Oleh: Nevatuhella.
Harus ada keinginan kuat pemerintah dan segenap warga Medan plus Sumatera Utara untuk menata sungai yang ada di kota Medan dan sekitarnya. Sungai seharusnya di tata tak melulu menghitungnya berdasarkan kelayakan ekonomi. Tapi lebih kepada seni yang tentunya akan menghasilkan kesejahteraan warga sekelilingnya.
Tanpa karya seni yang telah menghasilkan pemikiran besar, dan terealisasi dalam bentuk fisik, tak ada yang namanya Monumen Nasional (Monas), tak ada namanya lapangan Merdeka Medan, Istana Maimoon dan monumen lain yang lebih hebat sebagai warisan dunia.
Maka bagaimana empat sungai besar yang melalui wilayah kota Medan, yakni sungai Deli, sungai Babura, sungai Percut, dan sungai Belawan di tata berdasarkan kaidah seni, sebagai rasa keindahan kita sebagai manusia. Kita di Medan sudah sangat jenuh dengan kecentangan-perenangan lalu lintas dan bencana alam banjir yang bisa dikatakan sebagai produk keleleran atau keteledoran kita yang tak berseni selama ini. Rakus dan buas. Bahkan sampai kepada batas moral yang sangat mengkhawatirkan. Sungai akhirnya kita jadikan musuh secara pasif. Sungai seperti tak ada gunanya. Ibarat rongsokan, sungai bahkan sudah menjadi bangkai, yang siap dikubur dengan sampah dan kotoran busuk kimiawi lainnya. Padahal dua atau tiga puluh tahun silam, fungsi sungai di Medan masih signifikan sebagai sarana mencuci, mandi dan kakus.
Saya mencoba mengalkulasikan biaya untuk membebaskan 2000 rumah yang berdiri di kiri dan kanan badan sungai, tak lebih berbiaya sekitar Rp 100 miliar. Dengan pembebasan ini akan dihasilkan panjang 50 km panjang sungai (bandingkan dengan pembangunan jalan tol sepanjang itu, setiap kilometernya memerlukan biaya Rp 143 miliar). Kemudian biaya pengerukan sungai setelah membebasan tanah bantaran, diperkirakan sebesar jumlah pembebasan juga. Maka didapat jumlah Rp 200 miliar. Saya kira itu tidak mahal. Kalau pun angka ini menjadi Rp 2 triliun, masih murah. Karya seni tak bisa dinilai dengan uang sebenarnya. Jangan kata tanpa uang, seni tak jalan.
Membayangkan sungai Babura menjadi selebar 30 meter, dengan arus sungai yang terkontrol sangat menyamankan pandangan mata tentunya. Apalagi di kiri-kanan dibuat kanal untuk transportasi. Bayangkan jika dari perumahan Simalingkar ke Belawan, kita bisa menggunakan sampan melalui sungai yang airnya bergerak perlahan, dengan cuaca sejuk dinaungi pepohonan. Tak perlu berdesakan dan kena polusi udara seperti yang terjadi saat ini.
Enam hari lalu (16/9), dan sehari sesudahnya, media memberitakan banjir Medan yang dahsyat. Warga yang tak punya perhitungan atau insting akan datang banjir besar, banyak kewalahan. Ada rumah yang bertingkat berlantai papan dan berdinding papan yang sudah agak lapuk, hanya tinggal 10 cm lagi air naik sampai ke lantai itu. Memang dinding dibagian bawah beton bertulang. Betapa traumanya warga penghuni rumah ini. Bayangkan air banjir yang tak kenal ampun derasnya (disebelah bawah dan tengah arus lebih kuat dan berputar-putar), kalau air sampai naik 20 cm saja ke rumah yang saya sebutkan, akan habislah semua bangunan papan dan segala isi rumah yang ada. Dua orang anak gadisnya tak pandai pula berenang. Hampir lima jam keluarga ini berada dalam keadaan mencekam. Sementara tak terdengar satu orangpun akan memberi pertolongan.
