Menyoal Donasi Melalui Media Sosial

Oleh: Fadil Abidin

MANTAN supir truk mengum­pulkan sum­­bangan hingga Rp 1,2 miliar me­lalui me­dia so­sial. Kok bisa? Dari ber­profesi se­bagai su­pir truk, kini Budi Uto­mo atau Cak Budi kemudian dikenal se­ba­gai ak­tivis sosial. Melalui akun ins­tagram yang me­nampilkan foto-foto aktivitasnya me­nyan­tuni para orang tua lanjut usia (lan­sia) yang hidup miskin, mampu menarik per­hatian para warga dunia maya (neti­zen) untuk memberikan donasi.

Tak perlu waktu lama, Cak Budi pun ek­sis dan dan terkenal di dunia maya. Ia mu­lai diundang menjadi narasumber, di­wawancarai ba­nyak media, dan pernah tam­pil dalam acara Kick Andy di Me­troTV. Melalui acara tersebut Cak Budi ke­mudian dianjurkan menggalang donasi se­cara resmi lewat situs donasi online (crowd funding) terpopuler di Indonesia, Kitabisa.com, agar donasi yang diperoleh men­jadi transparan. Cak Budi pun se­makin banyak menerima donasi, yang hing­ga kini mencapai lebih dari Rp 1,2 miliar.

Aksi penggalangan dana (fundraising) di­lakukan Cak Budi bersama istrinya ke­mudian dirun­dung masalah. Ada pi­hak-pihak yang menyoal transparansi pe­nya­luran donasi tersebut. Pasalnya, uang donasi dari para donatur diduga disa­lah­gu­nakan Cak Budi untuk kepentingan pri­badi di antaranya dipakai untuk mem­beli mobil Toyota Fortuner dan smart­phone Apple iPhone 7.

Kitabisa.com kemudian mene­gas­kan bahwa Cak Budi dan istrinya tidak meng­gunakan hasil penggalangan dana dari rekening Kitabisa.com untuk mem­beli mobil dan smartphone. Tapi dana do­nasi tersebut diambil melalui rekening pribadi. Kasus ini pun menjadi ramai di dunia maya.

Cak Budi dalam klarifikasinya me­nya­takan bahwa pembelian kedua barang ter­sebut untuk keperluan operasio­nal dan do­ku­mentasi ketika menyalurkan donasi. Untuk mempertanggung jawabkannya, Cak Budi menga­takan akan menjual ke­dua barang tersebut dan menyerahkan sem­ua dana yang masih belum digunakan kepada lembaga amal berskala nasional ter­percaya, seperti Dompet Dhuafa atau Aksi Cepat Tanggap. Cak Budi mengata­kan akan melanjutkan kegiatan bakti so­sial tanpa melakukan pengumpulan do­nasi dari publik (Metrotvnews.com, 2/5/2017).

Kita berprasangka baik saja. Se­sung­guhnya niat Cak Budi hanya untuk kegia­tan amal dan berbagi kepada orang-orang yang memang benar-benar membu­tuh­kan. Hal ini telah dilakukannya selama ber­tahun-tahun dan tanpa pamrih. Ke­mungkinan Cak Budi kurang paham de­ngan azas transparansi soal donasi yang di­terimanya sehingga mengundang tanya dan kecurigaan bagi banyak pihak.

Bangsa Sosial

Bangsa Indonesia memang bang­sa yang mudah tersentuh hatinya dan sangat mudah untuk menolong sesama. Ketika ada bencana alam menimpa salah satu dae­rah, maka penggalangan donasi lang­sung dilakukan. Semua pihak ikut ber­partisipasi mengga­lang sumbangan, baik media televisi, media cetak, media online, sekolah, yayasan, kampus, ma­ha­siswa, hingga rekening atas nama pri­badi. 

Di dunia maya atau di media sosial, ke­rap pula dijumpai postingan foto atau vi­deo yang menarasikan bahwa orang ter­sebut membutuhkan donasi, baik ka­rena miskin, anak yatim piatu, sakit me­na­hun, terkena gusur, kece­lakaan, dan se­bagainya. Netizen pun kemudian ber­sim­pati dan langsung memberikan do­nasi.

Kita masih ingat kasus razia Ramadan ta­hun lalu yang menyebabkan sang pe­milik warung disita makanan jualannya oleh satuan polisi pamong praja (Satpol PP). Foto-foto wajah nenek yang me­me­las tersebut kemudian tersebar di dunia maya. Simpati pun berdatangan, lewat se­buah akun media sosial (medsos) ter­kumpul donasi yang jumlahnya ratusan juta rupiah.

Paling fenomenal tentu kasus Prita yang divonis denda karena dianggap men­cemarkan nama baik sebuah rumah sa­kit melalui media sosial. Padahal Prita ha­nya mengeluh soal pelayanan rumah sakit tersebut. Dan melalui medsos pula ka­sus ini menjadi riuh, dan timbul so­lidaritas dari netizen dengan “koin untuk Prita”. Donasi pun terkumpul melebihi jum­lah vonis denda tersebut, yang ke­ba­nyakan adalah uang logam. Kelebi­han do­nasi pun disum­bangkan ke lembaga-lem­baga sosial.

