Masjid Indonesia Tidak Harus Berkubah

Oleh: Syafitri Tambunan

PERADABAN klasik Yunani dan Romawi sudah lama berpengaruh ke antero negeri. Penyebaran peradaban itu, tidak terkecuali menyangkut arsitektur bangunan, mem­pengaruhi ragam bentuk di beberapa ne­gara, termasuk di Indonesia. Misalnya, ben­tuk pilar-pilar tinggi dan atap berbentuk kubah/dome yang menjadi ciri khas arsitek­tur klasik.

Bentuk-bentuk itu, terlanjur dianggap sebagai desain ideal karena umum digunakan dalam rentang waktu yang lama. Banyak masjid di Indonesia masih sering mengap­likasikan bentuk-bentuk lama itu, khususnya pada bagian atap yang berdesain kubah. Sehingga muncul kesan, desain masjid harus berkubah, padahal tidak.

Menurut arsitek Peranita Sagala, ST, MMPP, IAI, kebudayaan Indonesia sebenarnya tidak mengenal kubah. "Kubah itu berasal dari Eropa. Di Indonesia, yang menggunakan konsep itu, di wilayah paling Timur, misalnya rumah adat Papua. Sedangkan rumah adat lain, semuanya pakai sudut-sudut."

Pada Capital Building di Washington City, diterap­kan konsep arsitektur Romawi dan Yunani. "Pilar-pilar itu melambangkan demokrasi dan diambillah bentuk-bentuk itu (Romawi dan Yunani), termasuk kubahnya. Mungkin, bentuk kubah itu dibuat juga karena bisa memantulkan suara dan memang sudah saya buktikan waktu berkunjung ke sana," sebutnya.

Jika ditelaah, kubah pada atap bangunan masjid, bukan merupakan konsep asli budaya Indonesia. Sayangnya, kubah itu masih diimpor oleh sebagian masyarakat Indonesia. Padahal sejarah negeri ini memiliki bentuk arsitektur yang lebih kreatif dan variatif, bahkan di bangunan rumah ibadahnya. Multi­budaya di Indonesia justru menjadikan desain-desain yang bervariatif.

Ragam kreasi dan variasi arsitektur khas berkarakter Indonesia, akibat negeri ini menjadi tempat aliran berbagai budaya, China, India dan lainnya. “Coba lihat ‘Sendangsono' karya arsitek senior YB Mangunwijaya (Romo Mangun). Sebuah kompleks peristirahatan yang banyak menggunakan trap-trap, sudut-sudut, dan segitiga. Namun, itu merupakan salah satu ciri Indo­nesia," ungkapnya.

Jika berada di Eropa Tenggara, misalnya di Turki, penampilan fisik masjid-masjidnya terkesan megah. "Sayangnya, tiap daerah di Turki itu desain masjidnya berkubah, bosan ‘kan. Masih lebih menarik di Indo­nesia yang bervariasi. Desain kreatif itu ‘kan tidak ada matinya. Arsitektur Yunani itu, desainnya sejak abad ke berapa, tapi masih saja dipakai," ungkapnya.

Meski terpengaruh desain masjid Turki, khususnya persamaan pada bagian ornamen, namun masjid di Indonesia ornamen kaligrafi ayat Alqurannya tak sebanyak di masjid Turki. "Ornamen kaligrafi di sana bahkan direlief dan diukir. Meski masjid-masjid kita berdesain layaknya masjid Turki, namun ornamennya tidak banyak. Pun masjid di Indonesia banyak menggu­nakan menara menye­rupai Masjid Nabawi dulu," paparnya.

Replika Topi

Pandangan masyarakat dulu, masjid harus berkubah. Tapi sekarang sudah mulai bergeser, banyak yang atapnya menggunakan bentuk lain, misalnya datar, kubus, atau bersudut. Masjid Baitul Musyahadah  atau lebih dikenal sebagai Masjid Topi Teuku Umar, Banda Aceh memiliki atap yang unik karena menyerupai replika topi pahlawan nasional tersebut.

Kemudian Masjid Al Irsyad di Bandung yang memiliki bentuk unik seperti kubus. Bentuk seperti ini juga sudah ada di negara lain, seperti Halide Edip Adivar Mosque di Turki Istanbul, King Abdullah Financial District Mossque di Riyadh.

Arsitektur masjid yang tidak umum lainnya, seperti pada Masjid Permata Qolbu di Jakarta Barat. Dengan menampilkan arsitektur modern, identik dengan kolom-kolom tinggi yang kokoh membentuk kesatuan vertikal, sehingga memberi kesan bentuk bangunan yang agung.

Bentuk atap di Masjid Raya Sumatra Barat, di Padang, juga jauh dari kesan kubah. Perpaduan arsitek­tur modern dan tradisional menyatu di masjid tersebut. Modernitas bangunan tidak hanya pada bahan matrial, namun juga berbagai fasilitas yang ada di masjid tersebut, sedangkan sisi tradisionalnya dengan menge­depankan tampilan rumah adat Minangkabau dengan ciri khas atap runcing.

Lebih fenomenal, di Afrika Barat ada masjid tanpa kubah, segi, atau sudut-sudut, berbentuk acak, memi­liki penampilan seperti berlumuran lumpur. Masjid Nando di Kampung Nando, Mali, Afrika Barat, dibangun sekitar abad ke-12. Lapisan lumpurnya tidak hanya di bagian luar, tetapi juga pada bagian lantai dalam.

Ada juga masjid yang atapnya berdesain dengan trap-trap segitiga, misalnya Masjid Agung Demak, yang merupakan salah satu masjid bersejarah di Indonesia. Trap-trap seperti ini juga ada pada bangunan masjid bersejarah lainnya di beberapa daerah. Di antaranya Masjid Gedhe Kauman, Jogjakarta yang dibangun 1773 M. Juga pada Masjid Indrapuri Aceh yang dibangun 1618 dengan atap yakni paduan segi­empat sama sisi di susun berlapis.

PERPADUAN: Arsitektur pada Masjid Raya Sumatra Barat, di Padang perpaduan modernitas dengan mempertahankan sisi tradisional khas Minang.
ATAP BERTRAP: Meski sudah hampir 2,5 abad, Masjid Gedhe Kauman, Jogjakarta masih utuh dengan atap bertrap.
KUBUS: Masjid Halide Edip Adivar di Turki Istanbul yang tanpa kubah dan berbentuk kubus.
PERSEGI: Masjid Al Irsyad di Bandung yang berdesain persegi.
MODERN: Arsitektur modern dengan kolom-kolom tinggi kokoh vertikal pada Masjid Permata Qolbu di Jakarta Barat. 
()

Baca Juga

Rekomendasi