BERBICARA tentang kemerdekaan, pada hakikatnya ia memiliki beragam makna. 72 tahun yang lalu, saat proklamasi dibacakan Soekarno didampingi Hatta pada 17 Agustus 1945 tentunya tidak secara eksplisit menerangkan apa makna kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Saat kemerdekaan itu diproklamirkan maka tentu yang dimaksudnya adalah kemerdekaan dari penjajahan Jepang.
Apakah makna kemerdekaan hanya sampai di situ saja? Tentu tidak. Kalau makna kemerdekaan hanya pada kemerdekaan dari penjajahan itu sudah diselesaikan oleh para pejuang-pejuang terdahulu dari kita yang mereka tidak hanya mengorbankan harta dan benda tetapi jiwa mereka pun dikorbankan demi kemerdekaan negara ini.
Lalu apa makna kemerdekaan setelah kemerdekaan dari penjajahan tersebut? Pemaknaan kemerdekaan itu bagi rakyat Indonesia merupakan tugas para generasi setelahnya untuk menjawabnya. Apalagi dalam Pembukaan UUD 1945 ditegaskan bahwa kemerdekaan adalah pintu gerbang menuju cita-cita kebangsaan dan keindonesiaan yang sejati.
Sebagai umat Islam yang merupakan umat mayoritas di negeri ini, maka tentunya makna kemerdekaan tersebut tidak hanya ‘bebas’ dari penjajahan bangsa lain tetapi harus mampu dimaknai dalam perspektif Alquran yang menjadi pedoman hidup kita.
Alquran paling tidak menjelaskan berbagai kisah kemerdekaan orang-orang terdahulu yang dapat mengilhami kita, bagaimana seharusnya menjadi bangsa merdeka di era globalisasi.
Kisah Nabi Ibrahim, Musa dan Muhammad merupakan beberapa kisah yang bisa kita ambil hikmahnya dalam bercermin memaknai kemerdekaan dalam persepektif Islam.
Amat menarik jika kita mencermati Surat Al-An’am Ayat 76-79 di mana dalam ayat tersebut dikisahkan perjalanan spiritual Nabi Ibrahim dalam mencari Tuhan. Pencarian Tuhan (Allah) tersebut merupakan upaya Ibrahim dalam membebaskan hidupnya dari orientasi hidup yang diyakininya keliru, tetapi kekeliruan itu tumbuh subur di tengah-tengah masyarakatnya.
Masyarakat Ibrahim saat itu mayoritas mereka menyembah berhala, bahkan yang tidak habis ia pikirkan adalah hasil buah tangan orangtuanya dijadikan tuhan oleh kaumnya. Bagi Ibrahim, penyembahan terhadap berhala merupakan kesalahan besar. Sebab manusia telah melakukan penghambaan yang justru menjatuhkan harkat dan martabat dirinya sebagai manusia.
Penghambaan terhadap manusia lainnya tentunya sangat merisaukan hatinya. Baginya ini sesuatu yang salah dan harus diperbaiki. Namun tidak ada tempat untuk bertanya, sehingga ia mencoba ‘mencari’ kepada sesuatu yang patut untuk disembah. Mulailah pencarian dilakukan, sehingga akhirnya ia menemukan jawaban yang membuat ia tidak sia-sia dalam pencariannya tersebut.
Kalau selama ini, penghambaan manusia terhadap manusia begitu sangat menjatuhkan harkat martabat manusia itu sendiri, tetapi setelah ia menemukan jawaban apa yang selama ini menjadi tanda tanya besarnya, maka bentuk penghambaan itu benar adanya.
Belajar dari pencarian Nabi Ibrahim ini, maka kita juga harus sadar, bahwa kemerdekaan adalah bentuk dari pembebasan diri dari penghambaan terhadap manusia. Di saat kita masih menghambakan manusia, maka sesungguhnya kita belum merdeka. Tetapi ketika kemerdekaan tersebut sampai kepada bentuk penghambaan diri kepada Allah, maka di saat itulah nilai-nilai kemanusiaan kita sudah menemukan apa yang kita cari tersebut. Karena itulah dalam pembukaan UUD 1945, kalimat: berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa merupakan bentuk kemerdekaan kita dari menghambakan makhluk-makhluknya. Jadi sadari itu.
