Polri, dari Kamtibmas ke Perijinan Usaha

Oleh: Manosor Panjaitan.

Masyarakat di Tanah Air telah me­mak­nai bahwa Polri itu “spesialis” me­na­n­gani gangguan bi­dang keamanan dan ke­tertiban ma­sya­ra­kat (kamtibmas), atau kri­minal (umum). Pemaknaan masyara­kat ini juga sesuai dengan ama­nah yang tercantum dalam UU RI No. 2 Tahun 2002 Tentang Ke­po­lisian Negara RI bahwa: tugas dan we­wenang Polri adalah, a)memelihara ke­amanan dan ketertiban ma­syarakat, b)me­negakkan hukum; dan, c)mem­berikan per­lindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Oleh sebab itulah, ketika anggota Polda Sumut masuk ke sentra-sentra industri untuk memeriksa perijinan perusahaan maka muncul keresahan beberapa pelaku usaha mikro kecil (UMKM) yang kemudian minta perlindungan hukum ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan.

Kejadian tersebut dimuat harian ini da­lam judul “Pelaku UMKM Minta Per­­lindungan Hukum” (Analisa, 15/9). Be­­berapa pelaku usaha di sektor per­ta­nian/peternakan, per­ikanan, produk­si mau­pun jasa mendapat surat panggilan dari Poldasu perihal: mohon penjelasan/kla­rifikasi. Sek­retaris Forum Daerah UM­KM Sumut, Fachriz Tanjung me­nya­­takan bahwa pelaku UMKM sudah ter­intimidasi ha­nya karena pelanggaran yang selama ini bersifat adminis­trasi, yang seharusnya menjadi tanggung jawab di­nas terkait.

Alasan kekagetan pelaku UMKM tersebut beralasan sebab selama ini setiap jenis usaha ataupun industri yang ada di Indonesia dibina oleh instansi terkait, semisal: kete­nagakerjaan dibina dan di­awasi oleh Dinas Tenaga Kerja Pe­me­rin­tah Kabupaten (Pemkab)/Kota, atau perizinan di bidang lingkungan hidup (LH) dibina dan dimonitor oleh Badan Ling­kungan Hidup (BLH). Atas dasar ini pulalah penulis menyampaikan ar­gu­men ke pihak Poldasu yang juga “ber­kun­jung” ke perusahaan kami untuk me­meriksa pengelolaan Instalasi Penge­lo­laan Air Limbah (IPAL) dengan me­nya­takan, “bukankah pemeriksaan IPAL ada­lah wewenang dari BLH. Atau paling se­dikit kedatangan aparat Poldasu di­dampingi petugas dari BLH Pemkab?”

Pertanyaannya adalah, ijin diperoleh dari pemerintah yang tentunya setelah m­e­menuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan oleh Pemerintah juga. Bu­kankah yang berkompeten memeriksa dan memonitor setiap hal-hal yang di­per­syaratkan itu adalah si pemberi ijin dalam hal ini pemerintah? Instansi terkait se­misal BLH adalah yang paling mengerti ten­tang pengelolaan lingkungan hidup mi­­salnya, tentang kriterianya, atau ten­tang baku mutu yang dilanggar. Tentunya sa­ngat berbeda penilaian BLH dan ang­gota kepolisian tentang kapan kejadian itu bisa disebut masuk kategori “pence­ma­r­an lingkungan”. Masalah lain, selama ini bila instansi terkait pemda yang me­lakukan pemeriksaan maka selalu di­fa­ha­mi perusahaan atau industri sebagai pem­binaan pemerintah, namun bila yang memeriksa itu adalah anggota kepolisian maka “psikologis” perusahaan adalah penindakan meskipun polisi mengeluar­kan bahasa “minta klarifikasi”. Manu­siawi jika beberapa pelaku UMKM merasa resah, karena mereka menilai terjadi penindakan kepolisian.

Keresahan ini berdasar, sebagaimana pe­nga­kuan pelaku UMKM yang di­pang­gil ke Poldasu yang harus menjalani pe­meriksaan (interogasi) selama berjam-jam. Disebutkan bahkan ada yang diperiksa hingga pukul 22.00 WIB.

Instansi Terkait

Tugas pokok polri tercantum dalam pas­al 13 UU No. 2/2002 yakni di bidang kam­tibmas, penegakan hukum, serta mem­beri perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam pasal 14 disebutkan bahwa; dalam me­lak­sanakan tugas pokok sebagaimana di­mak­sud dalam pasal 13, kepolisian ber­tugas antara lain dicantumkan dalam butir (f) yakni: melakukan koordinasi, penga­was­an, dan pembinaan teknis terhadap ke­polisian khusus, PPNS (Penyidik Pe­gawai Negeri Sipil), dan bentuk-bentuk pe­­ngamanan swakarsa.

