”, “ke­kasih ganas”, “kesepianku ma­kin senior” atau “mengelus da­da orang yang berada paling dekat dengannya”. Berbagai bumbu-bumbu humor lain.

Puncak humor Gunawan, se­ba­gaimana pertunjukan stand-up comedy, ada pada punchline yang biasa digunakan sebagai penutup. Bagian akhir cerpen Gu­nawan mengambil porsi pen­ting dalam konstruk­si cerita, ter­utama demi memunculkan kli­maks. Kadang Gunawan mela­ku­kan pergeseran subjek yang me­rupakan strategi humor kla­sik. Misal dalam cerpen Bukan Kawan dan Kalender, Undangan Nikah, dan Puisi. Kadang cukup memakai kalimat penutup yang mengesalkan. Misal dalam Sli­micinguk: “Dirinya merasa lu­mayan lega setelah memaki se­buah umpatan” atau dalam cer­pen Perjalanan ke Pacitan. “Ya Tuhan, ternyata Yuh Kariyem kelilipan tahi lalatnya sendiri.” Memang, tidak semua orang di­anugerahi Tuhan kejenakaan. Tiap-tiap mereka yang jenaka pas­ti punya ranahnya sendiri dan bagi Gunawan ranah itu adalah teks sastra.

()

Baca Juga

Rekomendasi