Oleh: H. Harun Keuchik Leumiek.
MASJID Raya Baiturrahman yang berdiri Megah di Kota Banda Aceh, selain menjadi ikon kebanggaan rakyat Aceh, juga memiliki catatan sejarah panjang perlawanan rakyat melawan kolonial Belanda. Bagi Belanda, masjid ini tentu memiliki kisah sejarah memilukan, karena seorang jenderal pimpinan pasukan elit mereka, tewas saat menyerang Istana Dalam Kerajaan Aceh, yang kemudian disebut Keraton Aceh.
Untuk menguasai istana, pasukan Belanda dipimpin Mayor Jenderal JHR Kohler menguasai Masjid Raya Baiturrahman yang menjadi pusat pertahanan rakyat dalam melindungi istana. Naas bagi pasukan Belanda, saat Jenderal Kohler menginspeksi pasukannya di depan masjid itu pada 14 April 1873, ia tiba-tiba tersungkur akibat tertembak pasukan Aceh. Para sejarawan mencatat tanggal dan tahun tersebut sebagai pernyataan perang Belanda terhadap Aceh.
Pasukan Belanda pun marah, masjid yang dibangun semasa Sultan Iskandar Muda itu dibakar habis. Sejarah mencatat, penembak Kohler adalah seorang pemuda berusia 18 tahun, Teuku Nyak Raja, bersama sahabatnya, Tuanku Hasyim Banta Muda. Teuku Nyak Raja ini kemudian dikenal dengan nama Teuku lmeum Lueng Bata.
Sebelum menembak Kohler, Teuku lmeum Lueng Bata mengintai dengan cara bersembunyi di semak-semak tak jauh dari masjid tersebut. Tewasnya Kohler membuat pasukan Belanda kalang-kabut, sebagian pasukan Belanda kemudian ditarik ke Pantai Cermin Uleelheue dan terus ke Batavia dengan membawa jenazah Kohler.
Setelah Agresi Belanda I itu gagal, Belanda kembali membawa pasukannya lebih besar ke Aceh dengan penyerangan yang membabi-buta. Istana Dalam (sekarang Banda Aceh) akhirnya dikuasai Belanda. Akan tetapi Belanda tetap merasa tidak nyaman karena telah membakar Masjid Raya Baiturrahman.
Menyadari hal itu, pada 1879, Belanda kembali membangun masjid tersebut dalam bentuk bangunan masjid berkubah. Dalam pengertian lain, Belanda-lah yang pertama sekali memperkenalkan bangunan masjid di Aceh dengan menggunakan kubah. Sebelum itu, hampir semua bangunan masjid di Aceh berbentuk atap bertingkat. Pola bangunan ini masih dapat dilihat pada sejumlah masjid-masjid lama yang masih tersisa di Aceh.
Bentuk masjid berkubah pertama pada Masjid Raya Baiturrahman itu, baru satu kubah yang semua material bangunannya dibawa dari luar Aceh. Masjid bangunan Belanda ini juga dihiasi ukiran-ukiran kaligrafi Arab yang sangat indah, dilengkapi dengan sebuah jam besar di tengah mihrab bagian depan. Jam tersebut tulisan menggunakan angka Arab.
Dibangun kembali
Pembangunan kembali Masjid Baiturrahman oleh Belanda ini, peletakan batu pertamanya dilakukan Gubernur Militer Belanda di Aceh, Mayjen Vander pada 9 0ktober 1879. Dalam lima tahun pembangunannya pun selesai, kemudian diserahkan kepada rakyat Aceh.
Pada 1935, untuk kali pertama Mesjid Raya Baiturrahman diperluas dengan penambahan dua kubah. Perluasan masjid kembali dilakukan pada 1956 atas permintaan Gubernur Aceh Ali Hasjmy pada Presiden Sukarno saat berkunjung ke Aceh kala itu. Bangunan masjid pun bertambah dari tiga kubah menjadi lima kubah.
Seiring persiapan MTQN ke-12 di Banda Aceh pada 1981, Masjid Raya Baiturrahman ini sempat dipercantik pelatarannya dengan penambahan berbagai relief bermotif Aceh, kaligrafi hampir di semua sudut di dalam masjid, dan puluhan lampu hias.
Pada kepemimpinan Gubernur lbrahim Hasan, peluasan masjid tersebut kembali dilakukan pada 1991. Renovasi besar-besaran itu, selain menambah dua kubah dan dua menara azan, juga memperluas kiri-kanan serta bagian belakang bangunan masjid, sekaligus perluasan pelataran dan halaman masjid dengan membangun satu menara khusus, yang melambangkan sebagai tugu daerah modal perjuangan rakyat Aceh.
Peluasan tersebut terpaksa membongkar ratusan bangunan di sekeliling masjid, baik bangunan pertokoan, perkantoran, perumahan, dan stasiun kereta api. Termasuk harus mengorbankan beberapa ruas jalan untuk perluasan pelataran dan halaman masjid, seperti Jalan Perdagangan, Jalan Langsa, Jalan Gang Padang, Jalan Muhammad Jam, serta jalan di depan masjid. Melalui renovasi itu, Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh yang mampu menampung 10 ribu jemaah itu, dilengkapi tujuh kubah dan empat menara azan menjulang ke langit itu, menjadi ikon kebanggaan rakyat setempat.
Masjid Terindah
Tidak tanggung, sejumlah seniman besar dari putra Aceh, seperti AD Pirus dari Bandung, Lian Sahar dari Jogja, lskandar Muzakir Walad Jakarta, dan lainnya terlibat dalam mendekor interior dan motif ukirannya. Hasil karya seni putra-putra Aceh itulah menjadikan masjid tersebut sebagai salah satu dari 100 masjid terindah di dunia.
Seiring perluasan bangunan masjid, Ibrahim Hasan menanamkan pohon geulumpang dan membuat sebuah monumen di sebelah utara halaman masjid sebagai pengngat tewasnya Jenderal Kohler. Disayangkan, pohon yang telah berusia 29 tahun itu ditumbangkan dan monumennya juga dihancurkan saat membangun basement dan 12 unit payung eletronik belum lama ini.
Kembali beredar kabar, setelah tahap pertama pembangunan landscape dan basement, sesuai gagasan mantan Gubernur Aceh dr. Zaini Abdullah, pembangunan itu akan diteruskan dengan membongkar bangunan pertokoan yang hampir separuh pusat Kota Banda Aceh untuk dijadikan kompleks halaman (alun-alun) Masjid Raya Baiturrahman.
Jika itu terjadi, betapa banyak usaha milik masyarakat yang harus diesekusi, termasuk usaha kecil milik masyarakat berekonomi lemah. Jika ada rencana pembangunan Islamic Centre sebagai bagian dari kegiatan keislaman Masjid Raya Baiturrahman, sebaiknya memanfaatkan tanah kosong yang kini terbengkalai di tengah-tengah Kota Banda Aceh, yang lokasinya persis di sebelah kiri masjid itu.
Gagasan Zaini Abdullah terhadap pembangunan masjid tersebut dinilai baik dan menyenankan masyarakat. Meskipun mih ada pro-kontra masyarakat terkait keberadaan payang-payung di kiri-kanan masjid. Bagi pro, Selain semakin indah, payung itu menjadikan Masjid Baiturrahman Banda Aceh menyerupai Masjid Nabawi di Madinah.
Nada kontra menilai, payung-payung itu kurang bermanfaat, menghalangi pandangan kea rah masjid, dan mengurangi keagungan bangunan masjid itu sendiri. Padahal masjid itu merupakan bangunan sakral bagi masyarakat Aceh.