Menikmati 'Jalan Sunyi' Takengon-Kutacane

Oleh: Nurhalim Tanjung.

“Berani kali abang mengambil jalur Takengon-Kutacane via Blangkejeren, mana bawa keluarga pula,” kata seorang teman kantor di Medan. “Aku saja yang orang Kutacane tak pernah ke Blangkejeren lewat jalur itu,” sambungnya.

Saya merespon dengan senyum. Rasanya dia benar, saya memang nekad menempuh jalur tersebut bersama keluarga seusai berlebaran di Takengon pada Selasa (27/6) lalu, demi melan­jutkan liburan ke Berastagi di Sumatera Utara. Konon pula rute itu terkenal menyeramkan karena membelah pegu­nungan yang berhutan lebat. Saat musim penghujan lintasan ini kerap terjadi longsor, yang pena­nganannya bisa berlangsung selama satu-dua minggu, seperti pernah terjadi di Km 110 kawasan Tangsaran Kecamatan Pantan Cuaca, Gayo Lues.

Badan jalan tertimbun tumpukan material longsor berupa batuan gunung, lumpur, dan batang kayu. Akibatnya, banyak kendaraan terjebak di sini. Karena itu, untuk menghindari longsor biasa­nya setiap kendaraan dari Takengon (Aceh Tengah) yang hendak ke Blangkejeren (Gayo Lues) memilih jalan memutar via Lhokseumawe-Medan-Beras­tagi-Kutacane baru ke Blang­kejeren.

Begitu juga kendaraan dari Blangkejeren yang ingin menuju Takengon harus memutar mengambil rute Kutacane-Berastagi-Medan-Lhokseumawe-Bener Meriah-Takengon. Memang ada rute via Banda Aceh untuk menuju kedua kota itu, tetapi jaraknya lebih jauh dengan waktu tempuh lebih lama dibanding via Medan.

Isteri dan anak-anak pun sependapat, karena mereka juga jenuh kalau mesti pulang melewati jalur yang sama dengan kedatangan kami dari Medan via Lhokseumawe sehari sebelumnya, mes­ki jalannya lebih mulus, ramai, dan tak banyak tikungan. Kondisi itu memang membuat kendaraan yang menempuh jalur lintas timur ini lebih cepat sampai ke Medan meski jaraknya lebih panjang (sekira 452 km) dibanding rute lintas tengah Takengon-Medan via Blangkejeren yang sejauh 440,36 km.

**

Setelah check-out dari Hotel Renggali yang berada di tepi Danau Laut Tawar sekitar pukul. 11.45 Wib, saya pun mengarahkan mobil ke pusat Kota Takengon. Kami ingin makan siang terlebih dulu sebelum menjajal rute Takengon-Kutacane via Blangkejeren. Saat di rumah makan kebetulan kami semeja dengan seorang lelaki setengah baya yang didampingi dua perempuan cantik. Mereka mengendarai mobil hitam berplat BK yang diparkir persis di depan rumah makan.

“Kami dari Medan, sudah dua hari di sini…gak sangka Takengon bagus ya, “ kata satu dari dua wanita yang mengenakan busana kream. Saya dan isteri mengangguk setuju.

Ia bercerita barusan turun dari Pantan Terong, kawas­an puncak untuk memandang lanskap Takengon dan Danau Laut Tawar. “Laut Tawar mirip Danau Toba, meski lebih kecil, tapi bagus,” katanya lagi.

Pengakuannya membuat saya teringat kala bangun pagi barusan. Saya yang saat itu masih terbaring di kasur merasakan angin dingin menye­ruak masuk kamar, karena ternyata anak-anak membuka pintu kaca yang menghadap ke danau. Mereka berebutan mengejar sun rise dari balik gunung yang membuat warna langit memerah dan terpantul ke danau. Momen itu mereka manfaatkan untuk berfoto-foto. Indah. Takengon memang luar biasa.

Menyusuri Tepi Danau Laut Tawar

Sekira pukul 13.30 Wib kami meninggalkan pusat Kota Takengon, melewati Hotel Renggali untuk menyusuri jalan di tepi Danau Laut Tawar. Lalulintas cukup padat karena suasana Lebaran mem­buat banyak orang memanfaatkan waktu untuk bercengkrama bersama keluarga di tepi da­nau. Para pedagang makanan, penyewa tenda dan tikar, sampai penyedia lokasi parkir memetik panen rezeki.

