Oleh: J Anto
SESUNGGUHNYA perempuan sanda menghadapi dua medan ’pertempuran’ sekaligus: di atas matras ia harus menaklukkan lawan, di tengah masyarakat mereka harus bertarung melawan budaya patriarkhi yang masih bercokol kuat. Disebut tomboi, perempuan berotot atau perempuan maskulin adalah ‘medan juang’ lain yang harus mereka hadapi.
Di belakang tenan pertandingan, Minggu (14/1) malam, Naomi Permatasari Hutauruk (17) menunjukkan memar lutut kaki kanannya. Memar itu berwarna merah kebiruan, bulat seukuran bola tenis. Namun tak tergambar raut wajah jerih atas luka yang baru didapat pelajar kelas tiga SMK Negeri Kisaran di pertandingan final Kejuaraan Daerah Sanda “Centre Point” Cup 2018 itu.
“Sudah risiko, tinggal diurut-urut saja sembuh. Sakit sih, tapi kalau merah kebiruan ini, butuh agak lama untuk normal kembali,” ujar Naomi. Hidung Cristyn Renata Situmorang, atlet prajunior kelas 42 kg juga sempat berdarah terkena pukulan lawan.
Luka lebih serius juga pernah dialami Naomi. Saat ikut Popnas 2017 lalu di Medan, kakinya sempat bengkak karena tulang keringnya berbenturan dengan pihak lawan. Kurang lebih sepuluh hari ia harus jalan terpincang. Namun ia mengaku tak kapok. Bahkan bibirnya juga sempat pecah berdarah terkena pukulan lawan.
Sekali lagi, semua cedera itu tak membuat mentalnya goyah. Atlet yang baru bertanding di kelas senior 48 kg itu mengaku bukan tipe cewek mudah menangis. Ia juga tak menyoal kulit tubuhnya yang putih mulus, bakal mengalami cedera di sana-sini. Berlatih sanda sejak kelas 1 SMK, Naomi memilih olahraga beladiri asal Tiongkok itu karena sadar bisa memberinya bekal bela diri jika kelak merantau ke Medan untuk kuliah.
“Saya lihat di tv, banyak kriminalitas di kota, jadi belajar sanda awalnya untuk jaga-jaga kalau nanti kuliah di Medan,” ujarnya.
Belajar beladiri yang tergolong keras seperti sanda, taekwondo, pencak silat, dan karate, muathay dan mixed martial art (MMA), kini memang terbuka lebar bagi kaum perempuan. Anggapan bahwa perempuan lemah lembut dan ‘dunianya’ hanya seputar dapur dan kasur, menurut Dosen Psikologi Fakultas Ilmu Keolahragaan UNIMED, Doris Apriani Ritonga (47) hanya sekadar konstruksi citra masyarakat yang hidup ‘subur’ dalam budaya patriarkhi.
Bahwa olahraga bela diri seperti sanda merupakan olahraga keras, memang benar. Tak sedikit atlet pingsan atau terkapar cedera sehingga harus ditandu keluar arena pertandingan. Jari kaki ter-kilir, otot paha robek, muka benyok, hidung berdarah atau tangan patah sudah tak terhitung terjadi. Namun semua itu tak membuat jera para atlet sanda. Bahkan saat berlatih tanding pun, cedera mudah menghampiri atlet, namanya juga pertarungan gaya bebas
Sekalipun begitu, hal itu tak membuat kuncup nyali perempuan memilih sekaligus menekuni sanda atau yang semua dikenal sebagai sanshou.
Junita Malau, atlet kelas 48 kg misalnya tak memasalahkan jika sampai mengalami luka gores di pipi atau bahkan hidungnya. Peraih medali emas PON 2016 Bandung ini dalam wawancara di sebuah majalah, bahkan sembari bercanda berujar, “Kalau hidung saya bonyok, ya tinggal diobati, gigi rontok bisa diganti, bahkan pipi saya koyak, kan bisa dijahit.”
