Jepang Atasi Jam Kerja Tak Produktif

Tokio, (Analisa). Perusahaan-perusahaan di Jepang mulai mengurangi jam kerja tanpa akhir di kantor-kantor, namun gaji terus menuju arah yang salah. Berita bagusnya, pertama-tama, Jepang akhirnya mulai bergulat dengan problema endemis jam kerja yang panjang dan tidak produktif.

Perusahaan-perusahaan Jepang ter­kenal karena memaksa karyawan me­reka bekerja lembur tanpa  bayaran hing­ga larut malam. Karyawan kha­watir, kalau pulang lebih cepat, mereka tidak akan dipromosikan dan akan di­asingkan oleh rekan-rekan me­reka. Pe­ru­sahaan enggan mengizinkan kar­ya­wan membawa pekerjaan mereka pu­lang. Akibatnya, di banyak keluarga Je­pang, sudah umum sejak lama bagi  para pria untuk tidak melihat keluarga  mereka di malam hari hingga sepekan dan kini karena para wanita Jepang juga sudah memasuki angkatan kerja dalam jumlah besar, ketegangan se­lama berjam-jam yang panjang di da­lam kehidupan keluar menjadi semakin buruk.

Yang lebih buruk lagi, jam kerja yang panjang itu malah memperburuk pro­duktivitas riset menunjukkan bah­wa sekitar 60 jam sepekan lebih banyak be­kerja malah tidak menghasilkan le­bih banyak pekerjaan. Jam kerja tam­bahan seperti itu membuat lelah fisik dan mental, hingga jam kerja lainnya setiap hari menjadi kurang produktif. Je­pang mengalami masalah besar di da­lam produktivitas dengan output per jam kerja hanya sekitar 60% tingkat output AS yang oleh karenanya, meng­hapuskan kerja lembur menjadi prioritas penting.

Sayangnya, pemerintah dan peru­sahaan-perusahaan besar mengatasi ma­salah itu dengan campuran kebija­kan dan norma-norma baru tempat be­kerja. Sejumlah perusahaan mengizin­kan karyawan untuk lebih banyak be­kerja di rumah, sementara yang lainnya me­nutup kantor pada waktu-waktu ter­tentu. Kantor-kantor pemerintah mela­kukan hal yang sama, dan para pemim­pin mengambil sejumlah langkah simbolis untuk memasyarakatkan ke­se­imbangan kehidupan kerja.

Sementara itu, perusahaan-peru­sa­haan yang menerapkan kerja lembur tan­pa bayaran dan malah meng­eks­ploitir karyawan mereka, kini sering difitnah. Dampak jangka panjang dari usaha ini sukar diketahui, terutama karena kerja lembur tanpa bayaran bia­sanya sulit diukur. Akan tetapi ma­sa­lah itu ternyata dapat diketahui dan diatasi, dan hal itu adalah sesuatu yang sangat baik untuk Jepang. 

Tapi ada berita buruk tentang pasar perburuhan Jepang. Ekses jam kerja mungkin sudah berkurang, namun gaji tidak naik-naik. Melihat data makro, se­­baiknya menaikkan gaji sebagai­mana yang dilakukan AS. Tingkat pe­ng­angguran Jepang sudah turun hingga mencapai level rendah dua-tahun 2,8%.

Rekor

Dan tingkat partisipasi angkatan perburuhan sudah bertambah, yang menyebabkan rasio pekerja usia-prima terhadap populasi mencapai rekornya yang tinggi. Kurangnya permintaan di negara itu sudah berakhir, bahkan ke­tika banyaknya jumlah wanita yang memasuki angkatan kerja.

Karena pasar perburuhan yang ketat, itu menjadi misteri mengapa pendapa­tan rumah-tangga bagi pekerja tidak naik.

Yang menarik, sejumlah pihak dari bank sentral, Bank of Japan (BoJ) ber­teo­ri bahwa pengurangan kerja lem­bur sebenarnya menyebabkan stagnasi gaji. Para pekerja Jepang yang terlibat kerja lembur berdalih bahwa pengu­ra­ngan kelebihan jam kerja mestinya bisa membuat mereka berproduksi le­bih-kurang sama dengan jumlah pe­ker­jaan setiap bulan. Itu berarti turun­nya tingkat pengangguran mestinya masih bisa menggunakan tekanan ke atas untuk gaji. 

Itu bisa jadi karena Jepang mem­pe­kerjakan buruh yang sedikit sekali bisa didapat di saat-saat terakhir di negara itu, jumlah produktivitas jadi ber­ku­rang, karena para pekerja terakhir yang dipekerjakan juga cenderung sangat tidak produktif.

Mereka cenderung ku­rang penga­la­man, dan barangkali krak­teristik lain­nya yang membuat mereka sulit men­dapat pekerjaan sebelumnya. Karena para pekerja ini tidak bisa menuntut gaji sebesar gaji para pekerja yang su­dah lama bekerja, ini akan membuat ga­ji tetap rendah.

Ini juga bisa karena Jepang meng­alami penurunan di dalam peran buruh terhadap pendapatan nasional. AS sudah mengalami hal ini paling tidak sejak peralihan abad, dan banyak teori ten­tang penyebabnya misalnya glo­balisasi, otomatisasi, meningkatnya kon­sentrasi pasar dan naiknya harga ta­nah. Sebegitu jauh, para ekonom be­lum bisa memecahkan misteri ini.

Namun keseluruhan empat faktor ini bisa saja terjadi di Jepang. Oleh ka­­re­nanya, apapun yang sudah me­mang­kas peran buruh di dalam pemba­gian kue ekonomi kemungkinan juga menyebab­kan tingkat gaji Jepang tetap flat.

Oleh sebab itu, ketika stagnasi gaji menjadi keprihatinan, boleh jadi itu bukan disebabkan pengurangan di da­lam jam kerja yang berlebihan. Jepang sebaiknya jangan melenceng dari arah jalannya dengan mening­kat­kan pro­duktivitas buruh dan mem­berikan ke­pada para pekerja kehidupan mereka kem­bali harus tetap menjadi fokus ke­bijakan. (Blmbrg/sy.a)

()

Baca Juga

Rekomendasi