Oleh: Jekson Pardomuan
“Tidak ada yang mengajukan pengaduan dengan alasan benar, dan tidak ada yang menghakimi dengan alasan teguh; orang mengandalkan kesia-siaan dan mengucapkan dusta, orang mengandung bencana dan melahirkan kelaliman.” – Yesaya 59 : 4
TAK ada manusia yang sempurna di dunia ini, kita semua masih tetap belajar dan belajar dan tidak ada yang paling hebat dalam menjalani hidup. Kenapa? Yang menilai kehidupan kita apakah sudah sesuai dengan kehendak Tuhan atau tidak bukan kewenangan diri kita sendiri atau orang lain yang berani menghakimi saudara, teman dan sahabatnya.
Seperti yang sudah pernah ditulis sebelumnya, zaman sekarang sudah semakin jahat. Ketika kita berkata benar, banyak orang yang merasa dan langsung menghakimi bahwa kita telah berkata tidak benar. Demikian juga sebaliknya, ketika kita berkata tidak benar atau berbohong, malah orang lain merasa kita sedang berkata jujur. Sudah terbalik pemikiran manusia sekarang.
Baru-baru ini, kata yang semakin populer adalah kata persekusi dan membuat heboh negeri ini. Persekusi adalah kurang lebih sama dengan menghakimi orang lain tanpa pernah mempertimbangkan dampaknya. Di era serba teknologi canggih sekarang, kita harus bijak dalam menanggapi sesuatu hal, dan harus hati-hati dalam membuat status di media sosial. Salah dalam membuat status bisa berakibat fatal bagi diri kita sendiri, apalagi menghakimi orang lain lewat dunia maya.
Firman Tuhan dalam Matius 7 : 1 – 2 menuliskan “Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu.”
Ayat ini mengingatkan kita agar tidak menghakimi, karena yang berhak menghakimi hanya Tuhan Yesus. Sayangnya, banyak manusia yang merasa kecewa dengan keadaan dirinya yang sedang mengalami kesusahan, masalah keuangan dan permaslahan lainnya membuat seseorang mudah tersulut emosinya dan langsung melampiaskannnya kepada orang lain. Seperti kata pepatah, semut dimata orang lain kelihatan tapi gajah dipelupuk mata sendiri tidak kelihatan.
Kata “jangan menghakimi” juga bukan hal asing di telinga kita. Saya yakin kebanyakan orang kristen pasti pernah mendengarnya, bahkan banyak yang hafal ayatnya. Berdasarkan ayat Matius 7:1-2 ini, maka banyak orang Kristen yang hanya bisa bungkam ketika melihat suatu kesalahan diantara saudara seimannya apalagi kalau yang salah itu adalah seorang “hamba Tuhan” ditambah seorang “hamba Tuhan yang diurapi” atau “hamba Tuhan yang punya kuasa” atau “hamba Tuhan yang dipakai Tuhan dengan luar biasa”.
“Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi.” Menghakimi merupakan suatu kewenangan, kewenangan dari penguasa. Seorang hakim akan bertindak sebagai orang yang memiliki kewenangan atas diri Anda. Jika Anda berbuat salah, pemerintah akan memanggil Anda, atau menyeret Anda ke pengadilan, atau jika ada dua orang yang berselisih, mereka membawa persoalan tersebut kepada pihak yang memiliki kewenangan yang lebih tinggi. Hakim merupakan perwujudan dari pihak yang memiliki kewenangan yang lebih tinggi. Jadi pada saat Tuhan Yesus berkata, “Jangan menghakimi”, yang Ia maksudkan adalah, setiap orang dari antara kita tidak boleh menempatkan diri di atas orang lain. Ini adalah persoalan yang sangat mendasar di dalam hubungan sesama manusia, setiap orang ingin menganggap bahwa dirinya sendiri lebih baik dari orang lain dan dengan demikian merasa berhak untuk menghakimi orang lain.
Contohnya, jika Anda berkata bahwa seseorang itu sombong, Anda secara tidak langsung sedang berkata bahwa Anda tidak sombong dan Anda berada di dalam posisi mengumumkan seseorang yang lain sebagai sombong. Jika Anda menyatakan seseorang itu sebagai salah, Anda sesungguhnya sedang berkata bahwa Anda lebih baik dari dia karena ia tidak tahu apa yang salah tapi Anda tahu apa yang salah. Alkitab mengajarkan kepada kita bahwa sikap yang sedemikian di antara orang Kristen merupakan sumber masalah di dalam gereja. Di sini Tuhan Yesus sedang menangani suatu sikap. Sikap merasa lebih unggul dari orang lain.
Alkitab mengajarkan bahwa kita harus belajar untuk saling merendahkan diri antara satu dengan yang lainnya, tunduk terhadap satu dengan lain, bukannya berlaku seperti orang penting di hadapan yang lainnya. Itu sebabnya di dalam Yohanes 13, Tuhan Yesus membasuh kaki murid-muridNya dan mengatakan bahwa apa yang sudah Ia lakukan atas mereka harus mereka lakukan pula terhadap orang lain. Membasuh kaki orang lain berarti menjadi budak orang itu karena hal itu adalah pekerjaan yang dilakukan oleh seorang budak bagi tuannya; membasuh kaki majikannya.
Di dalam Filipi 2:3 dan Efesus 5:21 sekaligus, Paulus berkata “Rendahkanlah dirimu seorang akan yang lain”. Jangan malah berusaha untuk menjadi tuan atas orang lain, jadilah hamba bagi orang lain. Untuk tujuan itulah kita dipanggil olehNya.
Hal menghakimi juga bisa dilakukan lewat perkataan kita kepada orang lain, atau menuduh orang lain melakukan hal yang sesungguhnya tidak ia lakukan. Jika dicermati dengan seksama kedua ayat ini, sangat jelas mengajarkan untuk harus menghakimi tetapi tidak menghakim dengan munafik. Oleh karena itu jika harus menghakimi, jangan dilakukan dengan sembarangan. Ia harus mamastikan dirinya bersih dan tidak munafik dan ia harus menghakimi dalam arti positif dan bukan negatif, jika tidak demikian, “kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan dikurkan kepadamu.”
Oleh karena itu, selidikilah setiap pikiran, tindakan dan perkataan agar tidak dihakimi. Ini tidak berarti kita harus sempurna dan tanpa dosa terlebih dahulu. Jika demikian, tidak ada yang bisa mengambil keputusan. Itulah sebabnya Yesus memberikan suatu ilustrasi memperjelas maksud perkataanNya, “Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui? Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu. Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu” (Matius 7:3-5).
Bukankah lebih baik kita mengampuni orang lain dengan sungguh-sungguh tanpa pernah memandang latar belakang. Ketika ada orang lain melakukan kesalahan terhadap kita dan kita segera menegurnya dengan positif. Yang terpenting dalam hal ini kita juga mengampuni orang tersebut agar merasa tenang dan tidak membawa pulang perasaan bersalah. Amin.