Namun beruntung, Junita yang meraih medali perak pada The 7th Sanda World Cup 2014, belum sempat mengalami cedera serius. Kalau sekadar hidung berdarah dan kaki terkilir, menurutnya itu hal biasa.
Moria Manalu, peraih medali emas pada Kejuaraan Dunia Sanda 2014, mengakui bahwa terkena tendangan, pukulan atau bantingan, bukan hal yang perlu ditakutkan. Peraih medali emas tiga kali berturut pada PON 2008, 2012, dan 2016 itu, menganggap berlatih dan bertarung sanda membuatnya seolah menemukan kembali “dunianya”.
Rupanya saat SMA, ia suka terlibat perkelahian bersama teman-teman laki-laki satu geng, tapi di luar sekolah. Ia memang tergolong ‘cewek tomboi’. Sejak kecil lebih suka bermain bersama bocah laki-laki seusia. Dalam memilih jenis mainan pun ia lebih suka jenis mobil-mobilan. Saat berlatih dan bertarung di sebuah kejuaraan sanda, ia merasa kebiasaan ribut-ribut di luar sekolah seolah bisa pindah ke atas ring pertandingan.
Gabriela Purba (20), atlet sanda Simalungun, yang juga mahasiswa FIK Unimed stambuk 2016, mengaku sempat oyong saat sebuah pukulan keras lawan mendarat di mukanya. Beruntung ia tak sampai jatuh. Kaki kirinya juga terkilir kena tendangan lawan. Kalah dalam pertandingan tak membuat bungsu dari empat bersaudara ini putus asa. “Gagal itu hal biasa kalau ingin menang,” katanya.
Gabriela memang penyuka olahraga keras. Ia tak hanya bermain sanda, tapi juga terjunke muathay. Pada Kejurda Muathay Sumut 2017 lalu, ia mendapat medali perak.
“Olahraga tatung itu selalu membuat saya penasaran,” katanya. Padahal ayahnya sempat tak setuju ia terjun menekuni olahraga keras. “Tak pantas untuk seorang perempuan,” kata ayahnya. Tapi setelah dijelaskan pelatih, perlahan ayahnya menerima pilihan puteri bungsunya.
Lebih Takut Berlatih
Pengertian bahwa sanda merupakan olahraga keras, tak terbatas saat atlet saling bertarung. Tapi juga saat mereka mengikuti program latihan. Deni Lisa Ginting (17) dan Feni Ginting (17), keduanya atlet junior asal Tanah Karo, mengaku lebih takut disuruh berlatih dibanding bertanding.
“Kalau bertanding kita bebas memukul, menendang yang penting bisa kalahkan lawan dan waktunya hanya 3 menit,” ujar Deni Ginting, yang berturut meraih medali emasuntuk kelas 56 kg junior puteri pada Kejurda Sumut 2017 dan 2018.
Sebaliknya, saat berlatih teknik dan fisik, bisa dilakukan Deni dan Feni berminggu-minggu. Latihan fisik, menurut mereka sangat menguras tenaga. Terutama saat harus angkat barbel atau berlatih memukul dan menendang samsak.
“Angkat barbel bisa sampai 100 kg, sementara memukul dan menendang samsak bisa sampai 5 menit, dan pada 30 detik terakhir kita harus punya power supaya pukulan atau tendangan lebih cepat,” ujar Deni. Itu semua, menurut keduanya, butuh tenaga ekstra. Sementara sebagai pelajar, mereka juga masih mengerjakan tugas-tugas sekolah.
Bahkan saat berlatih di Tiongkok, Junita Malau tak hanya berlatih memukul dan menendang samsak. Tapi juga ban (luar) mobil yang dibungkus kain. Sementara menurut Master Supandi Kusuma, pelatih sanda di Tiongkok, saat menggembleng atletnya, tergolong sangat keras. Ia pernah melihat mereka bukan disuruh menendang ban mobil tapi besi.
