Oleh: J Anto
MENGANDALKAN semangat persaudaraan dan kecintaan terhadap kesenian tradisional, yang makin sepi diminati anak-anak muda Jawa Deli, membuat nafas paguyuban kuda lumping masih bisa diperpanjang. Mereka saweran membeli tanjak dan properti kuda lumping.
Sebagian alat musik seperti saron dan demung dibuat sendiri. Honor manggung disimpan untuk kas paguyuban. Sampai kapan nasib paguyuban seni kuda lumping harus nungging?
Kuda lumping nasibnya nungging/mencari makan terpontang-panting/aku juga dianggap sinting/sebenarnya siapa yang sinting/Berputar putar dalam lingkaran/Menari tak sadarkan diri/Mata terpejam mengunyah beling/Mempertahankan hidup yang sulit….
Penggal syair lagu Sawung Jabo dan Iwan Fals yang dinyanyikan Sugali Ibnu (24) membuat Sudarto (54), Denny Karo-Karo (23), Tri Sudarito Putra (27), dan Agung Saputra Lubis (22) tertawa terkekeh. Sekalipun syair lagu itu menohok dan menertawai nasib pemain kuda lumping, namun mereka masih bisa tertawa. Walau terseilip kegetiran di dalamnya.
"Main kuda lumping memang bukan untuk cari nafkah. Tapi ndak hanya kuda lumping, kesenian tradisional Jawa lain pun di sini susah untuk cari makan," ujar Sudarto.
Hujan Selasa (6/9) malam, sudah sekitar satu jam berhenti mengguyur sejumlah kawasan Medan. Termasuk di Jalan Pasar 1 Kelurahan Tanjung Sari, Kecamatan Medan Sunggal.
Namun bau tanah basah yang menguap dari halaman rumah Sudarto, samar masih terendus di hidung. Sejak 2015, rumah Sudarto memang dijadikan markas paguyuban kesenian kuda lumping Legowo Putro. Ada sekitar 20 anak muda yang tergabung di grup ini. Mereka berlatih, berdiskusi, dan merancang pertunjukkan dari sini. Ada yang jadi penari, tanjak (pemain musik), seksi perlengkapan, serta gambuh atau pawang. Tentu, yang terakhir ini tak sembarang orang bisa.
Kuda lumping atau juga disebut jaran kepang, jathilan di Jogjakarta atau ebeg di Banyumas adalah kesenian tradisional Jawa, di mana penari menunggang kuda yang terbuat dari bambu yang dianyam dan dibentuk menyerupai kuda. Rambut di kepala kuda terbuat dari hiasan plastik atau ijuk yang digelung atau dikepang. Kuda lumping ini dicat dan dihiasi kain beraneka warna.
Tarian kuda lumping biasanya hanya menampilkan adegan prajurit berkuda, akan tetapi beberapa penampilan kuda lumping juga menyuguhkan atraksi kesurupan (trance) kekebalan dan kekuatan magis. Pawang adalah orang yang punya keahlian khusus mengundang roh halus atau endang.
Di paguyuban Legowo Putro yang berdiri sejak 2015, sang gambuh tak lain Sudarto sendiri. Pria kelahiran Wonogiri yang ikut "bedol desa" ke Medan sejak 1972, tergolong pemain kuda lumping senior. Ia pernah aktif bermain dan memimpin grup kuda lumping Dharma Kusuma sejak 2002. Pentas mainnya tak hanya di Medan, tapi merambah ke Pematangsiantar, Kisaran, Limapuluh sampai Tigabinanga, Dairi.
Saat Pilkada Medan 2005, mereka juga pernah ditanggap seorang kandidat untuk menghibur massa yang menghadiri kampanye.
Sebuah toko roti di Jalan Setia Budi bahkan menyewa grup ebeg ini selama 15 hari nonstop untuk meramaikan acara pembukaan, kecuali Jumat malam. Mereka beraksi mulai pukul 16.00 WIB sampai jelang magrib. Lalu dilanjutkan usai salat sampai pukul 23.00 WIB.
Penonton membludak sekalipun kadang diguyur hujan. Jalan Setia Budi pun waktu itu lumpuh. Posek Medan Sunggal akhirnya meminta pertunjukkan dikurangi durasinya jadi 10 hari. Saat atraksi berlangsung, banyak penonton ikut tertular mabuk sehingga ramai-ramai ikut menari.
Grup yang dibina Suratman (almarhum), tokoh Banyumas Gel itu bubar dilanda konfik. Lalu sejak 2015, Sudarto mendirikan grup baru. Anggotanya kebanyakan anak muda lintas suku. Beberapa aturan diberlakukan. Sebagai gamboh ia melarang atraksi tari yang menimbulkan kesan sadis dan tidak mendidik. Penari juga dilarang menenggak minum keras saat bermain. Honor manggung masuk ke kas paguyuban dan digunakan untuk kebutuhan anggota.
Bagi Sudarto, mengundang roh halus bukanlah pekerjaan sulit. Ia biasanya melakukan ritual dengan membakar kemenyan disertai empat macam bunga, yakni kantil, melati, mawar, dan kenanga. Khusus bunga kantil, mesti dimasukkan dalam gendang agar bisa memberi pengaruh magis kepada pemain. Soal penari yang mabuk karena masuknya roh halus, ia punya aturan keras.
