Oleh: J Anto
KEBUDAYAAN Melayu adalah kebudayaan hibrid. Kebudayaan yang terbentuk karena perjumpaan berbagai bangsa yang singgah di kepulauan yang terletak di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan. Tak heran jika musik Melayu yang diciptakan para pegiat kesenian pun, mengalami proses akulturasi dengan budaya bangsa Arab dan Tiongkok. Kita lalu mengenal lagu Mak Inang Cina atau lagu Melayu bernuansa irama padang pasir.
Orang Cina naik perahu/Sambil berdayung berdendang sayang/sungguh pandai hatiku merayu/membuat daku mabuk kepayang// Patah pukat di laut Cina/Buat menangkap ikan tenggiri/Daripada daku merana/Biarkan daku seorang diri// Kalau dapat ikan tenggiri/Bawalah pulang seekor jua/Daripada menyesal nanti/Baiklah kita berpisah saja….
Walau tak tuntas menyanyikan syair lagu klasik Mak Inang Cina, namun nada suara Nurdin Wahyudi (40) saat menyanyikan syair diiringi bunyi nada yang keluar dari tarikan akordeon bernuansa musik oriental.
"Umumnya pantun anonim yang dijadikan lagu Melayu memang berkisah tentang cinta. Pantun Mak Inang Cina membuktikan bahwa sejak dulu telah terjalin hubungan yang harmonis antara bangsa Cina dengan bangsa Melayu," ujar Nurdin Wahyudi saat ditemui di rumahnya, di Vila Permata Indah, Patumbak, Rabu (31/5). Rumah itu sekaligus merangkap sanggar tempat mereka berlatih dan menguji bakat calon pemusik yang ingin bergabung dalam manajemen yang dipimpinnya.
Nurdin adalah pendiri sekaligus manajer Orkes Melayu Al Auliya Rentak Melayu. Ada 4 grup musik yang kini bernaung di bawah manajemennya. Jadwal manggungnya tergolong padat. Sampai Oktober ini sudah penuh, satu bulan 4 grup orkes Melayu yang dibinanya bisa manggung 12 - 14 kali.
Pihak yang memesan tak hanya berasal dari kitaran Medan dan kota-kota lain di Sumatera Utara, tapi juga dari Aceh Singkil, Nagan Raya, bahkan dari negri jiran, Malaysia. Kini grup musik itu diperkuat vokalis Rabiatul Adawiyah, juara I putri Festival Nasyid Sumatera Utara 2008. Lalu ada Subuh Syafii Tambunan (vokalis), Taufik (vokalis dan gendang pakpung), Putri Rizkya Nina (vokalis), Ridho Fahrezy (arkodionis), dan . Jamil (Violis).
Ketertarikan Nurdin terhadap musik Melayu, tidak semata karena ia orang Melayu. Tapi lebih didorong hasrat atau niat untuk melestarikan dan mengembangkan musik Melayu yang telah dirintis para seniman musik generasi sebelumnya.
Musik Melayu sebelum ada biola dan akordeon, menurutnya berawal senandung yang biasa dilakukan orangtua saat mengayun-ayunkan anak. Saat bersenandung biasanya diiringi pukulan gendang pak pung. Syair pantun yang didendangkan berisi nasehat terhadap anak, atau berupa syair cinta. Tradisi senandung sampai saat ini masih terjaga, menurut Nurdin, di Tanjung Balai bahkan rutin dilombakan setiap tahun.
Senandung iramanya lambat, tung tak-tung tak. Sesudah senandung ada langgam yang iramanya sedikit lebih cepat. Sesudah itu ada langgam, yang ritmenya lebih cepat lagi. Setelah itu ada mak inang. "Mak inang paling populer karena di situ ada joged, iramanya juga cepat," tutur Nurdin.
Silang Budaya
Jika pada senandung awalnya hanya diiringi gendang pak pung, dalam perjalanan waktu akibat perjumpaan dengan budaya atau kesenian musik bangsa lain, masyarakat Melayu akhirnya banyak mendapat pengaruh budaya bangsa-bangsa lain seperti Cina, Siam, Arab, India, Persia, dan Portugis. Begitupun dalam ihwal music, proses akulturasi musikal menjadi hal yang tak terhindarkan.
