KATA thâghût berasal dari thughyân, yang berarti sewenang-wenang, melampaui batas dalam berbuat dosa. Kata ini berasal dari kata thaghâ yang berarti melimpah, penuh, melampaui batas ukuran, sehingga membahayakan. Dari pengertian kebahasaan ini, kata thughyân kemudian dipergunakan untuk pengertian-pengertian sebagai berikut. Pertama, segala hal yang bersifat melampaui batas; kedua, melampaui batas dalam perbuatan dosa; ketiga, kafir yang keterlaluan; dan keempat, kesewenang-wenangan terhadap manusia. Kesemua pengertian ini menunjukkan sikap ekstrem dan berlebih-lebihan, seperti melimpahnya air. Dalam surat al-`Alaq ayat 6-7 Allah mengisyaratkan bahwa sikap sewenang-wenang dan melampaui batas ini dapat terjadi manakala seseorang merasa berkecukupan dengan dirinya sendiri dan tidak membutuhkan orang lain.
Kata thughyân disebutkan dalam Al-Quran sebanyak delapan kali, yaitu pada surat al-Mâ’idah ayat 64 dan 68, al-Baqarah ayat 15, al-Kahf ayat 80, al-An`âm ayat 110, al-A`râf ayat 186, al-Mu’minûn ayat 75 dan Yûnus ayat 11.
Dalam ayat-ayat yang tergolong surat Makkiyah, Alquran mengaitkan kata thughyân dengan sikap kufur dan keterlaluan orang-orang kafir Makkah terhadap Nabi Muhammad Saw. Dalam surat al-An`âm ayat 110 Alquran menceritakan bagaimana mereka meminta kepada Nabi agar Allah mengubah bukit Shafa menjadi emas. Akibat sikap mereka yang keterlaluan tersebut, Allah membiarkan mereka tetap berada dalam kesesatan. Sikap kufur dan sewenang-wenang mereka telah melampaui batas-batas kemanusiaan, sehingga kalaupun mereka dikasihani dan kesusahan dihilangkan dari mereka, pembangkangan dan kesewenangan mereka tidak akan berakhir (Qs. al-Mu’minûn ayat 75). Akhirnya Allah membiarkan mereka bergelimang dalam kesesatan dan terombang-ambing tanpa pegangan (Qs. al-A`râf ayat 186), karena mereka mengingkari hari pertemuan dengan Allah (Qs. Yûnus ayat 11). Menurut Ahmad Mushthafa al-Maraghi, dalam kitab Tafsir al-Marâghi, pembangkangan dan kesewenangan mereka telah begitu mendalam, sehingga membuat mereka sulit melepaskan diri dari kesesatan dan kembali kepada kebenaran.
Dalam surat-surat Madaniyah disebutkan bahwa kedurhakaan dan sikap sewenang-wenang yang tercakup dalam kata thughyân ini dikaitkan dengan sifat-sifat dan perilaku orang Yahudi dan munafik. Dalam surat al-Mâ’idah ayat 64 Allah menjelaskan tuduhan orang-orang Yahudi bahwa Allah kikir, padahal merekalah sebenarnya yang kikir. Allah melaknat dan membiarkan mereka bergelimang dalam kakafiran dan kedurhakaan, meskipun Al-Quran dibacakan kepada mereka. Karena itu, Allah menghibur Nabi Muhammad Saw. agar tidak berkecil hati dengan pembangkangan yang mereka lakukan (Qs. Al-Mâ’idah ayat 68). Sementara dalam surat al-Baqarah ayat 14-15 Allah menggunakan kata thughyân dalam konteks balasan Allah terhadap perilaku orang-orang munafik yang suka mengolok-olok Nabi Saw. Mereka menyatakan beriman kalau berjumpa orang mukmin dan sebaliknya menyatakan bahwa keimanan mereka hanyalah “iseng”, kalau bertemu dengan setan-setan (kawan-kawan) mereka.
Semua ayat di atas sesuai dengan konteks pengertian kata thughyân sebagai kesewenangan dan kekafiran yang sudah di luar batas toleransi.
Sikap inilah yang terus menerus digempur Al-Quran, yang terangkum dalam ajaran tauhid. Tauhid yang merupakan paham yang hanya memutlakkan kebenaran pada Allah dan menyembah hanya kepada-Nya, melahirkan konsekuensi perlawanan yang berkesinambungan terhadap kesewenang-wenangan dan sikap tiranik kepada sesama manusia. Orang yang bersikap thughyân ini disebut thâghût. Anda disebut thâghût manakala terlalu berpegang teguh pada pendirian Anda, meskipun keliru, sehingga tidak dapat menerima masukan-masukan dari orang lain. Anda merasa cukup dengan diri Anda sendiri dan merasa tidak membutuhkan orang lain. Sikap ini didasarkan pada perasaan superior atas orang lain.
Pada gilirannya seorang thâghût akan memutlakkan apa yang ada dalam dirinya. Sikap ini pertama kali ditunjukkan oleh Iblis yang merasa paling hebat dan paling baik, sehingga tidak mau mengikuti perintah Allah untuk tunduk kepada Adam. Iblis merasa tidak pantas Adam mendapat kehormatan karena diciptakan dari tanah, sementara dirinya diciptakan dari api (Qs. al-A`râf ayat 12).
Dalam sejarah, sikap thâghût ini direpresentasikan oleh Namrud, Fir`aun, Qarun, Abu Jahal, Abu Lahab, Abu Sufyan dan para tokoh kafir Makkah lainnya. Mereka menjadi thâghût karena memutlakkan pendapat sendiri, hawa nafsu, harta dan kekuasaan yang mereka miliki. Sikap ini akhirnya membelenggu mereka sehingga tidak dapat melihat kebenaran yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul Allah. Puncak dari sikap ini adalah mengklaim diri sebagai pemilik tunggal kebenaran, bahkan mengaku sebagai tuhan. Inilah hakikat syirik, yakni menyekutukan Allah dengan yang lain. Dengan kata lain, syirik merupakan suatu bentuk kehidupan yang didedikasikan untuk kelezatan sensual, kekuasaan dan penumpukan harta kekayaan, sehingga mengeruhkan akal sehat dan mendistorsi pikiran-pikiran jernih. Mereka menjadikan hal-hal tersebut sebagai ilâh-ilâh (tuhan-tuhan) selain Allah.
Dalam Alquran surat al-Furqân ayat 43-44, perilaku demikian digambarkan sebagai lebih jelek dan lebih sesat dari binatang ternak. “Sudahkah engkau (Muhammad) melihat orang yang menjadikan keinginannya sebagai tuhannya. Apakah engkau akan menjadi pelindungnya? Atau apakah engkau mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami? Mereka itu hanyalah seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat jalannya.”
Mudah-mudahan kita terbebas dari sifat-sifat thâghût dan menjadi hamba Allah dalam arti yang seutuhnya. Amin.