Bermula dari Rumah Kramat 106

Gedung tua di tepi jalan itu sama sekali tidak menarik perhatian, apalagi di tengah keramaian Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat. Bila ti­dak ada papan nama atau penanda bertuliskan Museum Sumpah Pemu­da, barangkali takkan ada yang me­nya­dari keberadaan bangunan tua itu.

Museum Sumpah Pemuda meru­pa­kan satu di antara puluhan museum di Jakarta. Sebagai ibukota negara dan pusat perjuangan merebut kemerde­kaan, Jakarta memiliki banyak ge­dung bersejarah yang kemudian ditetapkan sebagai museum.

Tak sulit menemukan Museum Sumpah Pemuda. Dari Kampus Fakul­tas Kedokteran Universitas Indonesia, Salemba, berjalan ke arah utara menuju Pasar Senen. Museum itu terletak sebelum kampus STIE YAI.

Di gedung bersejarah itu, 90 tahun silam, berbagai organisasi pemuda Indonesia sepakat mengadakan kong­res kedua. Salah satu putusan yang muncul adalah kesepakatan untuk bersumpah satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa.

“Kongres Pemuda II diadakan selama dua hari di tiga tempat yang berbeda. Rapat ketiga di hari kedua baru diadakan di gedung ini,” kata Edukator Museum Sumpah Pemuda, Dwi Nurdadi.

Kongres Pemuda II dimulai Sabtu, 27 Oktober 1928. Pembukaan dan rapat pertama diadakan di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB) yang saat ini berada di kawasan Lapangan Banteng dan digunakan sebagai sekolah Santa Ursula.

Pada Minggu, 28 Oktober 1928, diadakan rapat kedua di Gedung Oost-Java Bioscoop yang berada di jalan yang kini disebut Jalan Medan Merdeka Utara. Sayang, bangunan itu sudah tiada jejaknya.

Baru rapat ketiga diadakan di bangunan yang kini disebut Museum Sumpah Pemuda. “Gedung Museum Sumpah Pemuda ini dulu adalah rumah pemondokan mahasiswa milik seorang Tionghoa bernama Sie Kong Liong,” kata Dwi.

Sejarah bangunan

Menurut Buku Panduan Museum Sumpah Pemuda (2018), seiring pendirian sekolah-sekolah di kota-kota besar di Jawa pada permulaan Abad XX, muncul kebutuhan akan pemondokan bagi pelajar dan maha­sis­wa pendatang.

Karena asrama di sekolah-sekolah tidak bisa menampung seluruh pelajar dan mahasiswa yang datang, mulai muncul rumah-rumah keluarga yang diubah menjadi rumah pemondokan.

Pemondokan pelajar yang terletak di Jalan Kramat 106 itu terdiri dari dua bangunan. Bangunan utama digunakan sebagai kamar, berdiskusi, membaca, kegiatan kesenian dan bermain biliar; sedangkan bangunan lain berupa kamar-kamar.

Gedung Kramat 106 mula-mula menjadi tempat pemondokan bagi anggota Jong Java yang sebelumnya menyewa bangunan di Jalan Kwitang 3 yang dirasa sudah terlalu sempit.

Oleh Jong Java, bangunan milik Sie Kong Liong itu lalu dinamai “Langen Siswo”. Selain untuk pemondokan, bangunan itu juga untuk latihan kesenian dan diskusi politik.

Sejak 1926, penghuni gedung Kramat 106 bukan hanya dari Jong Java, tetapi mulai beragam seperti Amir Sjarifuddin, Muhammad Yamin, Assaat, dan lain-lain.

Karena keberagaman penghuni, para pelajar dan mahasiswa mulai mendiskusikan konsep persatuan nasi­onal. Kegiatan di pemondokan itu juga mulai beragam, bukan hanya kesenian dari satu suku saja melainkan juga kepanduan dan olahraga.

September 1926, para mahasiswa yang tinggal di gedung Kramat 106 mendirikan Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI). Gedung Kramat 106 menjadi pusat kegiatan mereka.

Menurut R Katjasungkana, pelajar yang pernah tinggal di Kramat 106, dalam Jejak Langkah Pergerakan R Katja­sungkana (2015) terbitan Museum Sumpah Pemuda, sebelum 1926 pemondokan itu dikelola seorang nyonya Belanda yang mengurusi makanan para penghuninya.

Baru pada 1926, nyonya Belanda itu tidak lagi menge­lola pemondokan itu, sehingga para pelajar dan mahasiswa menunjuk seseorang untuk mengurusi makanan.

Dalam Buku Panduan Museum Sumpah Pemuda, pe­ng­urus itu bernama Bang Salim bersama seorang pemuda yang biasa dipanggil Si Bujang. Para pelajar membayar biaya makan 7,5 gulden setiap bulan sedangkan pem­bayaran kamar langsung kepada Sie Kong Liong.

Katjasungkana menuturkan, baru pada 1927 atau 1928, gedung Kramat 106 berganti nama dari Langen Siswo men­jadi Indonesisch Clubhuis atau Indonesisch Clubgebouw yang disingkat "IC".

Setelah Sumpah Pemuda

Dalam buku Peranan Gedung Kramat Raya 106 dalam Melahirkan Sumpah Pemuda (1996) terbitan Museum Sumpah Pemuda, sebagai bentuk realisasi Sumpah Pe­muda, para pelajar dan mahasiswa meng­adakan pemen­tasan drama “Ken Arok dan Ken Dedes” setelah Kongres Pemuda II.

Naskah drama itu ditulis Muhammad Yamin, disutra­darai Roesmali, dengan pengatur musik Purbatajaraka dan koreografer Indro Sugondo. Latihan drama dilakukan di IC, sedangkan pementasan diadakan di Gedung Komedi, Pasar Baru yang saat ini disebut Gedung Kesenian Jakarta.

Riwayat gedung Kramat 106 sebagai IC dapat ditelu­suri hingga 1934. Saat itu, pembayaran sewa pemondokan kepada Sie Kong Liong mulai tidak tertib karena anggota-anggotanya tidak membayar.

Sempat terjadi persidangan di pengadilan atas persoalan sewa pemondokan ini. Namun, dalam sidang, IC mendapat kemenangan berkat kelihaian Muhammad Yamin dan Amir Sjarifuddin sebagai pengacara.

Merasa tidak puas Sie Kong Liong kemudian meng­ajukan banding. Menghadapi itu, Yamin dan Sjarifuddin menyarankan agar pengurus IC tidak usah menghadiri sidang dan berusaha menghindar. Sejak itu, IC membu­barkan diri dan mengalihkan kegiatan mereka di tempat lain.

Gedung Kramat 106 kemudian sempat disewakan ke beberapa orang lain. Pada masa kemerdekaan, gedung digunakan untuk berbagai hal mulai dari toko bunga, hotel hingga kantor bea cukai.

Akhirnya, gedung tua di Jalan Kramat Raya No 106 yang pernah menjadi saksi para pemuda Indonesia di masa lalu dalam memperjuangkan persatuan itu berhasil dijadikan sebagai Museum Sumpah Pemuda hingga seka­rang. (Dewanto Samodro/Ant)

()

Baca Juga

Rekomendasi