Mengurangi Unsur Sadisme
"Kita harus mengendalikan mereka, bukan kita yang dikendalikan roh halus saat mabuk," katanya. Mabuk adalah istilah lain dari trance. Suatu keadaan saat seorang penari menerima masuknya roh halus dan mengambil kendali penari. Dalam keadaan trance, penari mempunyai kekebalan dan kekuatan ekstra.
"Apa saja bisa dimakan, dapat broti kita makan broti, dapat paku kita makan paku," ujar salah seorang penari kuda lumping senior, Supri (47), yang sudah 13 tahun jadi penari kuda lumping. Namun sejak bergabung ke Legowo Putra, ia tak mau lagi mengalami mabuk total saat menari. Di bawah bimbingan Sudarto, ia kini bisa mengendalikan roh halus yang merasuki saat menari.
"Kalau sudah mabuk total itu haram, sudah setan yang mengendalikan," tambah penari lainnya, Agung Saputra Lubis, walau mengaku baru kurang lebih satu setengah tahun. SaaI trance, Sudarto tak mengizinkan penarinya makan beling atau kaca, apalagi makan ayam mentah dan meminum darah ayam.
"Itu sadis dan tak mendidik, apalagi di antara penonton juga ada anak-anak, nanti mereka bisa meniru," katanya. Namun untuk aksi mengupas kelapa masih diizinkan. Juga makan ubi mentah.
Untuk jadi penari kuda lumping di grup ini, harus mengantongi izin orangtua. Ini penting, mengingat pemain yang bergabung kerap penasaran ingin trance saat menari. Syarat lain tak mengonsumsi minuman keras saat atraksi.
"Kalau pemain tak mau trance atau hanya sekadar menari, tak masalah, tak perlu izin," tutur bapak tiga anak ini. Sudarto tak membatasi orang yang ingin bermain di grupnya. Yang penting mengikuti aturan main yang ada. Soal suku, ia juga tak menyoal. Di grup itu, ada yang suku Karo, Batak, juga blasteran Aceh-Jawa.
Contohnya Denny Miswar Karo-Karo (23), sehari-hari ia sales sebuah produk makanan ringan terkenal. Awalnya orangtua Denny keberatan dengan pilihan anaknya. Denny bahkan sempat dijewer dan diketok kepalanya saat ketahuan tengah berlatih menari.
"Ayah saya tak ingin nanti saya trance," tuturnya. Denny akhirnya memilih jadi panjat. Ia piawai memainkan segala alat musik gamelan yang mengiringi permainan kuda lumping, terutama saron. Termasuk gendang, gong, demung, dan kethuk. Denny mengaku tertarik saat mendengar musik gamelan yang terasa padu di telinga.
Keinginan belajar memainkan perangkat gamelan muncul tak hanya dengan melihat pertunjukan kuda lumping, tapi juga musik campur sari. Sebelum bergabung di Legowo Putro, pada 2013 Denny bergabung di grup kuda lumping Putra Siliwangi. Namun baru 2 tahun usianya, muncul konflik, grup itu pun bubar pada 2015.
Kepuasan Batin
Membentuk grup kuda lumping, menurut Sudarto lebih karena hubungan emosional sebagai orang Jawa yang tak ingin kuda lumping lenyap ditelan zaman. Ia prihatin melihat anak-anak muda Jawa Deli lebih gandrung terhadap kebudayaan pop barat.
"Ndak salah senang kebudayaan barat, tapi jangan lupakan kebudayaan sendiri," katanya. Karena itu ia senang di sanggarnya ada anak muda seperti Denny Marwan Karo-Karo. Denny sejatinya tak memiliki akar budaya seni kuda lumping. Anak kedua dari tiga bersaudara ini berayahkan Karo dan beribu Minang. Ia tertarik main kuda lumping karena anak muda Jawa sendiri tak banyak yang menekuni kesenian kuda lumping.
Sudarto sadar bahwa seni tradisional susah "dijual". Kalaupun ia mau berjibaku mengembangkan kuda lumping, semata karena ia tak ingin seni tradisional itu punah di tanah Deli. Berharap mendapat limpahan ekonomi dari kesenian kuda lumping, tak pernah terlintas di pikirannya. Yang terjadi ia justru harus rela berkorban. Tak hanya waktu dan tenaga untuk kerja yang kadang hilang, tapi juga materi.
Karena itu, kepada anggota paguyuban, ia tak pernah menjanjikan materi. Honor main yang mereka terima pun, berkisar Rp 1,5 juta disimpan untuk kas paguyuban. Biasanya dana itu digunakan untuk membantu anggota yang sakit, subsidi bagi yang mau nikah, pengadaan kostum atau mengganti properti yang rusak.
"Bermain kuda lumping itu membuat jiwa saya terhibur, meski kena hujan, panas atau angin yang kadang buat badan flu, ya tak apa-apa," katanya. Kepuasan jiwa, tak bisa diukur dengan materi. Yang penting, ia juga senang saat melihat penonton ikut tertawa dan menari bersama penari saat trance.
Itulah kuda lumping, yang mencoba menghibur rakyat ditengah beban himpitan hidup yang makin berat. Seperti juga nasib pemain kuda lumping sendiri.