Bangsa Arab, misalnya mengenalkan alat musik gambus serta tangga nada arabes (maqam). Di tangan orang Melayu, kehadirannya dikreasikan menjadi zapin, hadrah, marhaban, serta qasidah. Tangan dingin Ahmad Baqi berhasil meleburkan dua elemen musik ini (Arab dan Melayu). Menjadi bentuk komposisi baru. Komponis asal Sumatera Utara ini kemudian mendapat gelar doctor honoris causa.
Berkat karya-karya musik ‘Irama Melayu Padang Pasir’ yang dia ciptakan (Ifwanul Hakim, Analisa, 2016). Ahmad Baqi telah merekam kurang lebih 10 album pantun Melayu yang dinyanyikan dengan musik bernuansa irama padang pasir. Semuanya dalam bentuk piringan hitam, direkam sejak 1960-an di sebuah perusahaan rekaman Malaysia. Sedangkan bangsa Portugis mengenalkan akordeon dan biola. Kedua instrumen musik tersebut menjadi ansambel musik Melayu hingga hari ini.
Namun di tangan pemusik Melayu, akordeon tidak lagi bernuansa polka, biola juga tiada bernada sonata. Dia justru mengalun dalam cengkok dan grenek, bergaya Melayu. Kehadiran akordeon dan biola membuat seniman Melayu menciptakan komposisi musik dalam ensembel baru. Baik dalam bentuk musik tarian maupun format lagu.
Di Deli dan Serdang banyak tercipta musik tarian. Mak Inang Pulau Kampai, Mak Inang Kayangan dan Tanjung Katung. Paling dikenal ialah Lagu Dua Pulau Sari atau Serampang XII. Ensambel musik Melayu kini akhirnya dihasilkan dari alat musik gendang pak pung, biola, dan arkodeon.
Merasuk Hati
Pada 10 Februari 2002 saat membentuk Orkes Melayu Al Auliya Rentak Melayu bersama Rabiatul Adawiyah, pacarnya, kini sudah memberinya 2 orang buah hati, Nurdin merasa galau melihat fenomena makin terkikisnya minat anak muda terhadap musik Melayu. Saat itu, sekitar 1990-an, di Sumatera Utara merebak tontonan yang populer disebut 'keyboard bongkar'.
Sebuah pertunjukan musik dangdut dengan menggunakan keyboard. Si penyanyi biasanya perempuan. Anak-anak muda berjubel memadati lokasi pertunjukkan. Umumnya bukan karena ingin mendengar suara merdu si penyanyi, tapi menunggu aksi goyang penyanyi yang makin malam disertai atraksi bongkar-bongkar itu.
"Al Auliya Rentak Melayu coba memberi alternatif pertunjukkan musik Melayu yang kental dengan nilai ketimuran agar masyarakat punya pilihan lain," ujar lulusan FISIP Komunikasi Jurusan Humas, UISU 2004 itu.
Sejak mahasiswa pada 1999, ia bergabung dengan orkes Melayu besar waktu itu. Namanya Orkes Melayu Asyabab pimpinan almrhum Zulfan Efendi Lubis, cukup terkenal. Beberapa pemainnya telah membuat rekaman. Nurdin waktu itu sebagai pemain keyboard. Ia memutuskan keluar dari Asyabab, lalu 4 tahun kemudian membuat grup orkes sendiri.
Sejak awal ia terobsesi untuk menghadirkan sebuah orkes Melayu yang bisa merasuk hati dan jiwa penontonnya. Untuk mewujudkan obsesinya, ia memiliki prinsip, grup musik itu harus mampu menampilkan tontonan musik yang menarik.
Vokal penyanyi harus bagus atau merdu. Atraksi panggung enak dipandang mata. Termasuk kostum yang dikenakan para pemain tidak boleh sembarangan, tapi harus seragam.
