Ahlan Wa Sahlan Ya Dhuyufurrahman

Oleh: Muhammad Hisyamsyah Dani

Dari Jabir ra meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda : “Haji yang Mabrur tiada lain balasannya kecuali surga.” Lalu beliau ditanya, “apa tanda kemabrurannya ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “memberi makan orang yang kelaparan, dan tutur kata yang santun”. (HR. Ahmad, Thabraniy, dan lainnya).

Puncak ritual pelaksanaan iba­dah haji telah mencapai titik puncaknya, hal tersebut ditandai dengan dilaksanakannya ibadah wukuf di Padang Arafah pada tanggal 9 Zulhijjah lalu. Dan, kini para tamu-tamu Allah tersebut satu per satu mulai kembali ke tanah air, berkumpul kembali bersama keluarga setelah hampir sebulan menjadi Dhu­yufurrahman ( tamu-tamu Allah ). Kloter I tiba di tanah air Rabu malam (6/9) untuk jamaah Kloter I Debarkasi Medan berjumlah 391 orang dan langsung diterima Gubsu, Dr Ir H.Tengku Erry Nuradi (Waspada,Rabu 6 September).

Kedatangan mereka tentu saja disambut haru oleh anggota keluarga maupun sanak famili di tanah air. Gubsu juga berpesan agar para jamaah yang akan kembali ke tanah air agar dapat menjadi suri tauladan dan panutan yang baik bagi masya­rakat dan keluarga. Namun, dibalik esensi Ibadah Haji terselip satu cerminan pencapaian menjadi Haji yang Mabruroh. Untuk men­da­patkan gelar tersebut, pastilah dibutuhkan usa­ha yang tidak sedikit, pencapaian yang mengorbankan bukan hanya materi semata, na­mun kekuatan jiwa yang tak akan pernah di dapat dari segi efektifitas manusia manapun.

Sering kali kita mendengar se­pu­lang para jemaah haji ke tanah air, maka seperti sudah menjadi tradisi masyarakat Indonesia adalah saling mendoakan satu sama lain. Jemaah yang kembali pulang men­doakan agar kiranya Allah mem­beri kesempatan untuk saudaranya agar dapat bersua menjadi tamuNya. Para handai taulan dan umat muslim yang datang juga ber­do’a agar kiranya ibadah Haji yang telah ditunaikan mendapat keberkahan dari Ilahi serta mendapatkan predikat mabruroh.

Memang tak mudah seperti mem­balikkan telapak tangan, me­raih predikat seorang Dhuyu­furrah­man yang tetap istiqomah sebelum dan sesudah melaksanakan ibadah haji. Untaian kalimat yang terlontar, “Semoga menjadi haji yang mabrur” bukanlah hal asing di telinga kita. Secara bahasa “Haji mabrur” berarti haji yang baik”. Mabrur berasal dari kata al- birru” yang artinya kebaikan. Da­lam kitab, Lisan al-Arab, “mabrur” dapat berarti baik, suci, dan bersih dan juga berarti maqbul atau diterima. Sedangkan, menurut istilah yang telah dirumuskan oleh para ula­ma, “haji mabrur” memiliki ber­bagai macam makna.

Dalam kitab Fathul Baari, Sya­rah Bukhari-Muslim disana dijelaskan bahwa haji mabrur adalah haji yang maqbul yakni haji yang diterima oleh Allah swt. Imam an-Nawawi dalam syarah Muslim ber­kata: “Haji mabrur itu ialah haji yang tidak dikotori oleh dosa, atau haji yang diterima Allah swt, yang tidak ada riya’ tidak ada sum’ah, tidak ada rafats dan tidak ada fu­suq”. Di dalam kitab Minhajul Mus­limin, Abu Bakar Jabir al-Ja­zaari mengungkapkan bahwa haji mabrur itu ialah haji yang bersih dari segala dosa, penuh dengan amal sholeh dan kebajikan-kebajikan.

Menilik apa yang disampaikan para ulama-ulama di atas, tanda-tanda atau ciri haji mabrur seperti tersirat dalam Surah Al-Hajj ayat 58, Allah swt menjelaskan salah satu tujuan haji adalah “Agar mereka (orang-orang yang melaksanakan haji itu) menyaksikan manfaat-manfaat (yang banyak) bagi mereka”. Setelah kita memahami sekilas tentang makna atau pengertian haji mabrur ini, baik menurut arti bahasa maupun berdasarkan istilah yang telah disampaikan oleh para ulama, maka kemudian akan muncul pertanyaan kepada kita, apa ciri atau tanda bahwa ibadah haji yang telah ditunaikan oleh sese­orang bisa disebut dengan haji mabrur?

