Oleh: Hari Murti.
Bahasa Indonesia adalah bahasa yang hidup. Salahsatu arti dari slogan ini adalah bahasa Indonesia terbuka atas pengaruh bahasa asing atau daerah dan demikian juga sebaliknya, memengaruhi bahasa asing atau daerah tersebut. Interaksi antarbahasa inilah yang membuat bahasa Indonesia bukan hanya sebatas hidup, juga semakin kaya kosakata. Bentuk dari interaksi ini salahsatunya adalah penyerapan kata/ungkapan asing atau daerah menjadi bagian dari bahasa Indonesia. Dalam rangka memperkaya kosakata inilah Badan Bahasa, Kementerian Pendidikan Nasional, mewacanakan untuk menyerap kata/ungkapan non-bahasa Indonesia, terutama bahasa daerah, untuk menjadi bagian dari bahasa besar ini.
Jika dipetakan, sumber bahasa untuk memperkaya bahasa Indonesia adalah dua, yaitu bahasa asing dan bahasa daerah. Namun, ada juga konsensus sosial untuk lebih mengutamakan bahasa daerah sebagai sumber atau bahan bahasa. Jika ada dua bentuk yang bersaing antara asing dengan daerah untuk mengisi kekosongan bahasa Indonesia, maka diprioritaskanlah bahasa daerah sebagai alternatif pertama untuk diserap.
Penulisan Konsonan X
Badan Bahasa menerbitkan buku berjudul Pengindonesiaan Kata dan Ungkapan Asing dalam beberapa jilid. Dalam buku tersebut, dijelaskan tentang pengindonesiaan kata/ungkapan asing ke dalam bahasa secara benar. Salahsatu aturannya adalah huruf x dalam kata asing diubah penulisannya menjadi ks. Contohnya export ditulis menjadi ekspor.
Belakangan ini, entah sudah diserap oleh secara resmi atau belum oleh Badan Bahasa, media massa sudah menulis hoax (Inggris) menjadi hoaks (Indonesia). Secara penulisan, jika kita berpatokan pada buku yang saya sebutkan di atas, penggantian huruf x menjadi ks sudah benar. Maka, kita tinggal menunggu konfirmasi dari Badan Bahasa apakah hoaks sudah jadi bahasa Indonesia (masuk KBBI) atau belum. Biasanya, suatu kata dipergunakan secara intensif terdahulu oleh masyarakat, barulah kata tersebut masuk ke dalam kamus bahasa Indonesia.
Nah, dalam masa tunggu konfirmasi dari Badan Bahasa tentang apakah hoaks sudah diserap jadi bahasa Indonesia atau belum, ada baiknya kita – bukan mengingatkan apalagi memperingatkan – sekadar menunjukkan kekayaan bahasa daerah yang kini sudah jadi bahasa Indonesia pula, serta lebih dikenal dan ber-efek dalam komunikasi. Kalau saya tidak salah, kata bongak berasal dari praktik-praktik kebahasaan lintas-etnis sehari-hari. Setidaknya, bongak tidak diidentikkan oleh masyarakat sebagai kata dari suku tertentu. Meski begitu, suasana dan bau-bau tradisional dari kata ini begitu kuat. Ia adalah kata yang lahir secara mandiri dari multikulturalitas Indonesia.
Oleh karena itu, melalui tulisan ini, kata bongak bolehlah dijadikan alternatif utama dan hoaks sebagai alternatif kedua untuk menyebut berita atau kabar bohong yang tersebar luas ke masyarakat. Hoaks silakan dipakai hanya untuk kebutuhan variasi saja, bukan kata utama. Janganlah kata yang murni dan mandiri berasal dari kekayaan kita sendiri tersingkir oleh kata asing. Jika alasannya adalah etika dalam berbahasa, dalam situasi sekarang, bongak dan hoaks sama kasarnya.
Padanan kata yang paling dekat dengan hoax/hoaks sekarang ini adalah kabar bohong. Masalahnya, dalam praktik sehari-hari - mungkin saking kesal pada fenomena hoaks belakangan ini – orang cenderung menghindari penggunaan frasa (kabar bohong). Orang ingin satu kata saja yang murni dari bahasa Indonesia yang makna, familiaritas, dan efek sosialnya benar-benar bisa setara dengan hoaks/hoax. Beberapa orang teman mengusulkan kombur, tipu, fitnah, kemprus, dan lainnya yang tidak saya ingat lagi. Saya, dengan kerendahan hati, mengusulkan kata bongak sebagai alternatif utama dan hoaks sebagai alternatif kedua yang kita pilih dalam bercerita tentang persebaran kabar bohong tersebut. ***
Penulis adalah Pamong Bahasa Sumatera Utara tahun 2014, pengajar pada perguruan tinggi, Ketua Pokja pada Forum Penulis Buku Muatan Lokal Sumatera Utara.