Rute ini memang agak sempit tapi sudah beraspal mulus hingga ke jalur utama lintas tengah di kawasan Bintang. Saya sempat menghentikan mobil di satu warung tepi danau untuk menikmati kopi gayo, seolah enggan meninggalkan Takengon. Baru menjelang pukul. 15.45 Wib meneruskan perja­lanan ke arah Blangkejeren. Badan jalan Take­ngon-Blangkejeren sepanjang 137,8 Km cukup lebar dan mulus karena baru selesai dibangun Kemen­terian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) akhir tahun 2016 lalu.

Akses jalan ini membuat orang tak perlu lagi melewati Kampung Isak jika hendak ke Blang­kejeren dari Takengon, karena selain jalan lebih sempit juga banyak tanjakan serta tikungan tajam, apalagi badan jalan pun kerap tak beraspal di jalur itu.

Saat di Hotel Renggali, seorang staf hotel bernama Alamsyah menyebut, rute jalan baru Takengon ke Blangkejeren via Bintang bisa ditempuh selama 3,5 jam saja ke Ise-Ise sebagai pintu masuk ke Blangkejeren di Gayo Lues, sedangkan lewat Kampung Isak butuh tujuh jam perjalanan. “Jauh lebih enak lewat jalan baru ke Blangkejeren, apalagi Anda mau singgah ke Beras­tagi, tentu lebih cepat dari sini ketimbang lewat Lhokseumawe,” katanya.

Jalan Sunyi

Rute Takengon-Blangkejeren sungguh sunyi. Selama menempuhnya, saya memerkirakan butuh 15 menit - 30 menit untuk berpapasan dengan kendaraan lain, padahal masih dalam suasana Lebaran. Mungkin di hari biasa jalur ini lebih sepi dari lalu-lalang kendaraan, apalagi jarang ditemukan rest area, termasuk kawasan pemukiman untuk beristirahat dari kelelahan mengemudi.

Syukur, saat memasuki kawasan Simpil, yang masih berada di wilayah Aceh Tengah, sekira pukul 17.15 Wib, saya melihat satu lembah di sebe­lah kanan badan jalan. Sejumlah mobil parkir di sana, sedangkan pengemudi dan penumpangnya beristirahat di tepi sungai yang mengalir di antara lembah itu. Beberapa orang dari mereka tampak menunaikan sholat Ashar di bangunan kayu yang dijadikan mushalla. Hmm, rupanya lembah ini merupakan tempat pengolahan batu dan pasir untuk material bangunan, karena tampak mesin pemecah batu dekat tebing.

Kami tidak lama di lembah itu karena khawatir kemalaman sampai Blangkejeren. Namun baru 30 menit mengemudi, terlihat sejumlah mobil parkir di satu persimpangan jalan. Ada kedai kayu berde­sain klasik-modern di sisi jalan yang menjadi persing­gahan untuk makan-minum serta ke kamar mandi. Sekali lagi saya menikmati kopi gayo di sini. Seorang pelintas yang juga mengopi di dekat saya menyebut daerah ini: Simpang Simpil.

Sore membuat kawasan pegunungan ini terasa sejuk menggigilkan, apalagi badan jalan senantiasa basah karena hujan kerap turun. Kalau pun tidak ada hujan, agaknya kabut senantiasa menjejak as­­pal di daerah yang dikelilingi hutan pinus ini. Sua­­sana itu membuat Simpang Simpil mirip per­kam­­pungan di Eropa atau Selandia Baru. Excited, bah.

Pelintas yang menjadi teman minum kopi saya menyebutkan perjalanan dari Simpang Simpil ke Ise-Ise hanya 15 menit. “Kalau sudah sampai Ise-Ise berarti sudah tiba di Gayo Lues, daerah itu pintu masuk ke Blangkejeren,” katanya.

Saya pun melanjutkan perjalanan saat pukul. 18.15 Wib. Benar saja, sekira 15 menit kemudian, mobil memasuki Ise-Ise. Senja semakin temaram. Maghrib pun tiba. Tetapi saya terus mengkebut mobil supaya tidak terlalu malam masuk Blang­kejeren, apalagi jalanan kian sunyi. Beberapa titik bekas longsor juga tampak di rute ini. Isteri dan anak-anak selalu menavigasi perjalanan, malah mereka semakin merapat ke saya sewaktu melintasi kawasan hutan gelap yang diapit jurang dan tebing padas.

