Ichwan Azhari:

Medan Melek Seni Pertunjukan Seabad Lalu

Oleh: J Anto

PERTUNJUKAN teater bukan hal baru bagi masyarakat Medan. Penelusuran awal dari sejumlah surat kabar yang terbit pada awal-awal abad ke-20 di Sumatera Timur oleh sejarawan Ichwan Azhari, menunjukkan pada 1935, masyarakat Medan sudah terbiasa menonton seni pertunjukan. Mulai dari yang berbentuk tradisional, transisi, sampai pertunjukan drama modern.

“Semalam Medan gempar, ribuan orang tak dapat tempat, ribuan orang pulang kembali. Panggung Hakkastraat terlalu kecil buat terima penonton yang datang itu”. Begitu kutipan sebuah berita yang dimuat Oetoesan Sumatera (1935) seperti dikutip  Ketua Pusat Studi Sejarah dan ilmu-ilmu Sosial (Pussis) Unimed itu.

Sebuah iklan di surat kabar Moetiara edisi 26 Oktober 1935 dan 2 November 1935, menyebut pertunjukkan Dardanella (Miss DJA) di Medan telah  membawa nuansa baru  perteateran di Medan. Dalam iklan edisi 26 Oktober 1935 disebut, 5 tahun sebelumnya, itu artinya tahun 1930, Darda­nella juga telah melakukan pementasan di Medan.

Sementara dalam berita Moetiara edisi 2 November 1935, disebut pertunjukan Dardanela berlangsung sepekan dan sukses menggalang penonton yang bahkan banyak tidak mendapat tiket.  Selain Dardanella dari Jakarta, grup opera lain yang pernah membuat pertunjukan adalah  Orion/Miss Ribut (Jakarta), Nirwana (Medan), Rasuna Wiss (Medan), The Comet Opera (Sema­rang), dan Malay Opera (Malaka).

Mendu dan Makjong

Bahkan jauh sebelumnya, ada fakta yang lebih mengejutkan lagi. Pada 1990 -1903 sudah ada pertunjukan mendu, yakni tarian disertai nyanyian yang syairnya berisi sebuah cerita. Mendu diperkirakan berasal dari Siam (Srilanka), dipertunjukan ke Malaya dan Medan. Letak geografis Medan yang berde­katan dengan Malaysia, membuat grup-grup opera  sering melakukan pentas di kedua kota tersebut.

Mendu menurut akademisi yang banyak memiliki koleksi dokumen dan arsip lama sejarah nusantara hasil perburuannya di berbagai perpustakaan di Belanda dan Jerman itu, merupakan permainan rakyat berupa opera atau mirip dengan wayang Tionghoa. Para pemain mengenakan kostum meriah dengan manik-manik dan memakai topeng. Selama pertunjukan para pemain menyanyi dalam durasi yang panjang. Alat musik yang digunakan untuk mengiringi mendu adalah harmonium, biola atau rebab, gendang dan gong.

Sedangkan lakon cerita yang pernah dibawakan,  misalnya Hikayat Bustaman, Hikayat Amir Hamzah, Siti Zoebadiah, dan Pandji Semirang. Selain mendu ada juga makjong.

Dari sisi kostum yang dikenakan, para pemain makjong, yang berjumlah 5 orang, lebih sederhana. Pemain utama atau awang  memakai topeng sedangkan pemain perem­puan selalu membawa sapu lidi. Kisah yang dibawakan dalam makjong berkisah tentang parodi kehidupan dalam istana. Sedangkan alat musik yang digunakan terdiri atas gong, gedubang, rebab, dan dua bilah kayu yang dipukul.

Kemudian ada lagi pertunjukkan opera bangsawan yang merupakan kelanjutan atau  revitalisasi dari mendu. Beberapa grup opera bangsawan yang terkenal di antaranya Indian Ratu Opera (Serdang),  Dahlia Opera  (Deli), dan yang paling termasyhur Miss Alang Opera. Alat musik yang digunakan dalam pertunjukan opera bangsawan  terdiri atas harmonium, biola (rebab), gendang, dan gong.

Pada 1970-an pertunjukan opera Batak juga sangat ramai ditonton masyarakat. Mereka dikenal memiliki manajemen pertun­jukan yang sudah semi modern. “Bahkan Pak Syawal Gultom, Rektor Unimed, yang keponakan tokoh opera Batak punya tes­timoni, orang sampai harus naik pohon ke­lapa untuk menyaksikan pertunjukkan opera Batak,” ujar Ichwan Azhari. Juga ketoprak dor yang main di mana saja dan selalu memiliki penonton sendiri.

Disanggah

Data-data yang diungkapkan ahli filologi ini setidaknya memberikan dua tafsir baru terhadap sejarah teater di Medan khususnya. Sebagaimana diketahui, Jacob Sumardjo (1990) dan Muhammad TWH (1992) mem­bagi babakan teater Indonedia menjadi tiga babakan, yakni teater tradisional, transisi, dan modern.

“Saya sanggah, pembabakan seperti ini tidak berlaku di Medan. Ketiga jenis teater itu ada bersamaan pada saat yang sama dipertunjukkan,” ujar Ichwan Azhari.

Tafsir lain, budaya melek seni per­tunjukan sudah seabad lampau tumbuh di tengah masyarakat Medan. Padahal saat itu jumlah kaum sekolahan masih sedikit dibanding sekarang. Infrastruktur pendidikan seperti sekolah, apalagi perguruan tinggi, juga toko buku, belum ada.

Untuk bisa menonton pertunjukan mereka juga harus membeli karcis pertunjukan. Menurut pembacaan Ichwan Azhari, tidak ada diskon atau potongan harga untuk membeli karcis pertunjukkan.

Namun muncul ironi, budaya melek seni pertun­jukan, terutama seni pertunjukan teater, dewasa ini ber­ban­ding terbalik dengan situasi seratus tahun lalu. Ichwan Azhari membuat sebuah ilustrasi, sebuah pertun­jukkan opera Jawa dari Semarang, berlang­sung selama sepekan pada 1935. Setiap malam pertunjukkan itu ditonton seribu orang. Artinya dalam sepekan ada 7.000 warga Medan yang datang ke gedung pertun­jukan. Bandingkan dengan penonton teater di Medan sekarang, yang paling hanya bermain 2 - 3 malam dan ditonton  1.000 orang, itu pun dengan perjuangan keras.

“Barangkali, ini bisa menjadi sebuah refleksi bagi pegiat teater di Sumut sekarang ini,” ujarnya yang pada 1985 pernah bergabung sebagai pemain Teater Siklus pimpinan Timbul Siregar.

()

Baca Juga

Rekomendasi