Menyangkal Tuhan demi Jabatan

Oleh: Jekson Pardomuan. “Tetapi barangsiapa menyangkal Aku di depan manusia, Aku juga akan menyangkalnya di depan Bapa-Ku yang di sorga." (Matius 10 : 33).

Menyangkal diri sendiri mungkin hal biasa yang kita lakukan untuk menye­lamatkan diri dari hal-hal yang tidak kita inginkan. Akan tetapi ketika kita me­nyangkal Yesus demi sesuatu mung­kin bagi sebagian orang hal biasa juga. Se­lain merasa tidak bersalah, me­nyangkal Yesus bagi sebagian orang ter­paksa dilakukan untuk mendapatkan ke­un­tungan pribadi.

Penyangkalan yang dituliskan dalam Matius 26:75 Maka teringatlah Petrus akan apa yang dikatakan Yesus kepada­nya: "Sebelum ayam berkokok, engkau telah menyangkal Aku tiga kali." Lalu ia pergi ke luar dan menangis dengan se­dihnya.

Menyangkal Yesus menurut anak TUHAN, tidak mungkin dilakukan. Padahal, tanpa sadar kita telah me­nyang­kal Yesus dalam perilaku dan kehi­dupan kita sehari-hari. Kita menga­ta­kan bahwa masalah apapun tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih setia Tu­han. Mungkin itu juga yang terjadi de­ngan diri Petrus. Ketika Yesus ber­kata kepada murid-murid-Nya me­nge­nai goncangan iman, Petrus menjawab-Nya: "Biarpun mereka semua tergon­cang imannya karena Engkau, aku sekali-kali tidak." (Matius 26:31-33).

Petrus mengatakan komitmen untuk tidak menyangkal Yesus. Tapi kenya­taan­nya, alkitab mencatat bahwa ketika masalah timbul dan menimpa hidupnya, dia menyangkal Yesus sebanyak tiga kali. Inilah kenyataan hidup yang sering menimpa hidup orang percaya. Ketika kehidupan masih nyaman, tenang, tanpa tekanan dan lain sebagainya, seringkali kita dengan angkuh bersikap seperti Petrus dan menyatakan komitmen untuk terus mengiring Tuhan.

Sudah banyak contoh yang kita lihat sen­diri, ada beberapa anak Tuhan yang mem­belot dan mengorbankan harga dirinya, menjual Tuhannya demi untuk mendapatkan jabatan yang menurutnya sangat penting. Padahal, kalau kita tanya hatinya yang paling dalam pasti akan me­rasa bersalah. Hanya karena desakan ke­butuhan dan status social, seseorang bisa dengan mudah menukarkan harga dirinya.

Tidak hanya demi jabatan, ketika masalah mulai menerpa dan sepertinya tidak ada jalan keluar, ketika karir pekerjaan tidak meningkat, ketika sakit penyakit menimpa, dan lain sebagainya, kita merasa sendirian. Kita merasa berada di tengah-tengah orang banyak yang tidak mendukung komitmen kita sehingga kita menjadi takut.

Ketika berada di lingkungan yang ma­yoritas, kita merasa sendirian dan takut kalau hal ini menjadi penghalang bagi kita untuk bergaul. Kita kuatir iden­titas kita menjadi penghalang untuk me­napak karir yang lebih baik dan se­mua­nya itu membuat kita menyem­bunyikan jati diri sebagai pengikut Kristus dengan tujuan agar kita dihargai, dihormati dan dapat diprioritaskan untuk menduduki sebuah jabatan. Dengan kata lain kita menyangkal Tuhan.

Menyangkal pada hakikatnya sangat dekat dengan berbohong dan berkhia­nat. Oleh sebab itu, apa pun alasannya, me­nyangkal merupakan perbuata yang tidak kesatria, melainkan juga tidak terpuji dan bahkan keji. Da­lam keadaan ingin menyelamatkan diri, atau setidak­nya menghindar dari ke­mung­kinan tertimpa hal yang tidak me­nye­nangkan, sering kita lalu memilih sikap untuk melakukan penyangkalan ter­hadap apa yang sudah kita katakan, atau­pun siapa diri kita sebenarnya. Hal se­perti itulah yang telah dilakukan Pe­trus (sampai tiga kali) di halaman rumah Ka­yafas, ketika mengikuti Yesus di­ge­landang ke hadapan Imam Besar.

Membaca kisah Petrus yang me­nyang­kal dan mengkhianati Yesus, apa­lagi kalau mengingat bagaimana ia de­ngan tegas dan lantang berkata di ha­da­pan Yesus dan para murid lainnya, “Se­kal­ipun aku harus mati bersama-sama Eng­kau, aku takkan menyangkal Eng­kau” (Matius 26:35), rasanya kita cen­de­rung untuk mengumpat dan menya­lah­kan Petrus, karena ke-tidak- konsis­ten-nya dan ke-tidak-konsekuen-nya dengan apa yang telah dikatakannya. Ternyata semuanya itu hanyalah “omong besar” belaka, yang sangat bertentangan dengan kenyataannya!

Pertanyaannya, apakah sebagai pe­ngikut Kristus, yang juga mengaku me­nga­sihi dan setia kepada-Nya, kita pasti akan lebih baik dari Petrus, karena me­rasa tidak akan pernah menyangkal Ye­sus sebagai Juruselamat. Tetapi, ti­dak mendengarkan dan menjalankan pe­rin­tah-perintah-Nya secara konsisten dan konsekuen, tidakkah itu juga meru­pakan bentuk nyata dari penyang­kalan terha­dap-Nya?

Tanpa sadar, setiap hari kita juga me­nyangkal Yesus lewat perbuatan dan pe­rilaku kita. Baru-baru ini banyak berita-be­rita yang membuat kita merasa miris dengan beberapa kasus yang melanda anak Tuhan. Perbuatan mereka melang­gar perintah Tuhan seperti tidak ada perasaan bersalah. Sebagian dari mere­ka mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan sebenarnya bukan kehendak me­reka tapi karena desakan kebutuhan keluarga.

Terkadang, kita bisa juga menyang­kal Tuhan karena pasangan hidup kita (suami/isteri) yang mendesak kita melakukan hal-hal yang bertolak bela­kang dengan hati nurani kita. Karena de­sakan kebutuhan ekonomi keluarga, seseorang bisa melakukan korupsi atau hal-hal yang bertolak belakang dengan perintah Tuhan.

Penyangkalan kita terhadap Tuhan seringkali terjadi karena iman percaya kita kepada Tuhan tidak sepenuh hati. Kita masih lebih percaya pada kemam­pu­an dan kekuatan diri kita sendiri, tidak sungguh-sungguh dalam mengikut Tu­han. Firman Tuhan yang kita baca setiap hari bukan hanya untuk dibaca begitu saja, tapi juga direnungkan dan dilaku­kan seturut dengan firman-Nya.

Ketika kita menghadapi persoalan, baik di tempat bekerja atau dimana pun kita berada harus berpegang teguh pada fir­man TUHAN. Ketika kita kuat dan tetap teguh dalam perjalanan hidup kita mengikut Kristus, tantangan dan ham­ba­tan serta godaan sangat banyak meng­giring kita untuk melakukan hal-hal yang tidak berkenan di mata Tuhan. Oleh sebab itu, ketika kita kuat dan tetap ber­pegang teguh pada kebenaran firman Tuhan, maka kita akan tetap kuat dan yakin bahwa Tuhan akan menyertai perjalanan hidup kita dimuka bumi ini. Amin.

()

Baca Juga

Rekomendasi