“Setelah berlatih kaki mereka digosok pakai minyak gosok agar tidak bengkak atau memar,” ujar Master Supandi Kusuma yang baru-baru mendapat penghargaan dari Federasi Wushu Asia (WFA) atas dedikasi dan pengabdiannya terhadap perkembangan dan kemajuan olahraga bela diri asal Tiongkok di Asia.
Dalam percaturan atlet sanda kelas dunia, atlet perempuan asal Iran belakangan dikenal mampu mengungguli atlet-atlet Tiongkok. Iran bisa sukses setelah mereka banyak belajar dari pelatih Tiongkok. Di sisi lain, atlet Iran itu menurut Supandi Kusuma, juga punya kelebihan lain. Postur tubuh mereka umumnya tergolong kekar.
“Kombinasi teknik yang matang dan postur tubuh kekar harus dicontoh atlet-atlet sanda kita,” ujarnya.
Kematangan Psikologis
Namun memenangkan pertarungan di atas ring pertandingan, juga harus ditopang mental pemenang. Di sini faktor psikologi atlet berperan penting. Umumnya saat hendak menghadapi pertandingan, atlet menghadapi rasa cemas, bahkan mungkin nervous. Sementara saat mengikuti program latihan, mereka tak jarang dihinggapi rasa jenuh. Semua tekanan itu harus mampu dikelola dengan baik.
“Berbagai penelitian menunjukkan, kematangan psikologis, terutama untuk atlet elite, atlet berprestasi, memberi kontribusi kemenangan 80 sampai 90 persen,” kata Doris Ritonga yang pada Kejurda Wushu Sanda Centre Point Cup 2018 lalu bertugas memantau dan mengevaluasi atlet sanda yang masuk Program Sumut Emas.
Namun sejatinya atlet sanda perempuan juga punya ‘medan petempuran’ ganda. Sebagian masyarakat, masih belum bisa menerima kenyataan ada perempuan ‘berotot’, perempuan yang keluar dari citra konvensional selama ini, lemah gemulai saat berjalan, lemah lembut, dan tak bretenaga.
Tak heran jika perempuan ‘berotot’ dianggap aneh. Menyimpang dari citra yang ada. Perempuan kekar, berotot, dianggap telah kehilangan sifat keperempuanannya. “Teman-teman di sekolah pernah bilang saya tomboi, tapi saya tak sakit hati. Toh saya tak melakukan hal yang negatif, misalnya merokok,” ujar Deni. Disebut tomboi, Feni bahkan menganggapnya sebagai hal unik, dan tak perelu dimasalahkan.
Bagi Junita Malau, soal sebutan kurang feminin atau lebih maskulin, sebenarnya tergantung situasi. Saat berlatih sebagai atlet, tentu saja ia harus tampil maskulin. Sebaliknya saat pergi ke rumah ibadah, ia harus tampil feminim. Ia sendiri mengaku bersyukur bisa mengenal ilmu bela diri itu. Sehingga tubuhnya yang lemah gemulai justru bisa dibentuk jadi cantik.
“Bukankah perempuan yang berbadan sispek itu bagus? Sekarang ini model juga butuh badan yang kekar dan berbentuk,” ujarnya tertawa lebar. Akh benar juga, jadi maju terus wahai para perempuan petarung perkasa!
Gabriela Purba atlet sanda Simalungun bersama pelatihnyta
Naomi permatasari Hutauruk, Atlet sanda dari Labuhan Batu
Junita Malau dalam Kejuaraan Dunia Wushu Sanda tahun 2014 di Jakarta
Deni Lisa Ginting dan Feni Ginting, pesanda perempuan Tanah Karo diapit para pelatih
(Analisa/Junaidi Gandi) Tim medis memeriksa pendarahan hidung atlet pada Kejurda Wushu Sanda Centre point Cup 2018.