Air yang diam tenang mengalir, selalu tak mengisyaratkan keganasannya. Jam 10 malam pada Sabtu (16/9), air banjir naik sekitar lima meter dari permukaan sungai. Pada jam tiga malam, disaat nyenyaknya tidur, air bertambah tiga meter lagi. Betapa memuncaknya kekhawatiran orang-orang yang bertempat tinggal berdekatan dengan sungai.
Pikiran Kreatif
Pemilik pemikiran-pemikiran kreatif adalah para seniman dan seniwati. Segala apa yang dikerjakan bertumpu pada kesenangan. Kebahagiaan batin yang dalam sekali. Membangun atau sebutlah menata kembali sungai-sungai di Medan dan sekitarnya, diperlukan kesanggupan menciptakan sebuah rasa kebersamaan warga Medan dan sekitarnya. Bahwa apa yang dilakukan akan menghasilkan sebuah monumen peradaban. Dikerjakan dengan keikutsertaan semua warga Medan. Dimulai dengan mengurai berbagai ketimpangan sosial. Menyamakan persepsi. Kalau perlu penguasa, hidup sama rata dengan rakyat yang dipimpinnya. Menghancurkan kejelataan yang sudah mengakar dalam masyarakat. Kasta yang tak teristilahkan dalam mainstrem keagamaan dan adat istiadat kita. Jelata mengendap pelan bagai ular di dalam kehidupan sosial negeri kita.
Kita dapat membaca sejarah bagaimana Belanda yang jauh jaraknya 11.329 km dari Indonesia, para pengusahnya berhasil memperoleh laba usaha perkebunannya yang ada di tanah tumpah Nusantara waktu itu untuk membangun kota-kota negaranya. Bisa kita bayangkan Amsterdam yang dijuluki sebagai Kota Seribu Kanal, atau Rotterdan, kota yang berada 7 cm dibawah permukaan laut itu. Kok kita melebarkan sungai dan mengeruknya tak sanggup?
Menabung pun padahal bisa dilakukan. Dalam setahun misalnya, badan sungai berhasil dilebarkan dan didalamkan sepanjang 10 km. Selama 10 tahun kan jumlahnya 100 km. Sebuah seni berpikir kreatif yang menakjubkan. Bukan karena hitungannya, tetapi seni mengembalikan pemikiran pada jalan yang lurus. Tajuk dan berita mengenai banjir Medan menginspirasi bagi para seniman. Persoalan sederhananya berbasis dari perilaku membuang sampah saja agar tidak ke sungai. Karakter ini akan membuahkan berbagai kebaikan selanjutnya.
Kita ingat pula Tembok China (The Great Wall) sepanjang 21.196 km, bukankah itu sebuah karya atas kerja yang berkesinambungan? Tembok terpanjang dunia ini dibangun selama hampir 2000 tahun. Bayangkan sebelum tahun masehi dimulai. Lantas apakah kita yang memiliki sungai sepanjang 100 km, atau 1000 km kita katakan, tidak bisa melakukan pembangunannya. Kegagalan kita sebab kita tak punya nyali. Tak punya art feeling yang memadai. Orientasi kita masih terfokus menyelamatkan keturunan sampai tujuh generasi lewat cara-cara yang tidak konstruktif.
Lain lagi Taj Mahal, mesjid warisan dunia yang ada di India, dibangun dengan cinta seorang Kaisar Mughal Shah Jahan pada permaisurinya Arjumand Banu Begum atau yang terkenal dengan nama Mumtaz Mahal. Bahkan kota judi Las Vegas dibangun oleh cinta seorang Mr. Bugsy Siegal kepada kekasihnya.
Adakah cinta kita pada Medan sebesar cinta-cinta para pendiri warisan peradaban ini? Ah, kelindan ingin berkuasa yang kita tonton hari ini, tak menunjukkan rasa cinta itu, sama sekali. ***
*Penulis adalah esais, pengamat kebijakan publik.