Bila ditelisik dan direnungi lebih mendalam, yang mampu menilai mabrur atau tidaknya haji seseorang hanyalah Allah swt. Kita sebagai insan yang telah menunaikan ibadah haji tidak bisa memastikan bahwa ibadah haji seseorang adalah haji mabrur atau tidak. Namun para ulama telah banyak menyebutkan ada tanda-tanda mabrurnya haji sese­orang, berdasarkan keterangan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. Walaupun hal ini juga tidak bisa memberikan kepastian mabrur atau tidaknya haji seseorang, namun begitu, tidak ada salahnya kita mengambil pelajaran dari tanda-tanda atau ciri-ciri haji mabrur yang telah disebutkan oleh para tersebut.

Menurut beberapa ulama ciri-ciri tersebut diantaranya, 1) semakin zuhud terhadap dunia dan semakin cinta kepada akherat, Imam Hasan Al- Bashri rohimahumulloh berkata : haji yang mabrur adalah haji yang menjadikan pelakunya ketika pulang dari ibadah haji menjadi orang yang semakin zuhud dalam kehidupan dunia dan semakin condong pada urusan kehidupan akhiratnya. Seseorang yang zuhud ia tidak lagi mau diperbudak oleh hartanya. Dunia, boleh saja berada di tangannya namun tidak di hatinya. Aktifitasnya dalam kehidupan dunia tidak akan lagi mampu melalaikannya dari ingat kepada Allah swt. Ia tidak melupakan tanggung jawab mendidik isteri dan anak-anaknya. Ia senantiasa berusaha agar penghasilannya hanya dari usaha yang halal, bukan dari hasil yang haram seperti renten, riba, suap, korupsi, mencuri, judi, pungli, memeras, menipu, dan memakan hak orang lain. 2) hubungan vertikal de­ngan Allah swt menjadi lebih baik dengan peningkatan gairah beri­badah sekembalinya dari Tanah suci. Mereka yang meraih haji mabrur akan semakin rajin ke masjid untuk sholat berjama’ah ataupun menghadiri berbagai kegiatan keagamaan. Sebab, selama mereka di tanah suci telah melatih dirinya untuk menerus sholat berjamaah di masjid. Bahkan dapat dilihat efektifitas ibadahnya meningkat tajam.

Kualitas ibadahnya kepada Allah swt menjadi lebih baik, sholat yang lima waktu tidak pernah di­tinggalkan, bahkan selalu, tepat pada waktunya. Segala ibadahnya dilaksanakan dengan penuh rasa cinta kepada Allah swt yang telah memberikan nikmat yang tidak terhingga. Ia menjadi seseorang yang selalu siap mengorbankan harta, tenaga, dan waktu untuk menggapai ridho dari Allah swt. 3) hubungan horizontal semakin lebih baik dengan tumbuhnya rasa kepe­dulian sosial yang semakin tinggi. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Jabir r.a Rasulullah saw per­nah bersabda : Haji mabrur tiada lain balasannya kecuali surga”. Lalu, beliau ditanya, “Apa tanda kemabrurannya ya Rasulullah ?” Beliau menjawab, “Memberi makan orang yang kelaparan, dan tutur kata yang santun”(HR. Ahmad, Thabrany, dan lainnya).

Dalam hadits diatas, nilai kepe­dulian sosial terungkap dalam kalimat, “Memberi makan orang yang kelaparan”. Dari sini dapat dipahami secara lebih luas lagi dalam bentuk memberikan berbagai macam bantuan sosial. Bisa berupa pendidikan, bersedekah, hingga suka bergotong royong demi kemashlahatan ummat manusia.

Ibadah haji yang ditunaikan harus mampu memperbaiki akhlak dan tingkah laku. Sesudah kembali dari tanah suci. Itu semua menjadi sarana untuk mengembalikan lagi tujuan hidup kita agar kembali kepada fitrah manusia. Yaitu fitrah memiliki akhlak yang terpuji. Perlu pula diingat bahwa tujuan ibadah haji adalah untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt. Oleh sebab itu, seseorang yang telah menunaikan ibadah haji namun tetap memiliki akhlak yang buruk, maka itu tanda bahwa Allah swt tidak menerima amalannya.

Setiap insan yang berharap mabrur dari ibadah haji menjadikan haji sebagai titik tolak untuk membuka lembaran baru dalam menggapai ridho Allah ta’ala. Ia akan semakin dekat kepada sang KhalikNya. Semoga Allah senantiasa memberika pertolongan kepada kita semua untuk senantiasa ikhlas dalam setiap ibadah, istiqomah pada jalur yang benar, dalam amalan-amalan ibadah kita. Semoga ada manfaatnya. Wallahu ‘Alam

Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN SU& Kru LPM Dinamika UIN-SU Medan

()

Baca Juga

Rekomendasi