Setiap ada pembangunan rumah iba­dah, masyarakat juga punya cara yang sama untuk mengum­pulkan donasi. Ber­be­kal kotak di pinggir jalan atau bahkan di tengah jalan, memakai jaring ikan, me­minta keikhlasan para pengguna jalan un­tuk menyumbang. Tapi sekarang cara pe­ngumpulan sumbangan tersebut juga dilakukan melalui media sosial. Tentu saja dengan postingan foto rumah ibadah yang sedang dibangun atau dokumen lainnya agar meyakinkan para donatur.

Tapi niat baik tersebut selalu me­ngun­dang penipuan. Uang adalah akar kejaha­tan. Tak jarang pengumpulan donasi so­sial melalui medsos ternyata hanya pe­ni­puan belaka. Celakanya di dunia maya, banyak trik-trik bagaimana cara me­ngum­­­pul­kan donasi lewat medsos. Trik ba­gaimana mem­buat akun palsu, foto reka­ya­sa, narasi atau testimoni palsu, nomor-no­mor rekening untuk menghim­pun do­nasi juga disebarkan.

Kita pun sebagai netizen tidak tahu, apakah sebuah akun medsos benar-benar jujur atau bohong. Terkadang foto atau vi­deo yang ditampilkan begitu meya­kin­kan, ditambah lagi oleh narasi atau tes­timoni dari orang yang mengaku mem­bu­tuhkan bantuan tersebut. Apalagi ada keterangan jika akun tersebut telah di-like atau di-follow ribuan orang, dan donasi yang telah terkumpul sekian juta. Banyak netizen yang kemudian terkena jebakan “Betmen” ini. Uang pun masuk ke rekening pemilik akun, tanpa pernah ada transparansi penyalurannya. Inilah yang patut kita persoalkan.

Peraturan Hukum

Secara hukum, banyak pengum­pul sum­bangan yang ada di tengah masya­rakat tidak mengetahui ada aturan hu­kum yang mengatur soal ini. Yaitu dalam UU No 9 Tahun 1961 tentang Pengum­pulan Uang atau Barang (PUB). Keba­nya­kan, kegiatan PUB yang digelar ma­syarakat belum sesuai dengan UU. 

Di samping diatur oleh UU, PUB juga diatur dalam Peraturan Pemerintah No 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan dan Kepmen­sos RI No 56/HUK/1996 tentang Pelak­sanaan Pengumpulan Sumbangan oleh Masyarakat.

Pengumpulan sumbangan oleh ma­syarakat, hanya dapat dilak­sanakan oleh organisasi yang telah mendapat izin da­ri pejabat berwenang. Syaratnya, or­ga­nisasi harus punya akta notaris dan AD/ART, serta punya kepanitiaan. Un­tuk mengumpulkan sumbangan, terlebih dahulu harus mengantongi izin dari men­teri sosial apabila lingkup wilayahnya meliputi seluruh Indonesia.

Sebelum mengajukan izin ke Menteri Sosial (mensos), harus ada rekomendasi dari gubernur dan kepala dinas sosial (kadinsos) setempat. Apabila lingkup wilayah pengumpulan sumbangan ha­nya di dalam provinsi atau beberapa ka­bupaten/kota, tak perlu izin dari men­sos. Cukup izin gubernur dengan reko­mendasi kadinsos kabupaten/kota se­tem­pat. Dan bila lingkupnya cuma di satu kabupaten/kota saja, maka izinnya dimintakan kepada bupati/wali kota dengan rekomendasi kadinsos setempat.

Dalam memohon izin, harus memuat nama dan alamat organi­sasi pemohon, su­sunan keang­gotaan pengurus/kepani­tiaan, maksud dan  tujuan pelaksanaan PUB, jangka waktu pelaksanaan dan ca­ra penyelenggaraan, luas wilayah pe­nye­lenggaraan dan cara penyaluran sum­bangan yang telah dikumpulkan.

Pengumpulan sumbangan harus di­lak­sanakan secara terang-te­rangan de­ngan sukarela, tidak dengan paksaan, an­caman, kekerasan, atau cara-cara yang dapat menimbulkan kegelisahan di ma­syarakat.

Pertanyaannya, apakah akun-akun media sosial yang meminta donasi di dunia maya telah memenuhi persyaratan tersebut?

Selama ini pemberian donasi dari para netizen kepada akun-akun med­sos tersebut hanya bersifat pribadi, karena ikut simpati, ikut bersedih, soli­daritas, karena pengaruh keagamaan, ingin membantu, dan sebagainya. Me­reka tak pernah mempersoalkan masalah izin atau legalitas.

Jika terjadi tindak penipuan dengan memanfaatkan medsos, maka yang ber­laku adalah UU ITE. Karena hal ini ber­ka­itan dengan transaksi elektronik dan pemuatan informasi atau konten yang manipulatif untuk meng­himpun donasi.

Tapi seharusnya, siapa pun yang bermaksud meng­himpun donasi dari masyarakat, baik secara konvensional mau­pun melalui media sosial seharus­nya tetap patuh dengan peraturan hukum yang ada.

Pemerintah juga diminta agar tidak mempersulit izin penghim­punan donasi oleh masyarakat yang tujuannya me­mang mulia untuk membantu sesama. Terapkan juga sistem online untuk pen­daf­taran dan perizinan, demikian juga dengan transparansi penyalurannya ke­pada yang berhak.

Berikan tanda veri­fikasi resmi kepada situs online atau akun-akun media sosial yang memang telah mempunyai izin untuk menghim­pun donasi dari masya­rakat. ***

Penulis adalah pemerhati masalah sosial-kemasyarakatan.

()

Baca Juga

Rekomendasi