Makna kemerdekaan juga dapat dipetik dari kisah Nabi Musa ketika membebaskan bangsanya dari penindasan Firaun. Keangkuhan rezim penguasa ini membuat mereka tak segan membunuh dan memperbudak kaum laki-laki bangsa Israel dan menistakan kaum perempuannya. Keangkuhan inilah yang mendorong Musa tergerak memimpin bangsanya untuk membebaskan diri dari penindasan, dan akhirnya meraih kemerdekaan sebagai bangsa yang mulia dan bermartabat sebagaimana tertulis di dalam QS Al-A’raaf:127, Al-Baqarah:49, dan Ibrahim:6.
Kemerdekaan yang kita raih, bukanlah ‘hadiah’ dari bangsa Jepang atau Sekutu tetapi bagian dari perjuangan dalam membebaskan diri dari penindasan bangsa-bangsa yang ‘angkuh’ tersebut. Kemerdekaan yang diproklamirkan pada 17 Agustus tersebut hakikatnya juga merupakan momen yang mengakhiri episode keangkuhan dan penindasan rezim kolonial. Walaupun pembebasan sudah selesai, namun harus diingat, tugas terberat dari bangsa ini adalah mempertahankan kemerdekaan itu, karenanya kita membutuhkan pemimpin-pemimpin yang sayang dan cinta kepada rakyatnya sendiri. Bukan kepada rakyat orang lain. Tidak hanya cinta sebatas bibir, namun juga mencintai dan mengayomi dalam bentuk dan tindakan nyata. Ini juga makna kemerdekaan.
Lalu cerminan dari makna kemerdekaan dalam perspektif Islam adalah tentang kisah sukses Nabi Muhammad dalam mengemban misi profetiknya di muka bumi.
Nabi Muhammad saat menjalani misinya menghadapi sebuah masyarakat yang dikenal dengan istilah jahiliyah (bodoh). Kenapa disebut jahiliyah karena mereka mengalami apa yang disebut disorientasi hidup. Karena itulah Rasulullah berjuang keras mengajarkan kepada umatnya untuk menyembah Allah Swt. Tidak hanya menyelesaikan soal akidah saja, tetapi Rasulullah juga melakukan upaya-upaya ‘memerdekaan’ masyarakat di bidang ekonomi, sosial dan sebagainya.
Kalau selama ini terjadi penindasan ekonomi di mana Alquran menjelaskan bagaimana kekayaan hanya berputar pada kelompok-kelompok tertentu saja, lalu muncullahajaran Islam yang dibawa Rasulullah agar masyarakat juga perduli dengan kesejahteraan sosial dan keadilan ekonomi (QS Al-Humazah:1-4; Al-Maa’uun:2-3).
Rasulullah juga mengkampanyekan pembebasan budak, kesetaraan laki-laki dan perempuan, dan kesederajatan bangsa-bangsa. Di dalam QS Al-Hujaraat: 13, Allah menjelaskan bahwa di mata-Nya semuanya sama, tidak ada yang membedakan di antara mereka, kecuali ketakwaan.
Inilah cerminan dalam pemaknaan kemerdekaan menurut Islam. Kemerdekaan yang kita raih dari para penjajah tidaklah berhenti sampai pada Proklamasi 17 Agustus 1945, tetapi harus terus ‘berkobar’ sehingga tidak ada lagi bentuk penghambaan manusia kepada manusia atau penghambaan manusia kepada sesuatu yang ia kreasikan sendiri, dan akhirnya ditemukan makna kemerdekaan secara hikiki seperti penemuan dari pencarian Nabi Ibrahim. Kalau sudah pada titik itu. Maka di situlah kita disebut telah merdeka.