Musik juga tidak boleh monoton. Dalam arti jika di antara penonton ada orang Batak, Karo, Jawa, Tionghoa, dan etrnis lain non-Melayu, penyanyi harus bisa membawakan lagu mereka sekalipun dalam nuansa musik Melayu. Pantun juga harus kocak, jenaka, tidak boleh menyinggung perasaan.
Gestur penyanyi dan tata rias juga harus ramah terhadap penonton. Tidak boleh membangun kesan sombong. Satu lagi, para pemain orkes juga terdiri atas anak-anak muda. Lebih lagi berparas elok.
“Kita ingin anak-anak muda juga mau mendengar musik Melayu. Selama ini ‘kan orkes Melayu hanya digemari orang-orang tua,” ujar ayah dari Auliya Mumtazul Fata dan Najiha Balqis itu. Namun begitu lagu-lagu pop Melayu lama tetap dibawakan untuk memelihara segmen penonton dari generasi tua.
Dengan resep seperti itu, Al Auliya Rentak Melayu banyak menangguk order. Tak hanya untuk memeriahkam momen perkawinan, tapi juga momen lain seperti launching produk sebuah perusahaan.
Musik Multietnik
Tentu saja, awalnya ia harus jatuh-bangun membangun grup musik sesuai obsesinya itu. Untuk seragam pemain, saat belum mampu, ia pernah menyewa dari sebuah sanggar. Karena bisa sampai 12 set, honor main terkuras untuk sewa seragam. Dampaknya honor pemain pun belum memadai. Untung semua pemain bisa maklum.
“Bahkan perhiasan isteri saya sempat saya jual untuk modal buat baju seragam,” tuturnya. Tapi semua cerita pahit itu kini tinggal kenangan. Jika awalnya mengangkat lagu-lagu Arab bernuansa musik Melayu, dalam perkembangannya, Al Auliya Rentak Melayu kini bermusik multietnik.
"Selain karena tuntutan pasar, pada hakikatnya musik Melayu memang bersifat terbuka. Akulturasi sudah dilakukan para pemusik ratusan tahun lalu, karena itu saya juga membuka diri terhadap lagu dari etnis lain," tuturnya. Itu sesuai semboyan grup orkes melayu ini, “Menabur Tuah di Negeri Beradat, Semua Suku Jadi Sahabat”.
Dengan konsep musik multietnik, mereka kini fasih menembangkan lagu Karo, Jawa, Mandailing, Batak, Arabian bahkan Mandarin. Namun lagu-lagu itu tetap dinyanyikan dengan irama Melayu yang dihasilkan dari bunyi gendang pakpung, gesekan biola dan tarikan arkodeon.
Menurut Nurdin, sekalipun cara bermusik mereka multietnis, namun musik yang ditampilkan tetap bercirikan rentak Melayu, yaitu lagu-lagu dengan ritme musik senandung, langgam, ghazal, mak inang, joget, dan zapin. Bahkan di depan audien Melayu pun, ia harus bisa menyajikan musik yang kontekstual dengan orang Melayu di mana mereka berdiam.
"Misalnya jika musik zapin riau atau zapin palembang itu agak berbeda,” katanya. Setiap kali tampil, grupnya selalu mengombinasikan unsur Melayu dengan daerah yang ia datangi. Soalnya orang Melayu tidak hanya di Sumatera Utara, melainkan juga ada di Langkat, Labuhan Batu, Riau, Jambi, dan Palembang.
Dengan begitu, rentak Melayu di sini tak hanya wujud harmoni dalam ritme musik Melayu yang bertingkat-tingkat temponya, atau gabungan tari, musik dan irama, tapi juga rentak dalam mendendangkan lagu-lagu dari beragam etnis yang ada di Sumut. Sekali lagi, ini sesuai moto mereka.

Mengisi acara di sebuah stasiun televisi di Medan (dok pribadi)
Nurdin Wahyudi dan Rabiatul Adawiyah (dok pribadi)
Tampil dalam nuansa Batak (dok pribadi)
Art Prfomance di Istana Maimun (dok Pribadi)