Cirabun

Oleh: Roy Martin Simamora.

Istilah Cirabun dalam bahasa Batak Pakpak Dairi yang artinya abu-abu sisa pembakaran kayu bakar-yang merupakan kata dasar yang kerap dipakai orang Pakpak Dairi. Lazim­nya, orang-orang di kampung saya ma­sih memakai kayu bakar untuk ke­per­luan memasak. Baik me­nanak nasi, me­manaskan air, memanggang ikan dan seba­gainya. Sisa pembakaran dari kayu berupa Cirabun.

Sejak kecil, saya dilarang bermain-main dengan Cirabun yang ada di da­pur karena dapat menimbulkan efek batuk jika terhirup. Unang cekepi Ci­rabun i! Batuk ko nan.” (jangan kau pe­gang abu itu!, nanti kau batuk) Te­tapi, di­samping memiliki bahaya bagi kesehatan, Cirabun me­miliki kegu­naan yang lain-sebelum sabun cuci piring dari berbagai merk menginvasi pasar-penggunaan Cirabun telah lebih dulu digunakan sebagai bahan pem­ber­sih peralatan dapur.

Kata Cirabun adalah kata netral dan tidak memiliki makna yang lain. Penutur Batak Pakpak Dairi lambat laun memakai frase Cirabun dan di­pa­kai dalam keperluan lain serta di­ko­notasikan beda, sesuatu yang tidak me­nyenangkan, dalam keadaan ma­rah, benci, kesal dengan cara untuk me­ngutuk, mengatai, mencemooh orang-sama seperti frase babi, anjing, monyet, taik. Misalnya: “Pangani mo cira­bun i!.” (Makanlah abu itu!). Padahal jika diartikan bukan sesuatu yang kasar, kotor dan jorok.

Seperti contoh: kata anjing yang kerap terdengar ditelinga. Padahal kita tahu anjing adalah makhluk hidup. Kata anjing dalam Kamus Besar Ba­hasa Indonesia adalah binatang ber­bulu yang menyusui dan biasa di­pe­lihara orang. Kata anjing tidak me­miliki makna yang lain. Tetapi kata an­jing pada konteks yang lain, sudah ber­ganti makna apabila dile­katkan dalam sebuah kalimat. “Dasar a****g kau!,” misalnya. Pada­hal sebenarnya, kata anjing bukanlah kata makian, kata kutukan, kata ce­moohan, tapi di­terima secara umum se­bagai kata ka­sar dan kotor.

Tiap daerah memiliki kata makian yang berbeda meski tidak sesuai de­ngan makna sebenarnya. Kita tentu tahu lebih banyak kata-kata makian se­hingga jamak ditemui dalam ke­hidupan sehari-hari. Ada yang me­nye­but bahwa kata-kata makian, baik da­lam penggunaan atau pembahasan, ma­suk dalam kategori tabu; menjadi se­suatu yang dilarang secara sosial. Se­bab bisa menimbulkan ketidak­nya­man­an sosial dari pengucapan atau dari makna kata itu sendiri. Dan akhir­nya, kata itu menjadi diterima meski bertentangan dengan kehidupan sosial masyarakat.

Juga beberapa kata makian yang se­muanya tidak pantas atau tidak san­tun untuk diucapkan, setidaknya da­lam kebia­saan budaya ketimuran. Kata-kata yang sudah diterima secara umum. Kalau dalam bahasa Inggris kita tentu sering mendengar kata: Fuck, Bastard, Asshole dan sebagai­nya.

Penggunaan kata Cirabun meng­alami perubahan makna kata. Barang­kali ada beberapa faktor yang men­da­sari per­ubahan itu. adanya kedekatan antara kebudayaan dan pemilik bahasa itu sendiri, kata tersebut disesuaikan de­ngan kebu­tuhan dari pengguna ba­hasa, dan penggunaan kata yang ber­ganti makna diucapkan sebagai sarana ke­angkuhan. Apabila kata Cirabun di­gunakan di daerah lain, orang lain tidak akan mengerti maknanya. Orang akan mengerti ketika dijelaskan bah­wa kata Cirabun adalah kata kasar dan jorok-padahal bukan makna sebenarnya.

Penggunaan kata Cirabun menjadi salah kaprah. Kesalah kaprah-an ini terjadi dari kesalahan persepsi ma­sya­rakat terhadap suatu makna kata. Hal ini karena kebiasaan dengan se­suatu yang salah dan dibiarkan terus berjalan tanpa adanya usaha perbaikan oleh pemakainya karena masyarakat menganggap makna kata tersebut sudah benar dan dapat diterima. Kata Cirabun dianggap ampuh memuaskan amarah dengan cara memakainya sebagai senjata menghina orang lain. Orang yang menggunakan kata Ci­ra­bun menjadi gelap mata dan otokratik.

Kata Cirabun hanya diketahui dan dipakai sendiri oleh orang Pakpak Dairi. Tetapi, dewasa ini, saya ragu jika anak-anak paham arti kata Cirabun, khusus­nya anak-anak yang lahir dan dibesarkan di tanah Batak Pakpak Dairi.

Seperti yang sudah saya jelaskan di­atas, kata Cirabun juga mengalami per­luasan makna. Kata Cirabun sudah men­jadi kata yang kasar dan buruk (pe­yoratif)-kata Chaer-yang semula di­rasakan halus kemudian karena faktor ter­tentu, makna leksem atau satuan lek­sikal tersebut dira­sakan bermakna kasar.

Cirabun, saya kira, kata yang tidak me­­miliki makna yang lain, selain: abu sisa pembakaran. Tetapi kebeba­lan para penggunanya-apalagi diguna­kan oleh orang-orang Pakpak Dairi-meng­ganggap bahwa Cirabun me­mang layak diper­mainkan sesuka hati, sebagai sen­jata pemuas amarah. Kata dan bahasa yang terbentuk adalah se­buah kekayaan kebudayaan. Kata dan ba­hasa perlu digali, dikaji, dijaga dan dilestarikan, bukan digunakan untuk keperluan yang tidak-tidak. Kata dan bahasa pada akhirnya akan menjadi milik generasi muda dimasa menda­tang. Apakah kita ingin kata dan ba­hasa dalam bungkus budaya, lantas di­permainkan anak-anak dikemudian hari? Hemat saya, orang-orang yang tidak mau tahu dengan budaya dan tata bahasa daerahnya, tentu tidak mau jika Cirabun digosok ke wa­jahnya sen­diri.***

Penulis adalah Alumnus National Dong Hwa University, Taiwan.

()

Baca Juga

Rekomendasi