Oleh: Irfan Prayogi
SEBAGAI konsensus bersama para pendiri bangsa, Pancasila diharapkan dapat merekatkan seluruh elemen masyarakat pasca kemerdekaan. Semua pemikiran melebur menjadi satu dan menyepakati ide yang digagas bersama-sama ini untuk kemudian direalisasikan, walaupun disana sini terjadi perdebatan yang amat tajam antara para bapak bangsa kita. Apabila kita menggali dan meresapi ajaran Pancasila, serta bagaimana founding father saling berargumen didalam memperjuangkan ide politiknya, maka kita akan berdecak kagum dengan konsepsi ideologi dan falsafah negara ini. Yang menarik dari Pancasila yakni bagaimana didalamnya terkandung ajakan tentang perikemanusiaan dan emansipasi, serta saling menghargai antar sesama bangsa.
Soekarno dalam pidatonya menegaskan bahwa “nasionalisme kita bukanlah nasionalisme yang sempit, ia bukanlah nasionalisme yang timbul dari kesombongan bangsa belaka, ia adalah nasionalisme yang lebar, nasionalisme yang timbul dari pengetahuan atas susunan dunia dan riwayat; ia bukanlah ‘jinggo-nasionalisme’ atau chauvinism dan bukanlah suatu kopi dari nasionalisme barat. Nasionalisme kita ialah nasionalisme yang menerima rasa hidupnya sebagai suatu wahyu, dan menjalankan rasa hidupnya itu sebagai suatu bukti. Nasionalisme kita adalah nasionalisme yang didalam kelembagaan dan keleluasaan memberi tempat cinta pada lain-lain bangsa, seperti lebar dan luasnya udara, yang memberi tempat segenap sesuatu yang perlu untuk hidupnya segala hal yang hidup”.
Sebagai salah satu perumus Pancasila, Soekarno sangat mengidolakan Mahadma Gandhi. Ia terinspirasi bagaimana Gandhi dapat menyatukan Islam dan Hindu di India dengan konsep nasionalisme berupa perikemanusiaan. Refleksi kemanusiaan sudah hadir bersama dengan ide nasionalisme, bagaimana dalam sidang BPUPKI yang pertama pada 29 Mei 1945, Muhammad Yamin telah menyebutkan soal tujuan kemerdekaan dengan salah satu dasarnya ialah kemanusiaan. Dengan redaksi yang berbeda, pentingnya prinsip kemanusiaan dalam pergaulan antar bangsa juga termaktub dalam pidato anggota-anggota BPUPKI lainnya seperti Wiranatakoesoema, Woerjaningrat, Soesanto Tirtoprodjo, Wongsonagoro, Soepomo, Liem Koen Hian dan Ki Bagoes Hadikoesoemo.
‘Kita bukan saja harus mendirikan Negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa’. Soekarno juga menekankan bahwa yang dimaksud dengan Internasionalisme/perikemanusiaan bukanlah kosmopolitanisme yang tidak mau adanya kebangsaan. Dalam pandangannya ‘nasionalisme’ dan ‘Internasionalisme’ saling mengandaikan dan terkait satu dengan yang lainnya. Begitupun pada Pembukaan UUD 1945, komitmen kemanusiaan terkandung disemua alinea, terutama dialinea pertama yang menegaskan bahwa komitmen bangsa Indonesia pada kemanusiaan universal dengan menekankan kemutlakan hak merdeka bagi segala bangsa. Alinea kedua menekankan perjuangan nasional meraih kemerdekaan dan hak menentukan nasib sendiri (self-determination) serta idealisasi kemanusiaan dialam kemerdekaan.
Alinea ketiga mengembalikan drajat manusia pada fitra kesetaraan dalam berkat penciptaan Tuhan, yang menghendaki suasana kehidupan kebangsaan yang bebas; dan dengan itu, Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya (decleration of independence). Alinea keempat mengandung hal penting, pertama, membawa isu-isu kemanusiaan kepada tujuan negara dalam rangka pemenuhan kebahagiaan dan hak kolektif maupun perseorangan. Kedua, menjangkarkan isu-isu kemanusiaan pada dasar negara, khususnya dasar kedua yaitu “kemanusiaan yang adil dan beradab”.
Bukan hanya mengatur tentang emansipasi dan perikemanusiaan, Pancasila mampu mengakomodasi tentang pluralitas bangsa yang tidak bisa dinafikkan. Bangsa yang memiliki banyak perbedaan baik secara kesukuan, agama serta identitas sosial politik lainnya juga mempedomani sikap saling memahami satu dengan yang lainnya dengan mengusung semboyan Bhineka Tunggal Ika. Para pendiri bangsa sadar bahwa saling egois untuk mempertahankan pemikiran politik pribadi tidak akan menyatukan semua elemen. Partikularitas pemikiran harus dihindarkan, demi tercapainya integrasi sosial kemasyarakatan yang bersifat universal. Selain itu, kehidupan religiusitas masyarakat tidak terganggu dengan dibentuknya konstitusi yang bercorak sekuler. Bukan seperti Eropa dan negeri yang fanatik dengan ide sekularisme, Indonesia memilih menjadi negara bangsa yang tetap mencantumkan hubungan transsendental pada keutamaan, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebagai negera Plural-religious, Indonesia bukan memisahkan agama dengan negara, melainkan membedakan antara keduanya.