Speedometer mobil menunjukkan isi tanki bensin tinggal tiga bar. Saya cemas mobil kehabisan bensin di tengah perjalanan, soalnya tak tampak satu pun Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) sepanjang rute Takengon ke Blangkejeren. Alhamdulillah, sewaktu pukul 19.45 Wib tampak cahaya lampu dari Blangkejeren di kejauhan. Mobil saya pacu menuruni jalur pegunungan, tak lama kemudian tampak gerbang masuk Rikit Gaib, kecamatan tetangga Blangkejeren yang merupakan ibukota Kabupaten Gayo Lues. Mobil dan sepeda­motor mulai ramai di sini, jalanan pun sedikit terang oleh cahaya lampu dari pemukiman di kiri-kanan jalan.

Sewaktu mendekati pusat Kota Blangkejeren, saya berusaha menemukan SPBU terlebih dulu. Tapi saat ketemu, ternyata SPBU sudah tutup. “Di sini ada dua SPBU, tetapi setiap pukul 6.30 sore su­dah tutup,” kata seorang warga di sana. Alamak. Eh, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Saya pun menghentikan mobil di satu warung untuk makan malam sembari istirahat, menenangkan diri.

Pemilik warung yang mengetahui saya dan keluarga berasal dari Medan menganjurkan untuk mengisi tanki mobil dengan bensin eceran secu­kupnya saja untuk sampai ke Kutacane. “Dari sini ke Kutacane cuma 2-3 jam, di sana SPBU tutup lebih lama, sekira jam 11 malam,” katanya.

Saat itu pukul 20.55 Wib, hujan masih turun dengan deras. Setelah membeli bensin eceran secu­kupnya, saya pun memacu mobil ke arah Kutacane. Rute Blangkejeren-Kutacane tidak seberat Takengon-Blangkejeren. Tikungan dan tanjakan­nya pun tidak terlalu tajam, malah cenderung ba­nyak turunan karena posisi Kutacane yang ber­ada di ketinggian 1.000 mdpl lebih rendah dari Blangkejeren.

Saya berhasil menempuh rute ini kurang dari tiga jam, namun karena jarum jam menujukkan angka 23.50 Wib setibanya di Kutacane, tetap saja tiga SPBU di sana juga tutup dan baru buka kembali keesokan pagi. Padahal isi tanki mobil tinggal dua bar lagi, makanya saya tidak berani meneruskan perjalanan ke Berastagi yang masih sejauh 142 km lagi malam itu.

Saya memutuskan untuk menunggu pagi di Kutacane, Aceh Tenggara. Mobil pun saya arahkan ke parkiran Masjid Agung At-Taqwa, bergabung dengan mobil dan sepedamotor lain yang juga bernasib sama dengan kami. Masjid ini memang menjadi tujuan persinggahan para pengendara di lintasan Medan-Blangkejeren, apalagi di musim mudik lebaran.

Selama enam jam menunggu pagi di Masjid Agung At-Taqwa, saya mengisi waktu dengan berbicara sama pengemudi lain, sedangkan isteri dan anak-anak tertidur di mobil. Kala subuh tiba, saya dan keluarga pun sholat di masjid ini. Tak lama berselang, matahari pagi yang muncul perla­han membentangkan keindahan Kutacane yang dikeli­lingi pegunungan. Udara terasa dingin dihembus angin pagi di hari keempat lebaran [Rabu, 28 Juni 2017] itu. Bayangan gunung yang ditutupi kabut seolah membentengi negeri etnis Alas yang bertetangga dengan Tanah Gayo di Gayo Lues ini.

Satu per satu mobil yang parkir di halaman Masjid Agung At-Taqwa melanjutkan perjalanan, termasuk saya dan keluarga. Kami singgah terlebih dulu ke SPBU untuk mengisi tanki mobil dengan penuh. Tetapi kecemasan sewaktu menempuh “jalan sunyi” nan gelap di rute Takengon-Blangke­jeren-Kutacane sudah pupus, toh perjalanan selan­jutnya menawarkan panorama pegunungan yang diselingi hamparan sawah dan ladang dataran tinggi hingga ke Tanah Karo, Sumatera Utara.

Kondisi badan jalan pun beraspal mulus. Maka­nya, meski butuh waktu empat jam perjalanan, Be­ras­tagi serasa sepelemparan batu saja dari Kutacane.

Selamat tinggal Tanah Gayo. Selamat tinggal Tanah Alas Mejuah-juah Tanah Karo Simalem.***

()

Baca Juga

Rekomendasi