Dengan mencermati ketentuan pasal 14 butir (f) jelas disebut tentang adanya koordinasi dengan instansi lain. Atas dasar ini pula ketika penulis menanyakan kepada pihak kepolisian yang hendak memantau pengeloaan IPAL bukankah seharusnya ini ranah BLH, atau paling sedikit kepolisian didampingi pihak BLH.

UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Per­lin­dungan dan Pengelolaan Lingku­ngan Hidup (UU LH) dalam pasal 63 ayat (3) disebutkan bahwa: dalam perlin­dungan dan pengelolaan lingkungan hidup maka pem­kab/kota memiliki tugas dan wewe­nang antara lain; melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan hidup dan perundang-undangan. Dan juga melakukan penegakan hukum lingku­ngan hidup pada tingkat kabupaten/kota.

Dalam pasal 94 diatur tentang wewenang PPNS bidang lingkungan hi­dup yakni: Selain penyidik polisi, PPNS ter­t­entu di lingkungan instansi PNS tertentu di lingkungan instansi pemerin­tah yang lingkup tugas dan tanggung ja­wab­nya di bidang perlindungan dan pe­ngelolaan lingkungan hidup diberi we­wenang sebagai penyidik sebagaimana di­­maksud dalam hukum acara pidana untuk melakukan penyidikan tindak pi­dana lingkungan hidup.

Tentang kewajiban pemantauan ling­kungan hidup tercantum dalam pasal 72: Menteri, gubernur atau bupati/walikota se­suai sengan kewenangannya wajib melakukan pengawasan ketaatan penang­gung­jawab usaha dan/atau kegiatan ter­hadap izin lingkungan. Sedangkan izin ling­­kungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usa­ha dan/atau kegiatan yang wajib am­dal atau UKL-UPL dalam rangka perlindu­ngan dan pengelolaan lingku­ngan hidup se­bagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan (butir 35 Ke­tentuan Umum UU LH).

Jadi dari ketentuan ini dimaknai bahwa instansi pemberi ijinlah yang berkom­pe­ten memeriksa kepatuhan dalam me­menuhi seluruh item yang dipersyaratkan da­lam mengurus sebuah perijinan. Mung­kin menjadi pertanyaan adalah, apakah pol­ri bisa masuk ke area pengelolaan ling­­kungan hidup misalnya? Tentunya bisa sepanjang pe­ngelolaan tersebut menyentuh wilayah kriminal (umum) misalnya adanya kesalahan yang menim­bul­kan kerugian materi bahkan jiwa se­seorang. Bila masih menyangkut wilayah ad­ministratif bahkan tindak pidana lingkungan hidup berupa pencemaran maka menurut hukum yang ber­kompeten adalah instansi terkait beserta PPNS.

Kamtibmas

Ada pencerahan yang kita peroleh dari ke­bijakan ke­polisian yang sepertinya me­ma­hami betul bahwa hal utama yang paling dibutuhkan anggota masyarakat adalah rasa aman karena terlindungi dari gang­guan kamtibmas. Dibe­ritakan bah­wa, Polsek Delitua blusukan ke Pasar Tradisional (Analisa, 23/9). Kapolsek Delitua Kompol Wira Prayitno mengun­jungi pasar tradi­sional, menemui penjaga parkir dan berpesan untuk menata parkir agar tidak mengganggu pengunjung pasar dan mengantisipasi aksi kriminal pen­curian kenderaan bermotor. Kepada para pe­dagang dita­nyakan apa ada keluhan di bidang keamanan. Atas pen­cerahan dari Pol­sek Delitua ini maka ada harapan bah­wa semestinya kunjungan anggota Pol­dasu ke sentra-sentra usaha sebagai­mana dilakukan di daerah Sumut baru-baru ini adalah untuk memonitor kondisi kam­tibmas serta me­nanyakan ada tidaknya gangguan keamanan. Sebab, bu­kan­kah masalah perijinan dan penge­lo­laan lingkungan hidup sudah ada instansi ter­kait yang menangani?

Gangguan kamtibmas itu perlu sekali fokus bagi Polri. Atas pertimbangan ini pula kita merasa Polri perlu mem­bentuk Detasemen Anti Premanisme. Ini meng­ingat adanya wacana Polri membentuk De­tasemen Tipikor. Bukankah korupsi sudah ada spesialisnya juga yakni KPK (Ko­misi Pemberantasan Korupsi)? De­tase­men Anti Premanisme menjang­kau masyarakat hingga ke level bawah.***

(Penulis: HRD sebuah industri perkebunan)

()

Baca Juga

Rekomendasi