Emansipasi antar warga negara dalam relasi keagamaan sangat penting demi tercapainya kesetaraan. Banyak diantara para pendiri bangsa yang mencoba merelevansikan ide keIslaman dalam konteks format negara. Tetapi dengan sikap bijak dan mempertimbangkan rasa keadilan, kesetaraan dan persatuan, mereka sepakat untuk tidak memantik konflik antar sesama karena perbedaan keyakinan. Selain itu, pengklasteran masyarakat ditakutkan akan terjadi apabila konsepsi negara berlandaskan agama ditegakkan, mengingat latar belakang yang berbeda satu dengan yang lainnya serta akan berimplikasi pada minoritas kaum.
Pancasila adalah warisan dari jenius nusantara dan berkesesuaian dengan karakteristik masyarakatnya. Dengan itu pula, rancangan UUD 1945 mengandung pemuliaan hak-hak yang luas dan visioner, meskipun pasal tentang hak dasar itu terbatas jumlahnya. Secara substantif sudah meliputi apa yang disebut dengan tiga generasi hak asasi manusia (hak sipil dan politik, hak demokratis dan hak ekonomi, sosial dan budaya). Bahkan dalam pengakuan hak kolektif, UUD 1945 mendahului apa yang dikemudian hari akan tertuang dalam bill of human rights dari PBB. Bisa dipahami jika Mohhammad Hatta mangatakan bahwa UUD 1945 adalah ‘undang-undang dasar yang paling modern’ pada zamannya.
Emansipasi dan saling memahami
Emansipasi yang bersumber dari inspirasi religious berangkat dari kesadaran bahwa manusia adalah ciptaan, dan sebagai ciptaan, semua manusia sama kedudukannya di hadapan sang pencipta, yaitu Tuhan. Sedangkan emansipasi yang bersumber dari etika dan inspirasi ilmu pengetahuan berangkat dari kesadaran bahwa manusialah yang membuat dunia sengsara dan sejahtera. Hal ini kemudian memunculkan kelompok-kelompok yang memperjuangkan kelompok marjinal. Perjuangan ini mendasarkan diri pada kesadaran bahwa diskriminasi dan penindasan dari manusia atas manusia adalah bentuk terburuk kehidupan manusia.
Sejalan dengan hal tersebut, Pancasila merupakan landasan hidup bernegara yang memiliki toleransi yang kuat untuk melandaskan serta menjadi pedoman bagi perbedaan yang ada di tengah masyarakat. Pendiri bangsa menyadari bahwa perbedaan yang ada tidak untuk dipersatukan, melainkan mengikatkan semua perbedaan tersebut menjadi sebuah kekuatan. Imaginary nasionalisme yang dibentuk disamping perkembangan identitas politik, budaya dan agama akan mereduksi hal yang bersifat partikular dan melebur menjadi sesuatu yang universal dan dipercaya bersama sebagai pedoman bernegara. Maka, perlu ada pendidikan usia dini berbasis karakter, disamping pendidikan formal seperti baca, tulis, dan menghitung sebagaimana yang dilakukan oleh pemerintahan Jepang dalam hal menanam karakter berdasarkan asas dan norma yang berlaku di masyarakat.
Dengan demikian, emansipasi antar masyarakat akan terjalin dan sekaligus Pancasila tidak tergerus eksistensinya di kalangan muda. Bukan sekedar mengingat dan menghafal setiap butirnya, Pancasila harus dibumikan dengan mengamalkannya dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian sikap yang terbangun akan menjadi refleksi Pancasila itu sendiri. Masyarakat tidak perlu takut bahwa Pancasila akan membawa kepada pengingkaran terhadap nilai agama. Mohammad Natsir saja yang memperjuangkan untuk menerapkan negara berlandaskan agama Islam di dalam badan Majelis Konstituante menyatakan bahwa nilai-nilai Pancasila tidak sama sekali bertentangan dan merupakan cerminan dari kehidupan bermasyarakat. Juga jangan pula menyimpan trauma berkepanjangan terkait dengan hegemoni pemerintah yang akan mengkooptasi setiap pemikiran anak bangsa sebagaimana Orde Baru melakukan ‘Politisasi’ terhadap Pancasila. Di era modernitas dan derasnya arus demokrasi setelah dibukanya keran kebebasan pasca reformasi, Pancasila bisa menjadi alternatif pilihan untuk mempertahankan karakter bangsa, juga dapat diawasi oleh setiap warga negara dalam setiap praktek yang mengatasnamakan Pancasila.
Sebagai karya bersama, Pancasila harus dipertanyakan keberpihakannya. Pancasila harus menyeluruh dan memperjuangkan cita-cita kolektif demi mencapai tujuan bersama. Bukan hanya konsepsi tentang sebagian, tetapi imagined community harus dibangun oleh setiap kita dan menjadi sesuatu yang menyeluruh. Bukan hanya tentang nasionalisme, tetapi lebih kepada konsepsi internasionalisme/perikemanusiaan yang mengedepankan asas kesetaraaan, emansipasi dan kesamaan didepan hukum. Mari kita koreksi bersama diri kita, sejauh mana kita mengenal karya para pendahulu kita ini. Sejauh mana kita membangun emansipasi, toleransi dan persatuan tidak hanya antar sesama kita, namun kepada setiap mereka yang berbeda identitas. Untuk itulah mengapa kemudian Para bapak pendiri bangsa mengkonsepkan format kesatuan yang berorientasi kepada kesetaraan. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi ketimpangan sosial antara mayoritas masyarakat beridentitas tertentu, dengan minoritas masyarakat yang juga memiliki karakteristik berbeda.***
Penulis merupakan Mahasiswa Ilmu Politik USU 2014